12 Februari 2025

Tanggapan Terhadap Usulan RUU Keamanan Laut dan Pembentukan Sea and Coast Guard.

Tanggapan Terhadap Usulan RUU Keamanan Laut dan Pembentukan Sea and Coast Guard. 

Jakarta 12 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto. ST, SH, MH, CPM, CPARB*)


Pendahuluan.

Usulan mengenai pembentukan Sea and Coast Guard Indonesia sebagai pengganti Bakamla dan sebagai leading sector dalam penegakan hukum di laut perlu dikaji secara mendalam. Rapat Komisi I DPR RI dengan Menko Hukum, HAM, dan Imigrasi Yusril Ihza Mahendra serta Wakil Menko Polkam Lodewijk Freidrich Paulus menyoroti lemahnya koordinasi dalam sistem keamanan laut, serta wacana regulasi tunggal untuk tata kelola keamanan laut. Namun, gagasan ini memiliki beberapa kelemahan mendasar yang bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.


1. Apa itu keamanan laut dalam perspektif hukum?

  • Keamanan laut adalah kondisi yang ditentukan oleh tingkat kepatuhan kapal yang berlayar terhadap hukum yang berlaku. Keamanan laut bukan suatu entitas yang berdiri sendiri, melainkan akumulasi dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal yang berlayar. Oleh karena itu, keamanan laut harus dipahami sebagai bagian dari sistem penegakan hukum yang sudah ada dan diatur dalam berbagai undang-undang sektoral.


2. Sejak lahirnya UU 66/2024, siapa yang menjadi koordinator dalam pengawasan pelayaran?

  • Koordinator pengawasan pelayaran adalah KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai). Hal ini diatur dalam UU 66/2024, yang memberikan kewenangan kepada KPLP untuk melakukan pengawasan kapal yang berlayar, memastikan kepatuhan terhadap regulasi pelayaran, serta menangani pelanggaran dalam ranah pelayaran.


3. Mengapa KPLP secara otomatis menjadi koordinator dalam penegakan hukum di laut?

  • Mengingat obyek hukum utama di laut adalah kapal yang berlayar, maka instansi yang bertanggung jawab atas pengawasan kapal harus menjadi koordinator dalam keamanan laut. KPLP, sebagai pengawas pelayaran, secara otomatis menjadi instansi yang memiliki kewenangan utama dalam mengawasi pergerakan kapal, memberikan sanksi administratif, dan sangsi pidana pelayaran serta melaporkan pelanggaran kepada instansi yang berwenang, bila ditemui pelanggaran hukum diluar kewenangannya.


4. Jika KPLP menemukan pelanggaran di luar pelayaran, apa yang harus dilakukan?

  • Jika KPLP menemukan pelanggaran hukum di laut yang bukan termasuk dalam ranah pelayaran, maka KPLP wajib menyerahkan kasus tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan undang-undang sektoral yang berlaku. Contohnya:
    • Jika KPLP menemukan kapal yang melakukan illegal fishing, maka kasus tersebut harus dilimpahkan ke PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sesuai dengan UU 45/2009 tentang Perikanan.
    • Jika KPLP menemukan kapal yang menyelundupkan barang ilegal, maka kasus tersebut harus diserahkan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan UU 17/2006 tentang Kepabeanan.
    • Jika KPLP menemukan kapal yang mencemari lingkungan laut, maka kasus tersebut harus ditindaklanjuti oleh PPNS Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
    • Jika KPLP menemukan kapal yang menyelundupkan narkotika, maka kasus tersebut wajib diserahkan ke Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Kepolisian RI berdasarkan UU 35/2009 tentang Narkotika.


5. Apakah benar bahwa koordinasi dalam sistem keamanan laut Indonesia masih lemah?

  • Memang benar bahwa koordinasi antar-lembaga di laut sering mengalami hambatan. Namun, solusi yang lebih tepat bukanlah membentuk badan baru, melainkan memperkuat peran masing-masing lembaga yang sudah ada dan meningkatkan mekanisme koordinasi di antara mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku.


6. Apakah sistem penegakan hukum di laut belum terpadu?

  • Sistem keamanan laut di Indonesia sudah memiliki berbagai instrumen hukum yang mengatur sektor masing-masing, seperti UU 66/2024 tentang Pelayaran, UU 45/2009 tentang Perikanan, UU 17/2006 tentang Kepabeanan, dan UU 35/2009 tentang Narkotika. Setiap instansi sudah memiliki tugas dan wewenang yang jelas. Masalahnya bukan pada kurangnya aturan, tetapi pada implementasi dan koordinasi antar-instansi.


7. Apakah perlu dibentuk Sea and Coast Guard sebagai institusi tunggal untuk keamanan laut?

  • Tidak. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden membentuk kementerian negara dengan tugas dan fungsi yang berbeda. Jika Sea and Coast Guard dibentuk sebagai institusi tunggal dengan wewenang koordinasi dan penegakan hukum, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kementerian dan lembaga lain yang sudah diatur dalam berbagai undang-undang.


8. Bagaimana dengan Bakamla? Apakah lebih baik dibubarkan?

  • Bakamla saat ini lebih sering menjadi troublemaker dalam koordinasi penegakan hukum di laut karena tidak memiliki kewenangan penyidikan, tetapi sering berperan di luar batas kewenangannya. Keberadaannya justru menambah kebingungan dalam tata kelola keamanan laut.
  • Pembubaran Bakamla sejalan dengan semangat Presiden untuk melakukan efisiensi dan penghematan anggaran. Fungsi Bakamla sudah ada di instansi lain yang telah memiliki wewenang lebih jelas, seperti KPLP untuk pengawasan pelayaran, TNI AL untuk pertahanan, serta Polri dan KKP untuk penegakan hukum spesifik.
  • Apa yang dilakukan Bakamla dapat ditangani oleh instansi yang sudah ada, sehingga pembubarannya tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, tetapi justru meningkatkan efektivitas koordinasi antar-lembaga.


Kesimpulan

  1. Keamanan laut adalah akumulasi dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal yang berlayar, bukan suatu entitas yang berdiri sendiri.
  2. Koordinator pengawasan kapal di laut adalah KPLP, sebagaimana diatur dalam UU 66/2024.
  3. Jika KPLP menemukan pelanggaran di luar pelayaran, maka kasus tersebut harus diserahkan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan undang-undang sektoral.
  4. Sea and Coast Guard tidak diperlukan, karena akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kementerian dan lembaga yang sudah ada.
  5. Bakamla lebih baik dibubarkan, karena keberadaannya justru menambah kebingungan dalam sistem keamanan laut dan kewenangannya dapat diambil alih oleh instansi lain yang lebih jelas perannya.
  6. Regulasi keamanan laut sudah cukup lengkap, dan masalah utama adalah implementasi serta koordinasi, bukan kurangnya aturan.
  7. Pasal 17 UUD 1945 melarang pembentukan institusi tunggal yang menggabungkan kewenangan kementerian berbeda, sehingga konsep Sea and Coast Guard bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia.


Dengan demikian, RUU Keamanan Laut serta pembentukan Sea and Coast Guard tidak hanya tidak diperlukan, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, tumpang tindih kewenangan, dan pemborosan anggaran negara. Pemerintah sebaiknya memperkuat implementasi undang-undang yang sudah ada serta meningkatkan koordinasi antar-lembaga yang berwenang agar lebih efektif dalam menjaga keamanan laut Indonesia.
*)Kabais TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar