23 Februari 2025

Tanggapan Terhadap Adanya Konsep Penyidik Utama dalam RUU KUHAP

Tanggapan Terhadap Adanya Konsep Penyidik Utama dalam RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman  B. Ponto. ST, SH, MH, CPM, CPARB*)


Pendahuluan.


Selengkapnya RUU KUHAP versi 17 Februari 2025, Pasal 6


(1) Penyidik terdiri atas :


a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang sektoral.

c. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2)  Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. 

1. Perspektif Kompetensi Absolut

Dalam konsep kompetensi absolut, setiap lembaga memiliki kewenangan yang telah ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Pasal 6 ayat (1) mengakui bahwa terdapat tiga kategori penyidik yang independen sesuai dengan dasar hukum masing-masing. Namun, ayat (2) justru menempatkan Polri sebagai penyidik utama dengan kewenangan menyeluruh atas semua tindak pidana. Hal ini bermasalah karena:

  • Melanggar asas lex specialis derogat legi generali, di mana penyidik dari lembaga seperti KPK, TNI AL, dan OJK serta PPNS memiliki kewenangan khusus dalam sektor masing-masing yang tidak bisa dikesampingkan oleh Polri.
  • Menyalahi konsep kompetensi absolut, karena kewenangan penyidikan seharusnya didasarkan pada substansi tindak pidana, bukan pada hierarki institusi.
  • Bertentangan dengan pengaturan sektoral, misalnya dalam UU KPK, UU TNI, dan UU OJK serta UU Sektoral lainnya yang secara eksplisit memberikan kewenangan penyidikan kepada instansi tersebut.

Dengan demikian, frasa “penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana” dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem hukum dan mengancam independensi penyidikan di berbagai sektor.

2. Perspektif Teori Hukum

Dari perspektif teori hukum, terdapat beberapa prinsip yang dilanggar oleh ayat (2), antara lain:

  • Teori Kewenangan (Authority Theory) dari H.L.A Hart, yang menekankan bahwa kewenangan harus diberikan secara eksplisit dalam hukum dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip pembagian kekuasaan.
  • Teori Rule of Law (Dicey), yang mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian dan tidak boleh memberikan keistimewaan yang berlebihan kepada satu lembaga.
  • Teori Pluralisme Hukum, yang menekankan bahwa dalam sistem hukum modern, berbagai lembaga dapat memiliki kewenangan yang saling berdampingan sesuai dengan fungsinya.

Dengan ayat (2), Polri ditempatkan sebagai aktor dominan yang dapat mengintervensi penyidikan yang seharusnya berada dalam kompetensi absolut lembaga lain. Hal ini bertentangan dengan prinsip checks and balances serta dapat menimbulkan ketimpangan dalam mekanisme penyidikan.

3. Perspektif Filsafat Hukum

Dari perspektif filsafat hukum, terdapat beberapa kontradiksi dalam ayat (2) terhadap prinsip-prinsip dasar hukum:

  • Prinsip Keadilan (Justice Theory - John Rawls): Keberadaan penyidik dari berbagai lembaga bertujuan untuk memberikan keadilan substantif, terutama dalam menangani kejahatan khusus. Jika Polri diberikan status sebagai penyidik utama atas semua tindak pidana, maka ada potensi dominasi yang mengurangi keadilan bagi sektor yang membutuhkan independensi, seperti tindak pidana korupsi (KPK) dan tindak pidana keuangan (OJK).
  • Prinsip Kepastian Hukum (Gustav Radbruch): Ayat (2) menciptakan ketidakpastian dalam pembagian kewenangan karena bertentangan dengan aturan sektoral yang sudah ada.
  • Prinsip Pemisahan Kekuasaan (Montesquieu): Penyidikan merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang melibatkan berbagai lembaga. Jika satu institusi memiliki dominasi penuh, maka ada risiko penyalahgunaan kekuasaan yang bertentangan dengan semangat trias politica.

Dengan demikian, penyusunan norma dalam Pasal 6 RUU KUHAP seharusnya mempertimbangkan keseimbangan antara kewenangan Polri dengan lembaga penyidik lainnya agar tidak terjadi monopoli penyidikan yang dapat mengancam independensi hukum.

Usulan Perbaikan Bunyi Pasal 6 RUU KUHAP

Sebagai solusi terhadap permasalahan di atas, berikut adalah rekomendasi perubahan terhadap Pasal 6:

Bunyi Pasal yang Diusulkan:

Pasal 6

  1. Penyidik terdiri dari tiga kategori: a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang sektoral.
    c. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  2. Setiap penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan kompetensi absolut yang diatur dalam undang-undang sektoral masing-masing.
  3. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan penyidikan atas tindak pidana umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa mengurangi kewenangan penyidikan yang telah diberikan kepada lembaga negara lain berdasarkan undang-undang.
  4. Dalam hal suatu tindak pidana termasuk dalam cakupan kewenangan penyidik lebih dari satu lembaga, penyidikan dilakukan secara koordinatif, dengan mengutamakan asas lex specialis dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kesimpulan

  • Pasal 6 ayat (2) dalam RUU KUHAP versi 17 Februari bertentangan dengan prinsip kompetensi absolut, teori hukum, dan filsafat hukum karena memberikan kewenangan berlebih kepada Polri atas semua tindak pidana.
  • Kewenangan penyidikan harus tetap mengikuti prinsip lex specialis, di mana penyidik sektoral seperti KPK, TNI AL, dan OJK serta PPNS memiliki wewenang eksklusif yang tidak boleh dikesampingkan oleh Polri.
  • Rekomendasi revisi pasal adalah menghilangkan frasa "penyidik utama" dan menggantinya dengan prinsip koordinatif agar tidak terjadi monopoli kewenangan dalam sistem penyidikan.

Revisi ini akan memastikan bahwa sistem penyidikan di Indonesia tetap adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip rule of law serta checks and balances.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar