Pasca UU 66/2024 atas perubahan Ketiga UU 17/2008 tentang Pelayaran, UU Keamanan Laut Tidak Diperlukan Lagi
Jakarta 11 Februari 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
Indonesia, sebagai negara maritim dengan luas laut yang sangat signifikan, telah memiliki berbagai regulasi dan lembaga yang bertanggung jawab dalam menegakkan hukum di perairannya. Pembahasan mengenai perlunya Undang-Undang (UU) khusus tentang keamanan laut sering kali muncul, namun tinjauan mendalam dari sudut pandang teori hukum dan filsafat hukum menunjukkan bahwa UU semacam itu sebenarnya tidak diperlukan. Artikel ini akan menguraikan argumen-argumen yang mendasari pandangan tersebut.
1. Kerangka Hukum yang Ada Sudah Memadai
Indonesia memiliki kerangka hukum yang mencakup berbagai aspek keamanan laut, termasuk perlindungan, pengawasan, dan penegakan hukum di laut. Beberapa peraturan yang relevan antara lain:
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur keselamatan pelayaran.
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mencakup pengelolaan dan perlindungan laut.
- Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menetapkan batas-batas kedaulatan laut.
- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mengatur pengelolaan dan pengawasan sumber daya perikanan di perairan Indonesia.
- Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memberikan kerangka hukum bagi perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang memberikan kewenangan kepada TNI AL sebagai penyidik di wilayah ZEE untuk menjaga kepentingan nasional dan melindungi sumber daya laut Indonesia.
- Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memberikan kewenangan kepada TNI AL untuk menegakkan kedaulatan di laut dan menjalankan fungsi pertahanan di wilayah maritim Indonesia.
- Undang-Undang No. 66 Tahun 2024 yang mengatur bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Hubla, yaitu Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), memiliki wewenang sebagai penyidik terkait pelanggaran di bidang pelayaran dan mencegah penangkapan berulang terhadap kapal yang sudah diproses oleh instansi berwenang.
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberi Polri wewenang dalam melakukan penyidikan dan penegakan hukum pidana di wilayah laut.
- Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mencakup pengawasan dan penegakan hukum di laut terkait kegiatan kepabeanan.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengatur pengelolaan dan yurisdiksi atas landas kontinen, termasuk ketentuan penyidikan yang dilakukan oleh aparat berwenang seperti TNI AL dan PPNS yang ditunjuk sesuai ketentuan yang berlaku.
Selain itu, peraturan-peraturan ini didukung oleh berbagai kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab sesuai bidangnya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk pengawasan perikanan, TNI AL untuk pertahanan, dan Kementerian Perhubungan untuk aspek pelayaran. Di luar pelanggaran yang terkait dengan pelayaran, kewenangan penegakan hukum telah dibagi habis kepada masing-masing kementerian dan lembaga terkait.
2. Keamanan Laut adalah Pelanggaran Hukum yang Telah Memiliki Penyidiknya Masing-Masing
Keamanan laut pada dasarnya bukanlah konsep yang berdiri sendiri, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal yang berlayar terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada. Setiap jenis pelanggaran hukum di laut telah memiliki penyidiknya masing-masing sesuai dengan bidang yang diatur oleh undang-undang:
- Pelanggaran di bidang pelayaran ditangani oleh KPLP berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 yang telah direvisi oleh UU No. 66 Tahun 2024.
- Pelanggaran di bidang perikanan diselidiki oleh PPNS Perikanan di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai UU No. 45 Tahun 2009.
- Tindak pidana umum di laut menjadi wewenang Polri, berdasarkan KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002.
- Pelanggaran yang berkaitan dengan kedaulatan dan pertahanan negara ditangani oleh TNI AL sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 dan UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
- Pelanggaran kepabeanan di laut menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Dengan adanya pengaturan yang telah jelas ini, maka keberadaan UU Keamanan Laut tidak lagi diperlukan karena tidak ada aspek hukum yang belum memiliki lembaga penegak hukum yang berwenang.
3. UU 66/2024 Mencegah Penangkapan Berulang
UU No. 66 Tahun 2024 juga membawa perubahan signifikan dalam sistem penegakan hukum di laut dengan mencegah terjadinya penangkapan berulang terhadap kapal yang sudah diproses oleh instansi yang berwenang. Sebelumnya, banyak kasus di mana satu kapal dapat ditahan oleh berbagai instansi yang berbeda atas dugaan pelanggaran yang sama atau serupa. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan pelaku usaha maritim. Dengan revisi UU Pelayaran ini, maka kepastian hukum bagi pelaku usaha semakin jelas, dan mekanisme penegakan hukum di laut menjadi lebih tertata.
4. Bakamla Tidak Dibutuhkan Lagi dan Sebaiknya Dilikuidasi
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam memangkas anggaran negara, Badan Keamanan Laut (Bakamla) tidak lagi diperlukan dan sebaiknya dilikuidasi. Tugas dan kewenangan yang selama ini dijalankan oleh Bakamla pada dasarnya adalah tugas dari instansi yang telah ada, bukan sebaliknya. Selama ini, Bakamla justru mengambil alih tugas yang sudah menjadi kewenangan instansi lain, seperti TNI AL, Polri, KPLP, dan KKP. Oleh karena itu, mempertahankan Bakamla hanya akan menciptakan redundansi dan membebani anggaran negara.
Selain itu, keberadaan Bakamla juga telah menimbulkan berbagai permasalahan koordinasi dengan instansi lain, mengingat wewenangnya sering kali tumpang tindih dengan tugas TNI AL, Polri, KKP, KPLP, dan Bea Cukai. Oleh karena itu, untuk efisiensi anggaran dan efektivitas penegakan hukum, Bakamla sebaiknya dibubarkan dan tugas-tugasnya tetap dijalankan oleh instansi yang telah memiliki kewenangan hukum yang sah.
5. Kesimpulan
Dengan telah disahkannya UU No. 66 Tahun 2024 tentang Revisi Ketiga UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, maka kebutuhan akan UU Keamanan Laut menjadi tidak relevan. Kewenangan penyidikan dan penegakan hukum di laut telah dibagi secara jelas kepada lembaga-lembaga yang ada, dan revisi ini juga mencegah terjadinya penangkapan berulang oleh berbagai instansi yang berbeda.
Dengan demikian, UU Keamanan Laut tidak diperlukan lagi, dan Bakamla tidak lagi relevan serta sebaiknya dilikuidasi, mengingat seluruh aspek keamanan laut telah terbagi habis pada lembaga-lembaga yang ada. Upaya ini akan meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara dan memastikan bahwa penegakan hukum di laut berjalan lebih efektif tanpa tumpang tindih kewenangan.
*) KABAIS TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar