TANGGAPAN TERHADAP PENDAPAT PROFESOR MARIA SUWARDJONO MENGENAI HAK ATAS TANAH DI WILAYAH PERAIRAN PESISIR
Jakarta 9 Februari 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
PENDAHULUAN
Hak atas tanah di wilayah perairan pesisir merupakan isu yang kompleks dalam hukum agraria dan hukum kelautan Indonesia. Prof. Maria Suwardjono dalam sebuah diskusi publik daring bertajuk "Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir", yang dikutip pada Jumat, 7 Februari 2025, menyatakan bahwa hak atas tanah di perairan pesisir telah lama dipertanyakan, dan Pasal 1 UUPA membuka peluang terhadap kepemilikan tersebut. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan hukum terkait dasar normatifnya serta implikasi filosofisnya terhadap pengelolaan wilayah pesisir. Tulisan ini bertujuan untuk mengkritisi teori yang dikemukakan oleh Prof. Maria dengan pendekatan perundang-undangan serta filsafat hukum.
"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria Suwardjono dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir, dikutip Jumat (7/2/2025). Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisisr. Sebut saja Suku Bajo yang kondang dengan pemukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng). "
I. Pembahasan dengan menggunakan Perspektif Hukum Positif.
Mari kita bahas pernyataan ini dari perspektif Hukum Positif.
1. “Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali.”
o Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa perdebatan mengenai hak atas tanah di perairan pesisir bukanlah hal baru. Dari sudut pandang hukum agraria, permasalahan ini berkaitan dengan konsep kepemilikan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 serta peraturan-peraturan yang mengatur hak pengelolaan dan pemanfaatan ruang laut, seperti Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014. Dalam filsafat hukum, prinsip res communis (sumber daya alam yang harus dikelola bersama untuk kepentingan umum) berpotensi bertentangan dengan konsep kepemilikan individual atas tanah di perairan pesisir.
2. “Dalam Pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu.”
o Jika merujuk pada Pasal 1 UUPA, tidak ditemukan aturan eksplisit mengenai hak atas tanah di perairan pesisir. UUPA lebih menekankan bahwa tanah di Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat, dan kepemilikannya harus sesuai dengan prinsip keadilan sosial. Konsep hak atas tanah dalam UUPA terbatas pada tanah yang berwujud daratan, sementara perairan dikuasai negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, interpretasi yang menyatakan bahwa Pasal 1 UUPA membuka peluang kepemilikan tanah di perairan pesisir perlu diuji lebih lanjut dengan pendekatan yuridis dan filosofi hukum.
3. “Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisir.”
o Secara empiris, memang benar bahwa masyarakat adat seperti Suku Bajo telah lama tinggal di wilayah pesisir dengan rumah-rumah yang dibangun di atas air. Namun, dalam kajian hukum, keberadaan rumah di atas perairan bukan berarti tanah tersebut dapat diberikan hak kepemilikan secara individual. Dalam filsafat hukum, terdapat perbedaan antara hak adat (customary rights) dan hak kepemilikan dalam sistem hukum positif. Hak masyarakat adat biasanya berupa hak ulayat, yang bersifat kolektif dan tidak sama dengan hak milik dalam sistem hukum nasional.
4. “Sebut saja Suku Bajo yang kondang dengan pemukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).”
o Pemukiman terapung Suku Bajo lebih berkaitan dengan hak ulayat laut yang diakui dalam beberapa peraturan, seperti dalam Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010, yang mengakui hak masyarakat adat atas sumber daya alam pesisir. Namun, pengakuan ini lebih kepada hak pengelolaan dan pemanfaatan, bukan hak kepemilikan tanah dalam arti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai sebagaimana diatur dalam UUPA. Oleh karena itu, meskipun keberadaan pemukiman adat di atas air telah berlangsung lama, mengklaim bahwa hal tersebut menjadi dasar kepemilikan tanah di perairan memerlukan kajian lebih lanjut berdasarkan prinsip lex specialis derogat legi generali dalam hukum Indonesia.
Jadi dari perspektif hukum positif, Pasal 1 UUPA tidak secara langsung memberikan landasan hukum bagi pemberian hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, terutama jika ditafsirkan dalam kerangka kepemilikan individual. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut lebih banyak diatur dalam undang-undang khusus yang mengakui hak masyarakat adat untuk menggunakan dan mengelola wilayahnya, tetapi bukan untuk memiliki tanah di perairan.
II. Pembahasan dengan menggunakan perspektif Filsafat Hukum.
Dalam filsafat hukum, kepemilikan tanah dan wilayah pesisir berkaitan erat dengan konsep res communis dan res publicae. Res communis adalah konsep dalam hukum Romawi yang menyatakan bahwa sumber daya tertentu, seperti laut dan udara, tidak dapat dimiliki oleh individu atau entitas tertentu, tetapi dimanfaatkan oleh semua pihak untuk kepentingan bersama. Sementara itu, res publicae adalah doktrin yang menegaskan bahwa sumber daya tertentu dimiliki oleh negara dan dikelola untuk kepentingan masyarakat umum.
Dalam konteks perairan pesisir, konsep ini diperkuat oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa klaim kepemilikan individu atas tanah di perairan pesisir tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan negara atas sumber daya alam.
Filosofi hukum yang relevan dengan isu ini juga mencakup pemikiran dari John Locke tentang hak milik. Locke dalam Second Treatise of Government menyatakan bahwa hak milik timbul dari kerja atau investasi tenaga individu terhadap sesuatu. Namun, dalam konteks wilayah perairan yang bersifat alami dan telah digunakan oleh komunitas nelayan atau masyarakat adat selama berabad-abad, hak milik individu sulit untuk dibenarkan tanpa melanggar hak-hak kolektif.
Selain itu, dalam teori utilitarianisme hukum yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, setiap kebijakan hukum harus berorientasi pada manfaat terbesar bagi masyarakat. Jika pemberian hak atas tanah di perairan pesisir justru menguntungkan segelintir individu atau perusahaan sementara merugikan nelayan tradisional dan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada perairan pesisir, maka dari perspektif utilitarian, kebijakan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Dari sudut pandang hukum progresif, seperti yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, hukum harus melayani kepentingan sosial yang lebih luas dan tidak sekadar menjadi alat formal yang menguntungkan kelompok tertentu. Dalam konteks ini, kepemilikan tanah di perairan pesisir haruslah berlandaskan pada keadilan sosial dan kemanfaatan bagi masyarakat luas, bukan hanya pada klaim individual yang bisa mempersempit akses komunitas nelayan atau masyarakat adat terhadap sumber daya pesisir.
III. KESIMPULAN
Dari perspektif hukum positif, Pasal 1 UUPA tidak secara langsung memberikan landasan hukum bagi pemberian hak atas tanah di wilayah perairan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir lebih banyak diatur dalam undang-undang khusus yang mengakui hak masyarakat adat dalam bentuk hak ulayat, bukan kepemilikan individual.
Dari perspektif filsafat hukum, kepemilikan tanah di perairan bertentangan dengan prinsip res communis dan res publicae, yang menegaskan bahwa sumber daya alam tertentu, termasuk laut, harus dikelola untuk kepentingan bersama. Pemikiran John Locke tentang hak milik, utilitarianisme hukum Jeremy Bentham, serta hukum progresif Satjipto Rahardjo menunjukkan bahwa kepemilikan tanah di wilayah perairan pesisir tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kemanfaatan umum. Oleh karena itu, klaim bahwa hak atas tanah di perairan pesisir telah diakomodasi oleh UUPA perlu diuji ulang dengan mempertimbangkan hierarki hukum dan prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Semoga tulisan ini bisa menyadarkan para pembaca bahwa tanah dan laut itu tidak sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar