8 Februari 2025

Ketika Kekacauan Berpikir Mencapai Puncaknya: HGB untuk Laut, Suku Bajo, dan Logika yang Tenggelam

Ketika Kekacauan Berpikir Mencapai Puncaknya: HGB untuk Laut, Suku Bajo, dan Logika yang Tenggelam

Pesisir Pantai Selatan

08 Februari 2024

Oleh : Soleman B. Ponto


Di sebuah diskusi akademik yang seharusnya serius—tapi malah jadi ajang eksperimen hukum absurd—Profesor Maria Suwardjono dan Profesor Nurhasan Ismail, dua guru besar agraria dari UGM, dengan penuh keyakinan mengajukan teori baru:

"Laut itu tanah! Maka HGB bisa diberikan di laut! Dan suku Bajo adalah buktinya!"

Seolah-olah itu belum cukup mengejutkan, datanglah Menteri ATR/BPN, yang tanpa banyak berpikir panjang, langsung memberikan sertifikat HGB kepada Suku Bajo!

Di sudut ruangan, Dr. Ingat Darat, alias Dr. Lupa Laut, menatap fenomena ini dengan ekspresi kosong.

"Apakah… apakah aku sedang ada di dunia nyata? Ataukah aku sedang mimpi buruk di tengah samudera?"

Tapi tidak, ini nyata! Kekacauan berpikir sudah mencapai puncaknya! Mari kita urai satu per satu absurditas ini.

🎭 Kesalahan Berpikir 1: Profesor Nurhasan dan Teori "Tanah di Bawah Kolom Air"

Profesor Nurhasan Ismail membuka diskusi dengan penuh percaya diri:

"Dalam Pasal 1 ayat 4 UUPA, tanah termasuk daratan yang posisinya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir, danau, maupun sungai, itu masuk definisi tanah atau lahan!"

Logika ini hampir masuk akal… hampir! Sampai kita menyadari sesuatu:

💡 Jika tanah di bawah air adalah tanah biasa, maka:
 Dasar laut bisa dikavling dan dijual seperti tanah kosong di pinggir kota.
 Sungai juga bisa disertifikasi! Besok bisa ada Hak Guna Bangunan di atas Kali Ciliwung!
 Jika ombak menghapus daratan reklamasi, pemiliknya bisa menuntut air laut karena “merampas properti mereka”!

Profesor, tolong, air itu bukan sekadar "kolom di atas tanah"! Kalau teori ini diterapkan, besok ada orang yang ingin Hak Milik atas Laut Jawa dan mengusir semua kapal yang lewat!

🎭 Kesalahan Berpikir 2: Profesor Maria dan Contoh Rumah Suku Bajo

Setelah Profesor Nurhasan selesai dengan teorinya, masuklah Profesor Maria Suwardjono, yang tidak mau kalah.

"Banyak suku asli yang rumahnya terapung! Suku Bajo, Suku Laut, Suku Barok, dan Kampung Laut di Batam! Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya! Jadi HGB untuk wilayah pesisir itu bukan hal baru!"

Pada titik ini, Dr. Lupa Laut mulai memeriksa kopinya, takut ada sesuatu di dalamnya yang membuat semua orang mulai kehilangan akal sehat.

💡 Kesalahan utama di sini adalah:
 Suku Bajo tidak tinggal di tanah, mereka tinggal DI ATAS AIR!
 Ada perbedaan besar antara rumah panggung dan rumah di darat!
 HGB hanya berlaku untuk tanah, bukan untuk sesuatu yang berdiri di atas tiang yang ditanam ke dasar laut!

Profesor Maria, kalau kita pakai logika ini, berarti setiap perahu nelayan yang berlabuh lama harus bayar pajak properti karena "menempati lahan perairan"?!

🎭 Kesalahan Berpikir 3: Menteri ATR/BPN yang Memberikan HGB untuk Suku Bajo

Dan sekarang, hadiah utama untuk kekacauan berpikir ini jatuh kepada Menteri ATR/BPN!

Tanpa banyak pikir panjang, Menteri ATR pertama (Sofyan Djalil) menyerahkan HGB kepada Suku Bajo di 2022.
Tahun berikutnya, Menteri ATR berikutnya (Hadi Tjahjanto) mengulangi kesalahan yang sama untuk Bajo di Wakatobi!

Sepertinya, di kantor BPN sudah ada SOP baru: "Kalau ada air, kasih sertifikat!"

💡 Kesalahan terbesar di sini adalah:
 Mereka memberikan HGB untuk rumah yang tidak berdiri di atas tanah!
 Mereka tidak membedakan rumah terapung, rumah panggung di laut, dan rumah di darat!
 Mereka tidak sadar bahwa hukum agraria dan hukum kelautan itu berbeda!

Bisa dibayangkan, bagaimana cara notaris menjelaskan HGB ini?

"Baik, Pak Bajo, ini adalah sertifikat rumah Anda, yang berdiri di atas laut. Pastikan tidak ada ombak besar, karena jika rumah Anda pindah, alamatnya juga harus diperbarui!"

Nelayan di pojok ruangan hampir tersedak kopinya. "Kalau begini, saya juga mau Hak Milik untuk laut tempat saya mencari ikan! Jadi nanti kalau ada ikan masuk, saya bisa tagih sewa!"

💀 Kekacauan Logika: Laut vs. Tanah, Apa Bedanya?

Mari kita buat perbedaan ini jelas, agar Profesor Maria, Profesor Nurhasan, dan Menteri ATR tidak semakin tersesat dalam gelombang kebingungan.

Aspek

Tanah di Darat (Bisa Diberi HGB)

Laut dan Perairan (Tidak Bisa Diberi HGB)

Dasar Hukum

UUPA No. 5/1960, PP No. 40/1996

UU No. 32/2014 tentang Kelautan

Bisa Dimiliki?

Bisa dimiliki individu/badan hukum

Tidak bisa dimiliki, hanya bisa dimanfaatkan

Perubahan Lokasi

Tetap di tempat

Bisa berubah karena arus, pasang surut, dan abrasi

Hak Kepemilikan

Bisa disertifikasi sebagai Hak Milik atau HGB

Hanya bisa diberikan izin pemanfaatan laut, bukan sertifikat kepemilikan!

🚢 Kesimpulannya: Suku Bajo tidak bisa diberi HGB, karena mereka tidak tinggal di atas tanah!

Jika teori ini diterapkan, maka kita akan melihat hal-hal absurd seperti:
 Ada broker properti yang menjual Laut Banda dengan harga per meter!
 Sertifikat Hak Milik untuk angin laut!
 Pajak properti untuk lumba-lumba karena "menempati wilayah tanpa izin"!

🎭 Penutup: Semoga Teori Ini Tenggelam!

Profesor Maria, Profesor Nurhasan, dan Pak Menteri,
Sebelum ini semua makin kacau, menyelamlah dulu!
Jangan hanya melihat laut dari peta atau Google Maps!

Masuklah ke air, lihat bagaimana ombak bergerak, rasakan bagaimana laut tidak bisa dipatok,
Maka kalian akan sadar bahwa HGB untuk laut itu seperti mencoba menanam padi di tengah samudera!

Semoga teori ini, seperti kapal tanpa nakhoda,
Tenggelam di dasar laut, dan tak pernah muncul lagi! 
🌊😂

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar