13 Februari 2025

Tanggapan terhadap Pernyataan Ex Kepala Bakamla, Laksamana Madya Aan Kurnia: Evaluasi Kewenangan dan Urgensi Likuidasi Bakamla

Tanggapan terhadap Pernyataan Ex Kepala Bakamla, Laksamana Madya Aan Kurnia: Evaluasi Kewenangan dan Urgensi Likuidasi Bakamla

Jakarta 13 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Pernyataan Kepala Bakamla, Laksamana Muda Aan Kurnia, mengenai peningkatan fasilitas Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam menjaga keamanan maritim Indonesia perlu dikaji ulang dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Fakta hukum menunjukkan bahwa kehadiran Bakamla justru menciptakan tumpang-tindih kewenangan dengan berbagai instansi yang telah memiliki tugas dan fungsi yang lebih spesifik dan berwenang dalam menangani keamanan maritim. Mengingat kondisi keuangan negara yang saat ini difokuskan pada penghematan dan efisiensi anggaran, likuidasi Bakamla merupakan langkah yang lebih rasional dan tepat.


1. UU 32/2014: Bukan Penegak Hukum

Bakamla dibentuk berdasarkan Pasal 59 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyatakan bahwa Bakamla bertugas melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Namun, UU ini tidak memberikan kewenangan kepada Bakamla untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan hukum secara mandiri. Hal ini menegaskan bahwa Bakamla hanya dapat melakukan patroli dan bukan bertindak sebagai penegak hukum.

Selanjutnya, Pasal 61 UU 32/2014 menegaskan bahwa Bakamla bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menangkap, menyita, atau memproses hukum pelanggaran di laut. Bahkan dalam Pasal 62 huruf c, meskipun disebutkan bahwa Bakamla dapat melakukan "penindakan pelanggaran hukum", namun dalam praktiknya, Bakamla bukan penyidik dan tidak memiliki dasar hukum untuk bertindak sebagai penegak hukum.

Karena itu, Bakamla tidak bisa melakukan tindakan seperti menghentikan kapal, menangkap pelaku kejahatan, atau melakukan penyelidikan. Jika Bakamla menemukan adanya pelanggaran, ia hanya bisa melaporkan dan menyerahkannya kepada institusi yang memiliki kewenangan hukum. Pertanyaannya: jika Bakamla hanya bisa melakukan patroli dan tidak memiliki kewenangan hukum, maka untuk apa Bakamla ada?


2. Semua Masalah di Laut Sudah Terbagi ke Instansi yang Berwenang

Dalam konteks penegakan hukum maritim, seluruh aspek keamanan dan pengawasan sudah terbagi dengan jelas kepada instansi-instansi berikut:

  1. Penyelundupan Barang: Kewenangan Bea Cukai (UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan)
    • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi pergerakan barang di perairan Indonesia, termasuk mencegah penyelundupan barang ilegal.
    • Jika Bakamla menemukan kasus penyelundupan barang, maka ia tidak dapat bertindak langsung, melainkan harus melaporkannya ke Bea Cukai.
  2. Penyelundupan Manusia: Kewenangan Imigrasi dan Polairud (UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian)
    • Direktorat Jenderal Imigrasi memiliki kewenangan untuk menangani kasus perdagangan manusia dan penyelundupan orang.
    • Korps Polisi Air dan Udara (Polairud) bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan serta penindakan terhadap kejahatan lintas negara di perairan Indonesia.
    • Jika Bakamla menemukan kasus penyelundupan manusia, Bakamla tidak dapat melakukan tindakan apa pun selain melaporkannya ke Polairud atau Imigrasi.
  3. Penegakan Hukum Maritim: Kewenangan TNI AL, Polri, KKP, dan KPLP
    • TNI Angkatan Laut (UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI): Bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia.
    • Polairud (UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian): Memiliki kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di laut.
    • Direktorat Jenderal PSDKP KKP (UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan): Bertugas menindak illegal fishing dan pelanggaran di sektor kelautan dan perikanan.
    • Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP – UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran): Bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pelayaran.

Berdasarkan pembagian tugas tersebut, tidak ada satu pun aspek keamanan maritim yang tidak tercover oleh instansi yang ada. Ini membuktikan bahwa Bakamla tidak memiliki tugas unik dan hanya menciptakan birokrasi tambahan yang tidak diperlukan.


3. Bakamla Tidak Memiliki Status Penyidik, Sehingga Tidak Bisa Menindak Langsung

Salah satu kelemahan utama Bakamla adalah tidak memiliki penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidikan hanya dapat dilakukan oleh Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ditunjuk oleh undang-undang. Ini berarti:

  • Bakamla tidak dapat melakukan penegakan hukum secara mandiri.
  • Jika Bakamla menemukan pelanggaran di laut, ia harus menyerahkannya ke instansi lain yang memiliki wewenang hukum.

Fakta ini semakin memperjelas bahwa keberadaan Bakamla tidak memiliki urgensi. Jika tugasnya hanya melakukan patroli tanpa kewenangan hukum, maka keberadaannya menjadi tidak efektif dan mubazir.


4. Likuidasi Bakamla: Solusi yang Lebih Rasional untuk Efisiensi Anggaran

Saat ini, pemerintah sedang melakukan penghematan anggaran, dan likuidasi Bakamla menjadi langkah konkret dalam mengurangi pemborosan. Beberapa alasan utama mengapa Bakamla sebaiknya dibubarkan adalah:

  1. Tidak Memiliki Kewenangan Unik
    • Semua tugas yang dilakukan Bakamla sudah menjadi kewenangan institusi lain yang lebih kompeten.
    • Jika Bakamla hanya bisa melakukan patroli tanpa penindakan, maka perannya menjadi redundan dan tidak diperlukan.
  2. Beban Anggaran yang Tidak Perlu
    • Operasional Bakamla, termasuk pengadaan kapal, sistem komunikasi, dan pelatihan personel, menelan biaya besar, padahal TNI AL, Polairud, KKP, dan KPLP sudah memiliki infrastruktur tersebut.
  3. Potensi Inefisiensi dan Duplikasi Anggaran
    • Daripada membiayai lembaga yang tidak memiliki kewenangan hukum, lebih baik anggaran dialokasikan untuk memperkuat institusi yang sudah ada.
  4. Tidak Ada Dasar Hukum Kuat untuk Penindakan
    • Bakamla bukan penyidik dan tidak bisa melakukan penegakan hukum, sehingga keberadaannya tidak berdampak signifikan terhadap keamanan laut.


Dengan demikian, likuidasi Bakamla bukan hanya sekadar penghematan anggaran, tetapi juga penyelamatan sistem keamanan laut dari tumpang-tindih kewenangan yang merugikan negara.

Kesimpulan: Untuk Apa Ada Bakamla?

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Bakamla hanya bertugas sebagai patroli keamanan tanpa kewenangan penyidikan atau penindakan. Semua aspek keamanan laut sudah memiliki institusi yang bertanggung jawab secara spesifik, mulai dari Bea Cukai, Imigrasi, Polairud, TNI AL, KKP, hingga KPLP.


Karena Bakamla tidak bisa bertindak sebagai penyidik dan hanya bisa melaporkan pelanggaran kepada instansi lain, maka pertanyaan yang muncul adalah: untuk apa Bakamla tetap dipertahankan? Jika semua tugasnya sudah ditangani oleh instansi lain yang lebih berwenang, maka lebih baik Bakamla dibubarkan dan anggarannya dialihkan untuk memperkuat lembaga yang sudah ada.

Keamanan laut Indonesia tidak membutuhkan lembaga baru yang tumpang-tindih, tetapi memerlukan koordinasi yang lebih baik antar-institusi yang sudah adaBakamla tidak memiliki fungsi krusial, sehingga likuidasi adalah solusi terbaik untuk efisiensi dan efektivitas keamanan maritim Indonesia.

*)KABAIS TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar