19 Februari 2024

MENATA PERADILAN KONEKSITAS

                                     MENATA PERADILAN KONEKSITAS

Jakarta 19 Februari 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH[1]

Pada hari Kamis tanggal 25 Januar 2024, Mahkamah Konstitusi melaksanakan sidang ke lima terhadap Perkara Nomor 87/PUUXX/2023. Sidang ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.

Sidang itu dilaksanakan atas permohonan Gugum Ridho Putra, yang mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pada sidang itu Gugum Ridho Putra (Pemohon) mengajukan bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia.

Menurut bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana, bahwa KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, termasuk yang dilakukan secara koneksitas. Karenanya konsep koneksitas harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan.

Hal ini disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Gugum Ridho Putra (Pemohon) pada sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (25/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kelima terhadap Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.

“Dengan berbagai kekhususan yang dimiliki KPK, tidak berlebihan apabila KPK menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang ditemukannya dan/atau dilaporkan kepadanya, sepanjang memenuhi kriteria perkara tindak pidana korupsi sesuai kewenangan KPK yang diatur di dalam undang-undang. Pada dasarnya, meski mempunyai kedudukan yang khusus, Pimpinan KPK memiliki kedudukan yang sama dengan pimpinan Polri dan Kejaksaan sepanjang menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, segala peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi juga berlaku bagi KPK sepanjang tidak diatur lain,” jelas Gandjar.[2]

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)[3]

 

Apakah benar hal yang disampaikan diatas itu ? Tanggapan terhadap hal tersebut diatas dapat dibaca pada kesimpulan setelah dianalisa berdasarkan hal-hal dibawa ini. 

 

1.              Sistim Peradilan Indonesia.

Sistim peradilan Indonesia diatur pada pasal Pasal 24 ayat (2) UUD 45 yang selengkapnya berbunyi :

  

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan PERADILAN UMUM, lingkungan peradilan agama, lingkungan PERADILAN MILITER, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

 

Selanjutnya  diperkuat oleh Pasal 18 UU No 48 / 2009 ttg KEKUASAAN KEHAKIMAN yang materi selengkapnya berbunyi :

  

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

 

Jadi sangat jelas bahwa menurut UUD 45 Kekuasaan Kehakiman itu dilaksanakan oleh a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan MIliter, d. Peradilan Tata Usaha Negara dan e. Mahkaman Konstitusi. 

Itulah sebabnya Peradilan Umum dan Peradilan Militer itu mutlak terpisah. artinya kedua badan peradilan itu memiliki kekuasaan yang tidak bisa saling mengganggu. 

 

2.              Peradilan Militer.

 

2.1.         Lingkungan berlakunya Peradilan Militer

Pasal 5 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER mengatur  bahwa : 

 

(1) Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Jadi, Peradilan Militer berada di lingkungan TNI.

2.2.         Lingkup kewenangan Peradilan Militer. 

Lingkup Kewenangan Peradilan Militer diatur pada Pasal 9 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER mengatur bahwa : 

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang: 

1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: 

a. Prajurit; 

b. ….

Sehingga sangat jelas, mengalir dari pasal 5 dan 9 UU  UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER bahwa Peradilan Militer adalah Pengadilan dilingkungan TNI yang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh para Prajurit TNI.

2.3.        Penyidik Peradilan Militer 

              Penyidik Peradilan Militer yang bertugas untuk menyidik Tindak Pidana yang dilakukan oleh para Prajurit TNI diatur oleh Pasal 69 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER yang mengatur bahwa : 

(1) Penyidik adalah:  

a. Atasan yang Berhak Menghukum; 

b. Polisi Militer; dan 

c. Oditur

Jelaslah bahwa Penyidik tindak Pidana yang dilakukan oleh anggota TNI adalah 

a. Atasan yang berhak menghukum, 

b. Polisi MIliter dan 

c. Oditur.

2.4           Penerapan Pidana Umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).

Penerapan Pidana Umum dalam KUHPM diatur oleh UU No 39/47 ttg Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara.   

Pasal 1 mengatur nama Wetboek van Militairy Strafrecht disebut sbg Kitab Undang-undang  Hukum Pidana Militer (KUHPM).

 

Buku Pertama KUHPM ttg Penerapan Hukum Pidana Umum

 

Pasal 1.  Untuk penerapan kitab undang-undang ini (KUHPM) berlaku ketentuan hukum pidana umum kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

 

Pasal 2. Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam undang-undang ini yang dilakukan oleh militer diterapkan hukum pidana umum kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan demikian sangat jelas bahwa KUHPM bkan hanya mengatur pelanggran tindak pidana militer saja, tapi juga mengatur pelanggaran tindak pidana umum termasuk tindak pidana korupsi (Pelanggaran UU 31/1999 ttg TIPIKOR) 

3.              Peradilan Umum.

3.1.         Lingkungan berlakunya Peradilan Umum.

Peradilan Umum berada dalam lingkungan orang sipil. 

 

3.2.         Lingkup kewenangan Peradilan Umum.

Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum berwenang pelanggaran tindak pidana (KUHP) yang dilakukan oleh orang sipil. 

3.3.         Penyidik Peradilan Umum. 

Penyidik Peradilan Umum yang bertugas untuk menyidik Tindak Pidana Umum (KUHP) diatur pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP :

 

(1)  Penyidik adalah :

a.   Pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b.   Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 

3.4.         Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di Lingkungan PERADILAN UMUM.

 

Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK mengatur bahwa :

 

(1) Pengadilan TINDAK PIDANA KORUPSI berada di LINGKUNGAN PERADILAN UMUM.

 

Jadi sangat jelas bahwa PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR)  adalah SATU-SATUNYA PENGADILAN yang  MENGADILI PERKARA TIPIKOR dan HANYA DILINGKUNGAN PERADILAN UMUM SAJA. 

 

3.4.1      Penyidik pada pada Pengadilan TIPIKOR

Penyidik pada pengadilan TIPIKOR diatur pada Pasal 26 PS UU 31/1999 TTG TIPIKOR yang materinya berbunyi :

 

Penyidikanpenuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 

 

Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :

 

(1)   Penyidik adalah :

    a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;     

    b.   Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 


Sangat jelas bahwa Penyidik pengadilan TIPIKOR persis sama dengan Penyidik Pengadilan Umum. Hal ini merupakan bukti bahwa Pengadilan TIPIKOR termasuk dalam Lingkup Pengadilan Umum 

 

3.4.2      Pasal 42 UU 30/2002 TTG KPK

KPK mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer

 

Pasal 42 UU 30/2002 TTG KPK ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan Penuntutan dan penyidikan orang yang tunduk pada peradilan Militer, atau TNI. Padahal KPK sendiri kewenangannya sudah dibatasi oleh Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK yang mengatur bahwa Pengadilan TINDAK PIDANA KORUPSI berada di LINGKUNGAN PERADILAN UMUM yang artinya bahwa KPK hanya bisa melakukan koordinasi Penuntutan dan Penyidikan pada Pengadilan UMUM saja. KPK TIDAK BERWENANG MELAKUKAN koordinasi Penuntutan dan Penyidikan pada Pengadilan Perkara Koneksitas.

 

Pasal 42 UU 30/2002 TTG KPK ini juga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 45 yang mengatur tenang adanya Peradilan Umum dan Peradilan Militer secara terpisah dan independent. 

Pasal 42 UU 30/2002 TTG KPK ini juga bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER, yang mengatur tentang Penyidik serta penuntut pada peradilan Militer.

Pasal 42 UU 30/2002 TTG KPK ini juga bertentangan dengan Pasal Pasal 39 UU 31/1999 ttg TIPIKOR yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

 

4.        Peradilan Koneksitas.

Peradilan Koneksitas dibentuk apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Ketika terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, maka Jaksa Agung yang berwenang untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 

Hal itu diatur pada Pasal 39 UU 31/1999 tentang TIPIKOR yang materi selengkapnya berbunyi :

 

Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

 

Selain itu, hal ini disebabkan pula karena kewenangan Jaksa Agung itu sejalan dengan Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa, serta prinsip Single Prosecution System (sistem penuntutan tunggal) yang menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional.

Itulah sebabnya jaksa selalu ada baik itu dipengadilan militer maupun di pengadilan umum. 

 

4.1      Koordinasi Kejaksaan dan Peradilan Militer.

Apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, dalam melaksanakan tugasnya dibidang penuntutan, khususnya di bidang koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat dan penanganan perkara koneksitas,  Kejaksaan telah menugaskan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer.

Tugas itu dapa dilihat pada Pasal 25A ayat (1) PERPRES 15/2021 TTG ORG KEJAKSAAN yang selengkapnya berbunyi :

 

(1) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat dan penanganan perkara koneksitas, bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.

 

4.2      Penyidik Perkara Koneksitas.

Penyidik Perkara koneksitas diatur pada Pasal 89 ayat (2) KUHAP yang selengkapnya berbunyi :

 

Pasal 89 KUHAP

(1)  Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk  lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 

            

(2)  Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana. 

 

Jadi sangat jelas bahwa Penyidik pada perkara Koneksitas adalah Polri, Polisi Militer dan Oditur Militer atau Oditue militer tinggi. Dalam perkara Koneksitas KPK tidak ikut serta, dan semua hasil penyelidikan diserahkan kepada Polri yang akan melaksanakan penyidikan serta diserahkan kepada Kejaksaan yang akan melakukan penuntutan.

 

5.        Kesimpulan.

       Mengalir dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan hal hal sebagai berikut :

a.         Secara tegas diatur bahwa KUHAP menjadi hukum acara pidana dalam persidangan di pengadilan tipikor, termasuk pada perkara koneksitas.

b.         Walaupun KUHAP berlaku untuk perkara koneksitas, tapi dalam perkara koneksitas, KPK tidak ikut serta.  

c.         Hingga saat ini memang belum ada peraturan perundang-undangan sejenis dalam level yang setara yang menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan perkara koneksitas sesuai KUHAP. Dan memang aturan itu tidak diperlukan, karena KPK tidak diperlukan dalam perkara koneksitas.  Ingat bahwa KPK  hanya diperlukan pada Pengadilan Umum saja.

d.         Oleh karena KPK terikat pada Peradilan Umum saja, maka jelas bahwa KPK tidak dapat membentuk tim gabungan koneksitas seperti dimaksud KUHAP.  KPK wajib menyerahkannya kepada Jaksa Agung atau Polisi. 

e.         KPK memang hanya dibatasi dalam lingkup Peradilan Umum saja, tidak untuk Peradilan Koneksitas.

f.          KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum yang tunduk pada Peradilan Umum saja. 

g.         Konsep koneksitas tidak bisa diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu, tapi konsep koneksitas itu lahir karena adanya Peradilan yang terpisah yang tidak bisa disatukan. Tujuan dari pembentukan Peradilan Koneksitas memang adalah untuk menyatukan perkara Tipikor agar tidak terpisah sebagai akibat dari terpisahnya sistim Peradilan.

h.         Pasal 42 UU KPK tidak wajib dimaknai bahwa KPK RI mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)[4]

 

 

 

 

 

 

 



[1] Kabais TNI 2011-2013

[2] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19957&menu=2

[3] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19957&menu=2

[4] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19957&menu=2

MENCERMATI HASRAT LIBIDO KPK UNTUK MENJADI LEMBAGA FULLY SUPER BODY

 MENCERMATI HASRAT LIBIDO KPK UNTUK MENJADI LEMBAGA FULLY SUPER BODY

Jakarta 19 Februari 2024 

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH[1]

Sejak terjadinya kasus TIPIKOR Kepala Basarnas, terlihat jelas bahwa KPK berupaya untuk menjadikan dirinya Lembaga Super Body yang dapat berbuat apa saja. Untuk mewujudkan impiannya itu turut serta pula para akademisi. Salah satunya bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta yang merupakan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia.

Sehubungan dengan kedudukannya, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, termasuk yang dilakukan secara koneksitas. Karenanya konsep koneksitas harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan.

Hal ini disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Gugum Ridho Putra (Pemohon) pada sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (25/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kelima terhadap Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.

“Dengan berbagai kekhususan yang dimiliki KPK, tidak berlebihan apabila KPK menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang ditemukannya dan/atau dilaporkan kepadanya, sepanjang memenuhi kriteria perkara tindak pidana korupsi sesuai kewenangan KPK yang diatur di dalam undang-undang. Pada dasarnya, meski mempunyai kedudukan yang khusus, Pimpinan KPK memiliki kedudukan yang sama dengan pimpinan Polri dan Kejaksaan sepanjang menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, segala peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi juga berlaku bagi KPK sepanjang tidak diatur lain,” jelas Gandjar.[2]

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)[3]

 

Untuk itulah bersama ini disampaikan tanggapan terhadap pernyataan yang disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Gugum Ridho Putra.

  

1.         Pernyataan pertama :

“Sehubungan dengan kedudukannya, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, termasuk yang dilakukan secara koneksitas”.

Tanggapan pertama :

 

Dalam pernyataan ini jelas bahwa ada beberapa subjek hukum yang diatur dalam Undang-undang. Sependapat dengan beliau bahwa KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang

 

Sistim peradilan Indonesia diatur pada pasal Pasal 24 ayat (2) UUD 45 yang selengkapnya berbunyi :

  

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan PERADILAN UMUM, lingkungan peradilan agama, lingkungan PERADILAN MILITER, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

 

Selanjutnya  diperkuat oleh Pasal 18 UU No 48 / 2009 ttg KEKUASAAN KEHAKIMAN yang materi selengkapnya berbunyi :

  

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

 

Jadi sangat jelas bahwa menurut UUD 45 Kekuasaan Kehakiman itu dilaksanakan oleh a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan MIliter, d. Peradilan Tata Usaha Negara dan e. Mahkaman Konstitusi. 

 

Itulah sebabnya Peradilan Umum dan Peradilan Militer itu mutlak terpisah. artinya kedua badan peradilan itu memiliki kekuasaan yang tidak bisa saling mengganggu. 

 

Lingkungan berlakunya Peradilan Militer diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER mengatur  bahwa : 

 

(1) Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Jadi, Peradilan Militer berada di lingkungan TNI.

Selanjutnya Kewenangan Peradilan Militer diatur pada Pasal 9 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER mengatur bahwa : 

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang: 

1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: 

a. Prajurit; 

Jadi sangat jelas bahwa menurut UUD 45 subjek hukum dari Peradilan di Indonesia terbagi atas subyek hukum orang yang berstatus militer dan subjek hukum orang yang berstatus non militer atau sipil.

 

Yang jadi pertanyaannya adalah, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum yang mana ? Apakah subyek hukum orang yang berstatus militer dan subjek hukum orang yang berstatus non militer atau sipil ?

 

Semua orang tahu bahwa KPK itu dilahirkan oleh UU 30/2002 tentang KPK. Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK mengatur bahwa :

 

(1) Pengadilan TINDAK PIDANA KORUPSI berada di LINGKUNGAN PERADILAN UMUM.

 

Jadi sangat jelas bahwa PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) yang ditangan KPK  HANYA DILINGKUNGAN PERADILAN UMUM SAJA. Artinya KPK hanya menangani perkara TIPIKOR oleh orang yang berstatus non militer atau sipil saja.

 

Lalu bagaimana bila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang berstatus militer dan orang yang berstatus non militer atau sipil. 

 

Untuk mengadili TIPIKOR yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang berstatus militer dan orang yang berstatus non militer atau sipil dibentuk Peradilan Koneksitas.

 

Peradilan Koneksitas dibentuk apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

 

Jadi sangat jelas bahwa Peradilan Koneksitas itu berada DILUAR PERADILAN UMUM, sehingga berada DILUAR JANGKAUAN KPK. Artinya KPK tidak berwenang menangani TIPIKOR yang dilaksanakan pada Peradilan Koneksitas. 

 

2.         Pernyataan kedua :

“Karenanya konsep koneksitas harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan”.

Tanggapan kedua :

Pada dasarnya menurut UUD 45 bahwa Peradilan militer dan Peradilan Umum itu mutlak terpisah. Akan tetapi penanganan perkara TIPIKOR harus secara utuh dan tidak boleh tarpisah. Agar supaya penanganan perkara TIPIKOR terlaksana secara utuh dan tidak terpisah itulah maka dibentuk Peradilan Koneksitas. Jadi Konsep Peradilan Koneksitas pada dasarnya memang agar penangan perkara secara utuh. Bukan “harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu penanganan perkara secara utuh . Tanpa diterjemahkan pun pembentukan pengadilan Koneksitas tujuannya agar adanya satu penanganan perkara secara utuh.

Dalam peradilan Koneksitas tidak ada pemisahan. Kalau terjadi pemisahan maka judulnya akan berobah menjadi Peradilan militer dan Peradilan Umum.

KPK mutlak harus menyerahkan atau melepaskan perkara TIPIKOR kepada Jaksa Agung bila perkara TIPIKOR itu diadili di Peradilan Koneksitas. Alasannya sangat sederhana, bahwa Peradilan Koneksitas berada diluar Peradilan Umum sehingga berada diluar kewenangan KPK.

 

Ketika terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, maka Jaksa Agung yang berwenang untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 

Hal itu diatur pada Pasal 39 UU 31/1999 tentang TIPIKOR yang materi selengkapnya berbunyi :

 

Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

 

Selain itu, hal ini disebabkan pula karena kewenangan Jaksa Agung ini sejalan dengan Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa, serta prinsip Single Prosecution System (sistem penuntutan tunggal) yang menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional.

Itulah sebabnya jaksa selalu ada baik itu dipengadilan militer maupun di pengadilan umum. 

 

3.         Pernyataan ketiga :

 

“Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP”.

 

Tanggapan ketiga :

Ketentuan Pasal 42 UU KPK tidak wajib dimaknai bahwa KPK RI mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. Alasannya juga sangat sederhana yaitu karena Peradilan Koneksitas berada diluar kewenangan KPK. Pelaksanan pasal ini justru akan bertentangan dengan Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK sekali gus bertentangan dengan pasal Pasal 24 ayat (2) UUD 45. Apabila suatu perkara TIPIKOR diadili di Pengadilan Koneksitas, maka KPK wajib menyerahkan perkaranya kepada Jaksa Agung.

 

4.         Pernyataan keempat.

“Ada usulan untuk membentuk subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK”

 

Tanggapan keempat.

Tidak ada urgensi dan landasan hukum untuk membentuk subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK. Pembentukan subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK justru bertentangan dengan Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK. Disamping itu bertentangan pula dengan kompetensi abolut Sistim Peradilan dalam UUD 45, KUHAP dan UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Laksanakan saja Pasal 26 UU KPK karena saat ini sudah sejalan dengan Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Kesimpulan.

Sangat terlihat hasrat libido KPK untuk menjadi kan dirinya lembaga fully super body. Dalam rangka memenuhi Hasrat libidonya KPK tidak segan segan memanfaatkan para akademisi. Sangat disayangkan pula para akademisi begitu mudahnya ikut dalam pusaran ambisi kekuasaan KPK.

Semoga untaian tulisan ini dapat bermanfaat bagi para hakim MK dalam memutus Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.

 

 



[1] Kabais TNI 2011-2013

[2] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19957&menu=2

[3] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19957&menu=2