24 Oktober 2021

KESATUAN PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI RIWAYATMU DULU

                            KESATUAN PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI RIWAYATMU DULU

oleh :

Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto ST, MH*)


"Tak dikenal maka tak disayang" demikianlah hal yang terjadi pada Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai. Padahal, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai adalah Organisasi tertua di Indonesia yang melaksanakan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia. Kesatuan Penjaga laut dan Pantai ini telah ada sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. 

Sebelum tahun 1945, Organisasi Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai berada dalam dalam Dienst Van Scheepvaart (Dinas Pelayaran) dan Gouvernment Marines (Armada Pemerintah). Dasar hukum  Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai diatur oleh :

            1.         Peraturan Pelayaran (Scheepvaart Reglement) LN.1882 No.115          junto   LN.1911 No. 399 (Kepolisian di Laut).

            2.         Undang-Undang Pelayaran (Scheepvaart Ordonantie) 1936    (Stb.1936       No.700).

            3.         Peraturan Pelayaran (Scheepvaart Reglement) 1936 pasal 4.

            4.         Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritime 1939 pasal 13.

 


Pada tahun 1949 institusi Gouvernement Marine (Armada Pemerintah) dilebur menjadi Departemen Pelayaran. Kapal-kapal Armada Pemerintah menjadi Dinas Kapal Negara berdasarkan Ordonansi  No. 113 LN 1949.

Selanjutnya khusus yang berkaitan dengan hal-hal penegakan hukum dan keamanan di laut (kepolisian di laut) dibentuk  Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan Keputusan Kepala Departemen Pelayaran No. JZ 1/ 15/117 tahun 1949. 

Tanggal 27 Desember 1949 institusi Departemen Pelayaran ditempatkan dibawah Kementerian Perhubungan. 

Pada tahun 1950, setelah pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan RI tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum Nomor 3 Tanggal 9 Juni 1950 Nama Organisasi Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai berubah menjadi Dinas Penjaga Laut dan Pantai  (DPLP). 

Pada tahun 1951 Departemen Pelayaran dirubah menjadi Jawatan Pelayaran Negara dibawah Kementerian Perhubungan. 

Pada Tahun 1952 Dinas Penjaga Laut dan Pantai diserahkan kembali kepada Jawatan Pelayaran yang diawali dengan penyerahan Dinas Patroli Tanjung Uban Pulau Bintan Kepulauan Riau dengan dasar Pertimbangan sehubungan dengan pengkhususan tugas Anak Buah Kapal (ABK) di bidang Pertahanan.  

Pada tahun 1959 Kementerian Perhubungan dipecah menjadi tiga Departemen yang dipimpin oleh Menteri yaitu:

1)    Departemen Perhubungan Laut, 

2)    Departemen Perhubungan Udara, dan 

3)    Departemen Perhubungan Darat .

Departemen Perhubungan Laut membawahi 3 Jawatan yaitu:  

1)    Jawatan Pelayaran Negara, 

2)    Jawatan Pelabuhan dan 

3)    Jawatan Pelayaran Ekonomi. 

Dari tiga Jawatan tersebut hanya Jawatan Pelayaran Negara yang berdasarkan kuasa undang-undang ditunjuk sebagai Otoritas yang bertanggung jawab terhadap roda pemerintahan Negara di laut dan bertanggung jawab terhadap ketertiban, keamanan dan keselamatan maritim serta perlindungan lingkungan laut. Penegakan hukum dan keamanan di laut dilaksanakan oleh kapal-kapal Negara Dinas Penjagaan Laut Dan Pantai (DPLP) Jawatan Pelayaran RI.

 


Pada tahun 1964 Penjaga Laut dan Pantai (PLP) menjadi bagian Operasi Polisionil di Laut (OPDIL) dibawah Direktorat Operasi Kementrian Perhubungan Laut.

Pada tahun 1965 Operasi Polisionil Di Laut (OPDIL) berubah menjadi Asisten Operasi Khusus Angkutan Pemerintah (AOKAP)  berdasarkan SK.Menhubla Nomor Kab.4 /9 /16 Mei 1965

Pada tahun 1966 Asisten Operasi Khusus Angkutan Pemerintah (AOKAP) berdasarkan SK.Menhub Nomor M.14 /3/14 Phb tanggal 20 Juni 1966  berubah menjadi Biro Keselamatan Pelayaran (BKP).

Pada tahun 1966 Biro Keselamatan Pelayaran (BKP) berdasarkan SK. Menteri Maritim : Nomor Kab.4 /3/14 tanggal 13 Desember 1966 BKP digabung kedalam Komando Satuan Operasi (KOSATOP). 

Pada tahun 1968 Biro Keselamatam Pelayaran (BKP) diubah kembali namanya menjadi Dinas Penjaga Laut dan Pantai (DPLP) Berdasarkan SK. Menhub Nomor M.14 /9 /7 Php tanggal 24 Agustus 1968, dengan tugas menyelenggarakan Kepolisian Khusus di Laut dan Keamanan Khusus Pelabuhan.

Pada tahun 1970 Dinas Penjaga Laut dan Pantai (DPLP) berdasarkan SK Direktorat Perhubungan Laut Nomor. Kab 4/3/4 tanggal 11 April 1970 membentuk Komando Operasi Penjaga laut dan Pantai (KOPLP). 

Pada tahun 1974,  Dinas penjaga Laut dan Pantai (DPLP) diganti dengan nama menjadi  Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut Dan Pantai (KPLP)  berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 44 Tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen dan No. 45 Tentang Susunan Organisasi Departemen, dan ditempatkan  dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

 

Pada tahun 1988 dibentuk Organisasi Armada Penjagaan Laut dan Pantai (APLP) dengan 5 (lima) pangkalan utama yaitu : Tanjung Uban, Tg priok/Jakarta, Tg.Perak/Surabaya, Bitung dan Ambon  yang bersifat operasional dengan tugas pokoknya adalah pengamanan keselamatan maritim dan penegakan hukum di laut/kepolisian di laut berdasarkan Kep Men Hub No. 18 tanggal 6 Pebruari 1988, 

Pada tahun 2008 Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran bersama Bakorkamla ditingkatkan kemampuannya menjadi Penjaga laut dan Pantai, (SEA AND COASTGUARD) dibawa Presiden dengan landasan hukum : 

            1.         Penjelasan Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang      Pelayaran :.

                        Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas                   dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang                 Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang                                  dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara                                   teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Penjaga laut dan                      pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di                bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi                             koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan                   pelayaranPenjagaan laut dan pantai tersebut merupakan                             pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut dan                                  perkuatan    Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.

            2.         BAB XVII PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST       GUARD)  Pasal 276 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang             Pelayaran.

                        (1)  Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan                                             keamanan di lautdilaksanakan fungsi penjagaan dan                                                          penegakan     peraturan perundang-undangan di laut dan                                          pantai

                        (2)  Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)                                                 dilakukan oleh penjaga laut dan pantai. 

                        (3)  Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat                                   (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan                                                secara             teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. 

            
3.        Pasal 277  Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang                              Pelayaran

                        (1)  Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam                                   Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas: 

                                    a.         melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan                                         pelayaran; 


                                    b.         melakukan pengawasan, pencegahan, dan                                                           penanggulangan pencemaran di laut; 


                                    c.          pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu                                                  lintas kapal; 


                                    d.         pengawasan dan penertiban kegiatan salvage,                                                 pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi                                                          kekayaan laut; 


                                    e.         pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan 
                                        mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan                                                           pertolongan jiwa di laut. 


                        (2)  Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam                                   Pasal 276 ayat (1) Penjaga Laut dan Pantai melaksanakan                                              koordinasi untuk :


                                   a.         merumuskan dan menetapkan kebijakan umum                                                             penegakan hukum di laut;  

                                    b.         menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi                                           penegakan hukum di laut secara terpadu; 


                                    c.          kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan                                             penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan                                                             pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan                                                   Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan 


                                    d.         memberikan dukungan teknis administrasi di bidang                                        penegakan hukum di laut secara terpadu. 


            4.         Pasal 278 
 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang                              Pelayaran.

                        (1)  Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam                                                Pasal 277,  Penjaga Laut dan Pantai mempunyai kewenangan                                        untuk :

                                    a.         melaksanakan patroli laut;


                                    b.         melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);

                                    
c.         memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan

                                    d.         melakukan penyidikan

                        (2)  Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud                                               pada ayat (1) huruf d Penjaga Laut dan Pantai melaksanakan                          tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai                                     dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

                        (3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan                          pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Akan tetapi, sampai sekarang, Penjaga Laut dan Pantai masih juga belum dibentuk. 

 *)Kabais TNI 2011-2013

MENGENAL KOMANDO ARMADA (I,II,III) TNI AL

                                         MENGENAL KOMANDO ARMADA (I,II,III) TNI AL

oleh :

Laksda TNI (Purn) soleman B. Ponto, ST, MH*)

Hari ini 05 Desember 2018, KOMANDO ARMADA (I, II, III) yang dulunya bernama Armada Republik Indonesia merayakan ulang tahunnya ke 59 tahun.

Komando Armada (I,II,III) tidak terlepas dari sejarah Armada Republik Indonesia (Armada RI) yang terkait dengan perjalanan sejarah TNI AL, dan tidak terlepas pula dari sejarah perjalanan kemerdekaan Republik Indonesia. Sesaat setelah Indonesia merdeka, dibentuklah TKR Laut. Struktur organisasinya disusun sesuai dengan kebutuhan matra laut, yakni dengan membentuk beberapa satuan seperti Pangkalan, Corps Armada, Corp Mariniers  (dulunya KKO dan sekarang kembali menjadi Marinir), Polisi Tentara Laut (sekarang Polisi Militer TNI AL) dan Kesehatan. Pada tanggal 25 Januari 1946 TKR Laut berubah menjadi Tentara Republik Indonesia Laut (TRI Laut). Selanjutnya pada tanggal 19 Juli 1946 TRI Laut kemudian dirubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia yang disyahkan bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi ALRI di Lawang, Malang. Sejumlah Pangkalan Angkatan Laut terbentuk, kapal – kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepang diberdayakan, dan personel pengawaknya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai penjaga laut Republik yang baru terbentuk itu. 

Seirama dengan perjalanan waktu, kualitas unsur armada menjadi semakin canggih dan modern kuantitasnya juga semakin besar, akhirnya berdasarkan SK KSAL No. A. 4/2/10 tanggal 14 September 1959 ditetapkan berdirinya organisasi Komando Armada ALRI, yang diresmikan pembentukannya pada tanggal 5 Desember 1959 oleh KSAL Komodor Laut R.E Martadinata. Pada tanggal ini selanjutnya tiap tahun diperingati sebagai “Hari Armada”. 

Sejalan dengan semakin komplexnya permasalahan yang terjadi di laut, kemudian berdasarkan Surat Keputusan Panglima ABRI Nomor : Kep.171/II/1985 tanggal 30 Maret 1985, Armada RI resmi di bagi menjadi dua kawasan wilayah kerja, yaitu Armada RI Kawasan Timur danArmada RI Kawasan Barat Pembagian wilayah kerja tersebut, juga secara bertahap melaksanakan Dispersi kekuatan Alut Sista yang semula seluruhnya berada di Armada Timur, sebagian di Dispersi ke Armada Barat, guna menyikapi perkembangan jaman dan tuntutan tugas semua wilayah kerja. 

Dengan bergulirnya waktu, serta perkembangan lingkungan strategis dilaut, pada tanggal 11 Mei 2018, berdasarkan Peraturan Presiden Nomer 10 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomer 62 Tahun 2016, ditetapkan berdirinya organisasi baru, yaitu Komando Armada III (Koarmada-III), sekaligus pergantian nama satuan TNI yaitu Komando Armada RI Wilayah Barat (Koarmabar) menjadi Koarmada-I dan Komando Armada RI Wilayah Timur (Koarmatim) menjadi Koarmada-II. 

A.        KOARMADA (I,II,III), bagaikan "Naga Laut berkepala dua".

Koarmada (I,II,III) adalah organisasi unik, yang memiliki dua kepala. Uniknya postur ini sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang TNI.

            1.         TUGAS POKOK TNI.

                        Menurut UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Penegakan    Kedaulatan, adalah tugas pokok TNI, sebagaimana diatur pada ayat (1)      pasal 7 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang bunyinya sebagai           berikut :

            Ayat 1:
            Tugas Pokok TNI adalah :
                        "Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan                         wilayah           Negara Kesatuan Republik Indonesia yang                                                 berdasarkan Pancasila dan    Undang-Undang Dasar 1945, serta                           melindungi segenap bangsa dan seluruh             tumpah darah Indonesia                    dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan      bangsa dan                             negara".

            Pelaksanaan Tugas Pokok TNI ini dibawa Komando Panglima TNI.

            2.         TUGAS TNI AL.

                        Pasal 9 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang berbunyi :

                        a. Melaksanakan tugas TNI matra laut bidang pertahanan.

                        b. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut              yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional                                     dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

                        c. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam mendukung                      kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah.

                        d. Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan                                             pengembangan kekuatan matra laut.

                        e. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.

Tugas pada huruf (a) Melaksanakan tugas TNI matra laut bidang pertahanan, menjelaskan bahwa TNI AL mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas TNI di laut. Secara otomatis, KOARMADA (I,II,III)  yang merupakan organisasi dalam tubuh TNI AL juga mempunyai tugas untuk menegakkan kedaulatan dilaut

Oleh karena pemimpin yang           bertanggung jawab untuk menegakkan kedaulatan adalah Panglima TNI, maka secara otomatis pula dalam pelaksanaan operasi penegakan   kedaulatan dilaut, Koarmada (I,II,III) bertanggung jawab langsung            kepada Panglima TNI.

Tugas pada huruf (b) Menegakan hukum dan menjaga keamanan diwilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, menugaskan TNI AL untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional atau di Perairan Indonesia. Secara otomatis, KOARMADA (I,II,III)  yang merupakan organisasi dalam tubuh TNI AL juga mempunyai tugas untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional atau di Perairan Indonesia. Oleh karena penegakaan hukum adalah tugas TNI AL, maka pemimpin yang bertanggung jawab adalah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Sehingga secara otomatis pula dalam pelaksanaan operasi penegakan   hukum dilaut,Koarmada (I,II,III) bertanggung jawab langsung kepada Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).

Itulah sebabnya Koarmada (I,II,III) memiliki Dua Kepala, yaitu dalam hal pelaksanaan Operasi Penegakan Kedaulatan dilaut bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI, sedangkan dalam pelaksanaan Operasi Penegakan Hukum dilaut, bertanggung jawab langsung kepada KSAL. 

Jadi tidak salah bila disebut Koramada (I,II,III) bagaikan Naga Laut yang berkepala dua.

B.        KOARMADA (I,II,III) pelaksana Penegakan Hukum diperairan Indonesia dengan Sistim "Single Agent Multy Task"

Diketahui bahwa ada sedikitnya 17 (tujuh belas) UU yang berhubungan dengan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia. Jadi sedikitnya juga ada 17 (tuju belas) intansi yang terlibat dalam penegakan Hukum di Perairan Indonesia.

Dengan adanya 17 (tujuh belas) UU, berarti ada 17 (tujuh belas) instansi dengan 17 (tujuh belas) tugas. Untuk mensinerjikan ke 17 (tujuh belas) tugas ini salah satu sistem yang ada yaitu:

Sistem "Single Agency Multi Task" yaitu Menyatukan 17 (tujuhbelas) tugas itu kedalam KOMANDO satu instansi.

"Single Agency Multi Task" artinya satu instansi dengan banyak tugas. Sehingga bila menggunakan sistem "Single Agency Multi Task" maka 17 (tujuh belas) tugas dari 17 instansi yang diatur oleh 17 Undang-undang disatukan kedalam KOMANDO satu instansi.

Karena berada dibawa KOMANDO satu instansi, maka sistem ini "dianggap" lebih simpel dan lebih efisien dan lebih mudah melaksanakan tugas. 

Sekarang ini, 17 (tujuh belas) tugas dari 17 (tujuh belas) instansi yang ditugaskan oleh Undang-undang untuk Menegakan Hukum Perairan Indonesia mau disatukan kedalam Badan baru yang dikenal dengan nama Bakamla.

Salah satu dari 17 (tujuh belas) tugas dari 17 (tujuh belas) instansi yang ditugaskan untuk Menegakan Hukum di Perairan Indonesia adalah TNI AL. penugasan TNI AL sebagai penegak hukum dapat dilihat pada beberapa Undang-undang yaitu :


            1.         Pasal 9 hurub b UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang                           berbunyi :

                        b. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut              yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional                                     dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

                        Pasal ini telah dibahas diatas.

            2.         Pasal 14 ayat 1 UU nomor 5 tahun 1981 tentang ZEEI yang     menyatakan bahwa :

                        a.         Aparatur Penegak Hukum di bidang penyidikan di Zona                              Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional                                  Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan               Bersenjata Republik Indonesia.

            Pasal ini memberikan kewenangan kepada TNI AL untuk menjadi       penyidik pada kasus-kasus yang yang melanggar ketentuan perundang-   undangan terjadi di wilayah laut ZEE. 

            UU Nomor 5 ini dibuat pada tahun 1983, sehingga yang menjadi        penyidik hanyalah perwira TNI-AL yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan        Bersenjata Republik Indonesia. Tetapi setelah UU RI nomor 34 tahun             2004 tentang TNI disahkan, pada penjelasan pasal 9 huruf b dinyatakan bahwa sebagai penegak hukum TNI AL dapat melakukan pengejaran,            penangkapan, penyelidikan dan penyidikan perkara, dengan demikian   TNI AL sebagai penyidik tidak lagi ditunjuk oleh Panglima ABRI.

            3.         Penjelasan Pasal 282 UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

                        Yang dimaksud dengan "penyidik lainnya" adalah penyidik                                    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, antara                   lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

            4.         Pasal 73 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU         Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

                        a.         Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah               pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh                 Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL,                      dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Jadi, ada 4 (empat) UU yang berhubungan dengan Penegakan Hukum dilaut yang menugaskan TNI AL sebagai Penegak Hukum di Perairan Indonesia.

Ini contoh nyata dari "Single Agency Multi Task", dimana TNI AL, satu instansi yang diberikan beberapa tugas yaitu tugas yang berasal dari UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, UU nomor 5 tahun 1981 tentang ZEEI, UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Oleh karena Koarmada (I,II,III) adalah salah satu dari organisasi pelaksana tugas TNIAL, maka secara otomatis pula Koarmada (I,II,III) memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum dari 4 Undang-undang. Artinya satu organisasi dengan 4 tugas pokok. atau "Single agency multy task".

Penegakan Kedaulatan dan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia, dilaksanakan berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Kewajiban untuk melaksanakan Penegakan Kedaulatan dan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia diatur pada Ayat (1) pasal 24 UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang berbunyi :

            "Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di             atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang       terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan             sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan    peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Mengalir dari bunyi Ayat (1) pasal 24 UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia bahwa Penegakan kedaulatan maupun Penegakan hukum di Perairan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dari Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, hanya ada satu Undang-undang yang mengatur Penegakan Kedaulatan di Perairan Indonesia dan ada sedikitnya 17 UU yang mengatur Penegakan       Hukum di Perairan Indonesia.

1 (satu) UU yang berhubungan dengan Penegakan Kedaulatan di Perairan Indonesia yaitu UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

17 (tujuh belas) UU yang berhubungan dengan Penegakan Hukum diperairan Indonesia yaitu:

            1. UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontingen Indonesia.  2. UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.      3. UU Nomor 17 Tahun 1985 ?Pengesahan United Nations Convention on     the Law of the Sea 1982.

            4. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati    dan Ekosistemnya.

            5. UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

            6. UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan        Tumbuhan.

            7. UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

            8. UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 

            9. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan             Lingkungan Hidup. 

            10. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

            11. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

            12. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31            Tahun 2004 tentang Perikanan.

            13. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor     32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

            14. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127.            15. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

            16. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil.   17. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Itulah sebabnya apabila dalam Penegakan Hukum di Perairan Indonesia sistem yang akan dipakai adalah "Single Agency Multi Task" maka instansi yang paling mampu dan paling berhak sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku untuk menjadi Pemegang Komando Penegak Hukum di Perairan Indonesia adalah TNI AL yang pelaksanaannya oleh Koarmada (I,II,III).

3.         HARAPAN MASYARAKAT KEPADA KOARMADA (I,II,III).

            Sebagai masyarakat Indonesia, Koarmada (I,II,III) adalah kebanggaan kami. Kami berharap, dengan semakin tambahnya usia, akan semakin membuat Koarmada (I,II,III) semakin profesional. Tidak hanya Ilmu Perang Laut yang harus dikuasai dengan baik, tapi ilmu Hukum khususnya Hukum Laut dan Hukum Maritim harus pula dikuasai dengan baik. 

 

Selamat hari Ulang Tahun Koarmada (I,II,III), Jalesveva Jayamahe. 


*) Kabais TNI 2011-2013

PEMBERANTASAN TERORISME OLEH TNI DAN POLRI

 

PEMBERANTASAN TERORISME OLEH TNI  DAN POLRI 

DALAM PERSPEKTIF HUKUM.

 

oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH

Kabais TNI 2011-2013

 

B

elum hilang rasanya dari ingatan kita ketika para teroris menyerang Bali.  Penyerangan para teroris itu tidak hanya terjadi di Bali saja, tetapi juga dibeberapa gereja yang ada di beberapa kota di Indonesia.  Hal ini merupakan bukti bahwa di Indonesia masih banyak pelaku teror, dengan berbagai macam latar belakang alasan yang merupakan penyebab mereka melakukan aksi teror itu. 

 

            Masih adanya pelaku aksi teror ini merupakan bukti bahwa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang menjadi pendukung dan bersimpati terhadap para teroris itu.  Para pendukung itu datang dari berbagai lapisan masyarakat.  Ada yang merupakan sanak famili, hubungan emosional berasal dari satu kampung, satu organisasi, ataupun dari kelompok yang memiliki satu ideologi.  Oleh karena itu, di dalam menyelesaikan masalah terorisme ini mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus mempertimbangkan rasa keadilan para pendukung aksi teror ini.  Para pelaku serta para pendukung aksi teror ini sudah tentu memiliki alasan pembenaran masing-masing untuk membenarkan aksi yang mereka lakukan itu.  Tidak adanya rasa keadilan justru berpotensi melahirkan teroris-teroris baru.  Rasa keadilan ini tidak hanya harus dirasakan oleh para pendukung aksi teror itu, tetapi juga oleh para korban, dan masyarakat lain yang juga mengalami kerugian sebagai akibat dari adanya serangan aksi teror itu. 

 

            Untuk menjamin adanya keadilan bagi semua pihak dalam menyelesaikan masalah terorisme ini, maka satu-satunya jalan adalah menyelesaikannya lewat jalur hukum.  Untuk itulah diperlukan adanya undang-undang yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan teror ini, dan pemerintah pada tahun 2003 meresmikan  Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.  Undang-undang RI ini memberikan tugas dan wewenang kepada Polisi sebagai unsur utama di dalam memberantas aksi teror tersebut.  Namun setahun kemudian pemerintah menetapkan satu Undang-undang RI lagi, yaitu Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yang di antara pasalnya mencantumkan tugas dan kewenangan bagi TNI untuk memberantas aksi teror. 

 

            Masing-masing undang-undang ini mempunyai ciri-ciri khusus dalam penjabarannya. Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 memberikan kewenangan kepada Polisi untuk memberantas terorisme dengan cara mempidananakan para pelaku aksi teror tersebut.  Artinya para pelaku aksi teror harus diupayakan untukditangkap terlebih dahulu baru kemudian dibawa ke pengadilan untuk dipidanakan.  Sedangkan Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 memberikan kewenangan bagi TNI untuk mengatasi terorisme dengan cara melakukan operasi militer.  Konsekuensi bila suatu operasi militer diambil sebagai keputusan, maka pelaku diizinkan untuk terbunuh.  Walaupun operasi militer dalam rangka mengatasi aksi teror dikategorikan dalam bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

 

 

            Adanya perbedaan yang mendasar pada kedua undang-undang tersebut mengakibatkan adanya perbedaan pula dalam pelaksanaannya.  Akan tetapi pada kenyataannya, ketika melaksanakan tugasnya, baik TNI maupun Polisi belum melaksanakan seperti apa yang diatur oleh kedua undang-undang tersebut.  Sebagai produk hukum, kedua undang-undang itu harus dihormati keberadaannya.  Pelaksanaan tugas dengan tidak memperhatikan aturan yang diatur didalam Undang-undang RI pada akhirnya akan menghasilkan masalah baru yang dapat berdampak kepada Ketahanan Nasonal.  Oleh karena itu, maka kedua Undang-undang RI ini mutlak untuk dijadikan pedoman di dalam melakukan persiapan, maupun di dalam pelaksanaan pemberantasan aksi teror.

 

            Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana caranya agar kedua undang-undang ini dapat dijadikan pedoman untuk melaksanakan pemberantasan terorisme di Indonesia.  Oleh karena itu, judul ini dipilih untuk mengingatkan bahwa gatra hukum mempunyai kaitan erat dengan gatra hankam, dengan harapan, bahwa dalam rangka menciptakan situasi hankam yang aman dan tentram, maka penindakan para pelanggarnya hendaknya harus benar-benar memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak melahirkan permasalahan yang baru lagi.

 

Pemberantasan Terorisme oleh TNI Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI

 

Landasan hukum pemberantasan terorisme oleh TNI adalah Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.  Tata cara pemberantasan terorisme dalam Undang-undang RI ini diatur dalam beberapa pasal yaitu pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 18.

 

a.         Dalam Pasal 7 telah diatur dengan jelas tentang tugas pokok TNI dan cara menjalankan serta persyaratan yang harus dipenuhi ketika akan menjalankan tugas itu.  Dalam melaksanakan tugasnya dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah serta menyelamatkan bangsa, TNI melaksanakannya dengan cara melakukan operasi militer, yang bentuknya terdiri dari Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).  Cara OMSP dilaksanakan salah satunya adalah untuk mengatasi terorisme.  Dalam melaksanakan kedua bentuk operasi itu tidak bisa dilakukan secara otomatis, tetapi dibutuhkan satu persyaratan yaitu adanya kebijakan dan keputusan politik negara, sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat 3 dalam undang-undang yang sama.

 

b.         Dijelaskan juga dalam pasal 5 bahwa pelaksanaan tugas TNI harus selalu atas sepengetahuan dan seijin DPR.  Setiap pelaksanaan operasi militer baik untuk perang maupun selain perang, harus seijin dan sepengetahuan DPR.  Oleh karena itu, untuk melakukan operasi dalam rangka mengatasi terorisme harus mendapat izin dan persetujuan dari DPR terlebih dahulu

 

c.         Sesuai dengan pasal 6 pada dasarnya TNI difungsikan untuk menangkal dan menindak segala bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata baik dari dalam maupun luar negeri, serta sebagai pemulih kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan.  Fungsi TNI sebagai penindak segala bentuk ancaman militer diperkuat dan sudah sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi : “Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.”

 

d.         Dalam pasal 18 dijelaskan bahwa operasi pemberantasan teroris adalah karena aksi terorisme termasuk salah satu diantara ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata.  Presiden untuk melakukan pemberantasan terorisme, dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI tanpa meminta persetujuan DPR terlebih dahulu.  Namun, setelah waktu 2 x 24 jam, Presiden harus melaporkan pengerahan kekuatan TNI tersebut kepada DPR.  Selanjutnya, apabila DPR tidak menyetujuinya, maka operasi tersebut harus dihentikan.

 

Pemberantasan Terorisme oleh Polri Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme

 

Landasan hukum pemberantasan terorisme oleh Polri adalah Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, khususnya pasal 6 telah sangat jelas dinyatakan bahwa pelaku teror  dipidana maksimal pidana mati.  Yang perlu mendapat perhatian pada undang-undang tersebut adalah kata dipidana.  Kata ini membawa konsekuensi bahwa para pelaku teror harus dihukum, bukannya langsung dibunuh.  Para pelaku teror nanti dibunuh berdasarkan proses persidangan, bukan dibunuh dalam proses penangkapan atau di dalam proses penghentian aksi teror.  Dengan demikian, Polisi sebagai pelaksana amanat undang-undang RI tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pelakunya terbunuh.  Polisi harus berusaha agar supaya pelaku aksi teror itu tertangkap hidup-hidup, bukannya terbunuh.  Dengan demikian polisi tidak boleh disiapkan untuk membunuh para pelaku aksi teror. 

 

 

Perbedaan Pelaksanaan Antara Undang-undang RI Nomor 34 Tahun 2004 dengan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2003

 

a.             TNI dalam memberantas terorisme dilakukan dengan cara melaksanakan Operasi Militer dalam bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang harus mendapat persetujuan DPR sebelumnya, atau dapat segera melaksanakan operasi atas perintah presiden.  Namun, dalam waktu 2 x 24 jam Presiden harus melaporkan operasi ini kepada DPR.  Bilamana DPR tidak menyetujuinya, maka operasi harus segera dihentikan.  Sedangkan untuk Polri dapat segera melakukan operasinya untuk menangkap pelaku aksi teror tanpa seizin DPR.

 

b.             Cara memberantas terorisme yang dilakukan oleh TNI dilakukan dalam cara operasi militer, yang dalam pelaksanaannya pelaku aksi teror boleh terbunuh.  Hal tersebut dikarenakan dalam operasi militer yang ada hanya membunuh atau dibunuh.  Sedangkan Polri dalam mengatasi aksi teror harus dapat menangkap hidup-hidup pelaku aksi teror tersebut, untuk kemudian dibawa ke pengadilan dalam  mendapatkan hukumannya. 

 

Sehubungan dengan perbedaan tersebut, apabila Polri merasa tidak sanggup untuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, maka Polri harus segera melaporkan kepada Presiden atau kepada Menkopolhukam dan DPR.  Sehingga selanjutnya Presiden dapat segera memberi perintah kepada TNI atau keputusan politik dapat segera diambil oleh pemerintah dhi. Menkopolhukam dan DPR untuk segera menugaskan TNI dalam mengatasi aksi teror tersebut. 

 

Pejabat-pejabat Penting Serta Tugasnya Yang Terkait dengan Operasi Pemberantasan Terorisme Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 dan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 

 

a.         Presiden.     Presiden bertugas untuk memutuskan apakah TNI akan langsung digunakan secepatnya setelah terjadinya aksi teror, seperti yang diamanatkan pada pasal 18 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.  Keputusan presiden ini akan diambil apabila :

 

1)        Presiden menginginkan agar aksi teror dapat segera diatasi untuk mengurangi kerusakan dan jatuhnya korban yang lebih banyak lagi sebagai akibat dari serangan  para teroris.  Bila hal ini terjadi, maka TNI secepatnya akan melaksanakan operasi militer untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung.

 

2)        Presiden menilai bahwa Polri akan mengalami kesulitan untuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, serta untuk menghindari jatuhnya korban di antara anggota Polri sebagai akibat dari upaya untuk menangkap para pelaku aksi teror.

 

b.         Menkopolhukam.  Menkopolhukam bertugas untuk menilai situasi apakah Polri masih mampu untuk menangkap para pelaku aksi teror.  Apabila Menkopohukam menilai bahwa Polri tidak akan mampu untuk menangkap para pelaku aksi teror tersebut, maka Menkopolhukam segera mengundang Panglima TNI dan Kapolri untuk mengadakan rapat kerja atau rapat konsultasi bersama DPR untuk memutuskan apakah TNI sudah dapat digunakan untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung. 

 

c.         DPR.  DPR bertugas untuk menilai apakah Polri masih mampu untuk menangkap hidup-hidup para pelaku teror sebagai bahan untuk memutuskan ketika Menkopolhukam menyarankan agar TNI dapat segera diturunkan untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung 

 

d.         Panglima TNI.  Panglima TNI bertugas untuk menyiapkan kekuatan TNI untuk sewaktu-waktu dapat segera diturunkan untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung berdasarkan perintah Presiden RI atau berdasarkan keputusan politik negara yang diambil dalam rapat kerja atau rapat konsultasi antara Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri dan DPR.

 

e.         Kapolri.  Kapolri bertugas untuk segera mengerahkan kekuatan Polri untuk menangkap para pelaku aksi teror.  Apabila Kapolri menilai bahwa Polri sudah tidak mampu lagi utuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, maka Kapolri dapat segera melaporkan kepada Presiden atau Menkopolhukam untuk meminta bantuan kepada TNI dalam mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung itu.

 

 

 

Pelaksanaan Pemberantasan Terorisme Saat Ini

 

Untuk memberantas terorisme saat ini, Undang-undang RI yang digunakan hanyalah Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang pelaksananya adalah Polri.  Akan tetapi, hal yang sangat mendasar yang dikehendaki oleh Undang-undang RI tersebut yaitu PELAKU DIPIDANA, yang mengandung arti bahwa pelaku harus ditangkap hidup-hidup.  Hal ini pada kenyataannya tidak dilaksanakan sama sekali oleh Polisi.  Para anggota Polisi tidak disiapkan untuk menangkap atau melumpuhkan pelaku, tetapi Polisi lebih disiapkan untuk membunuh.  Hal ini bisa terlihat dari cara berlatih yang tidak ada bedanya dengan latihan yang dilakukan oleh TNI, serta alat peralatan dan senjata yang melengkapi Polisi juga tidak ada bedanya bahkan melebihi TNI.  Hal ini tentunya bertentangan dengan amanat Undang-undang RI.

 

            Pada latihan maupun pada pelaksanaan pemberantasan aksi teror saat ini, belum pernah diskenariokan pentahapan sesuai yang diharapkan oleh kedua undang-undang tersebut.  Namun kemungkinan yang bisa terjadi, para pejabat yang tersebut di dalam kedua undang-undang tersebut belum mencermatinya. Para pejabat penting yang terkait langsung di dalam pelaksanaan pemberantasan terorisme belum mengetahui bahwa mereka sebenarnya merupakan kunci dari pelaksanaan pemberantasan terorisme.

 

            Sekarang ini ada pembicaraan untuk membuat undang-undang perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka pemberantasan terorisme.  Hal ini merupakan bukti bahwa kedua undang-undang yang sudah dibahas sebelumnya belum dipahami dengan benar.  Pada kedua undang-undang itu sebenarnya sudah diatur dengan tegas dan jelas lingkup tugas masing-masing antara TNI dan Polri, serta kapan Polri mempersilahkan TNI untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan amanat yang ada di dalam undang-undang.     

 

Pemberantasan terorisme secara rinci tata cara pelaksanaannya telah diatur di dalam Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.  Akan tetapi, pada kenyataannya kedua undang-undang itu belum atau bahkan tidak dijadikan pedoman untuk melaksanakan pemberantasan terorisme.  Kedua Undang-undang itu tidak dimanfaatkan dengan baik karena belum diketahui semangat yang ada didalam kedua undang-undang itu.  Oleh karena itulah, maka isi dari kedua undang-undang itu perlu di pelajari dengan baik.

 

Hal yang harus dihindari dalam upaya mengatasi terorisme, adalah jangan sampai upaya yang dilakukan dalam rangka mengatasi aksi teror justru mengakibatkan lahirnya teroris-teroris baru.  Untuk menghindari terjadinya hal seperti itu, maka segala aturan seperti yang telah diatur di dalam Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan konsekuen.  Selanjutnya yang perlu dijadikan perhatian, bahwa tata cara pelaksanaan pembarantasan terorisme ini harus disosialisakan agar diketahui dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat.

            

 

 

PENEMBAKAN OLEH KRI DI ZEE DITINJAU DARI UNCLOS.

  

 

         PENEMBAKAN OLEH KRI DI ZEE DITINJAU DARI UNCLOS.

         oleh : Laksda TNI (Purn) Soelaman B. Ponto, ST, MH*)

 

1.       Pertanyaan :  Apakah KRI DI ZEE boleh menembak kapal yang dikejarnya ??

 

         Tidak ada satupun ayat dalam pasal 73 dan pasal 111 Unclos yang menyebutkan bahwa dalam melakukan pengejaran apakah itu pengejaran hotpursuit atau bukan diperbolehkan untuk menembak.  

 

         Bahkan pada pasal 73 ayat 1 menyatakan bahwa lingkup proses penegakan hukum yang boleh dilakukan adalah menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan. Tidak disebutkan bahwa bila melarikan diri dapat ditembak. 

         

2.       Pertanyaan :  Apakah Penembakan itu merupakan Upaya Pentaatan atau pemaksaan negara yang merupakan Power of Authority.

 

         Penggunaan Power of Authority bukan dengan melakukan PENEMBAKAN. Pentaatan terhadap pelanggaran hukum di ZEE oleh negara Pantai dalam hal ini indonesia sudah diatur pada pasal 73 Unclos yang secara khusus mengatur tentang Penegakan Peraturan Perundang-undangan negara pantai. 

 

         Pasal 73 tentang Penegakkan Peraturan Perundang-undangan Negara pantai.

 

                        1.         Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak  berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi  dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi        eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal,   memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan,    sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya                            peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai  dengan ketentuan Konvensi ini.

                        2.         Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang   layak atau bentuk jaminan lainnya.

                        3.         Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap       pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona  ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang                                      bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.

 

Pada pasal 73 ayat 1 sangat jelas diatur bahwa upaya pentaatan adalah menangkap dan melakukan proses peradilan. Tidak ada sama sekali yang mengatur bahwa Power of Authority dapat diwujudkan dengan penembakan. 

 

3.         Pertanayaan : Bagaimana kalau yang ditangkap itu lari  ? 

 

            Bagi yang melarikan dapat dikejar sampai dengan laut teritorial negara lain. Hak untuk mengejar ini diatur pada pasal 111 Unclos, yaitu Hak   pengejaran Seketika (Hot Pursuit)

      Pasal ini mengatur, mulai dari mana dan sampai dimana pengejaran dapat         dilakukan. Artinya Pengejaran itu dapat dilakukan secara terus menerus    walaupun melewati batas negara. Akan tetapi pengejaran itu harus           dihentikan ketika memasuki teritorial negara lain. Artinya, semangat dari      pasal ini adalah "kejar-kejaran antar kapal", bukan kejar kejaran antara "kapal dengan peluru". Jadi, tersirat dihindarinya Penggunaan Senjata. 

            Jadi, KRI Imam Bonjol sebaiknya hanya "mengejar" saja, tidak sampai     menembak, karena penembakan juga tidak diatur disitu

         Karena penembakan tidak diatur diatur di Unclos artinya Penembakan oleh KRI Imam Bonjol dapat dikatakan TIDAK SESUAI UNCLOS

 

4.       Pertanyaan : Penembakan oleh KRI Imam Bonjol dinyatakan telah sesuai dengan Protap Perkasal/32/V/2009 tanggal 4 mei 2009. 

 

         Apabila perkasal ini ditujukan untuk di ZEE, maka perkasal ini tentunya harus tunduk dengan peraturan UNCLOS, sebagaimana yang diatur pada pasal 58 ayat 1 dan ayat 3 Unclos.

 

 

         Hak negara pantai dan kewajiban negara lain di ZEE secara khusus diatur pada pasal 58 UNCLOS.

         

         1. Ps 58 ayat 1 mengatur bahwa semua negara baik negara berpantai dan negara tidak berpantai tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini. Artinya Indonesia sebagai negara pantai juga harus tunduk pada ketentuan yang diatur oleh UNCLOS.

         

         2. Ps 58 ayat 3  mengatur  Kewajiban negara pengguna ZEE untuk tunduk pada peraturan perundangan yang dibuat oleh negara pantai dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang aturan perundangan tersebut tidak bertentangan dengan UNCLOS. Artinya negara pengguna ZEE Indonesia harus tunduk pada peraturan yang dibuat oleh Indonesia, dan PERATURAN PERUNDANGAN YANG DIBUAT OLEH INDONESIAPUN juga HARUS tunduk PADA UNCLOS. 

 

         Oleh karena itu, apabila Perkasal itu akan diterapkan di ZEE Indonesia, maka harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Unclos. 

         Mengingat dalam Unclos tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang boleh atau tidak boleh dilakukan penembakan, maka dapat dikatakan bahwa Perkasal yang MEMBOLEHKAN PENEMBAKAN itu TIDAK SESUAI BAHKAN BERTENTANGAN dengan UNCLOS 

 

Jadi, sangat jelas bahwa PENEMBAKAN oleh KRI Imam Bonjol di ZEE Indonesia yang dilakukan berdasarkan Perkasal/32/V/2009 tanggal 4 mei 2009. itu TIDAK SESUAI DENGAN UNCLOS. Kalau penembakan itu dilakukan diwilayah laut Indonesia, yah sah-sah saja.  Tapi perlu diingat pula bahwa penembakan kapal ikan oleh KRI di perairan Indonesia pernah menuai tuduhan sebagai Pelanggran HAM. 


Tentunya kita semua tidak ingin TNI AL tercinta akan mendapat julukan COWBOY ZEE INDONESIA


Jalesveva Jayamahe 

 

*)Kabais TNI 2011-2013