Tanggapan Terhadap Usulan RUU Keamanan Laut oleh Menko Hukum Ham Imigasi dan Pemasyarakatn Yusril Ihza Mahendra
Jakarta 12 Februari 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
1. Pendahuluan.
Usulan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Laut patut dikaji secara mendalam. Dalam konteks hukum Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 (UU 66/2024) sebagai revisi ketiga dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah mengatur secara jelas mengenai pengawasan dan penegakan hukum di laut. Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) juga menjadi landasan konstitusional dalam menetapkan tata kelola keamanan laut. Oleh karena itu, pembentukan badan baru melalui RUU Keamanan Laut justru bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang sedang diterapkan oleh Presiden.
2. Keamanan Laut adalah Akumulasi dari Pelanggaran Hukum.
Keamanan laut pada dasarnya adalah kondisi yang ditentukan oleh tingkat kepatuhan kapal yang berlayar terhadap hukum yang berlaku. Keamanan laut bukan suatu entitas yang berdiri sendiri, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal yang berlayar. Oleh karena itu, keamanan laut harus dipahami sebagai bagian dari sistem penegakan hukum yang sudah ada dan diatur dalam berbagai undang-undang sektoral.
Dalam konteks hukum nasional, kapal yang berlayar merupakan obyek hukum utama di laut. Pengawasan terhadap kapal-kapal ini sudah diatur dalam UU 66/2024, di mana Pengawas Pelayaran dari KPLP bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kapal beroperasi sesuai dengan peraturan pelayaran. Jika terdapat pelanggaran, maka tindakan hukum sudah diatur dan dapat dilakukan oleh penyidik yang berwenang sesuai dengan UU terkait.
Jika pelanggaran yang terjadi di laut bukan terkait dengan pelayaran, maka instansi yang berwenang sudah memiliki kewenangan dalam menangani pelanggaran tersebut sesuai dengan undang-undang sektoralnya masing-masing.
3. Daftar Undang-Undang, Penyidik, dan Instansi yang Berwenang dalam Keamanan Laut
Keamanan laut merupakan hasil dari berbagai upaya penegakan hukum terhadap berbagai jenis pelanggaran yang terjadi di perairan yang dilakukan oleh kapal yang berlayar.Berikut adalah daftar undang-undang yang mengatur keamanan laut, beserta penyidik dan instansi yang berwenang:
1. Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran
o Obyek hukum: Kapal yang berlayar dan keselamatan pelayaran.
o Penyidik: PPNS Kementerian Perhubungan (KPLP).
o Instansi: Kementerian Perhubungan.
2. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
o Obyek hukum: Kapal yang melakukan illegal fishing.
o Penyidik: PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
o Instansi: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
o Obyek hukum: Kapal yang melakukan penyelundupan barang ilegal.
o Penyidik: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
o Instansi: Kementerian Keuangan.
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
o Obyek hukum: Kapal yang menyelundupkan narkotika.
o Penyidik: Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian RI.
o Instansi: BNN dan Polri.
5. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
o Obyek hukum: Kapal perang yang merupakan ancaman militer.
o Instansi: TNI AL
Dengan adanya daftar ini, setiap bentuk pelanggaran di laut telah memiliki regulasi sektoral yang mengatur penegakannya, sehingga tidak ada urgensi untuk membentuk badan baru yang akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan.
4. Tanggapan terhadap Upaya Integrasi Lembaga-Lembaga yang Berwenang di Laut
Salah satu tujuan utama dari RUU Keamanan Laut adalah mengintegrasikan berbagai lembaga yang memiliki kewenangan di laut, seperti Ditjen Perhubungan Laut, Bea Cukai, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ke dalam satu badan tunggal. Argumentasi yang diajukan adalah bahwa hal ini akan menghilangkan tumpang tindih kewenangan yang selama ini terjadi. Namun, gagasan ini bertentangan dengan sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dan prinsip pembagian kewenangan antar-kementerian.
Berdasarkan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945, Presiden membentuk kementerian negara yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembentukan satu badan tunggal untuk menggantikan peran kementerian yang sudah memiliki wewenang berdasarkan UU sektoralnya akan bertentangan dengan prinsip pembagian tugas eksekutif yang telah diatur secara konstitusional.
Beberapa alasan mengapa integrasi ini tidak mungkin dilakukan menurut UUD 1945:
1. Pembagian Kewenangan Eksekutif – UUD 1945 telah menetapkan bahwa setiap kementerian memiliki tanggung jawab yang spesifik dan tidak dapat dilebur begitu saja menjadi satu badan tunggal.
2. Ketiadaan Dasar Konstitusional – Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang memungkinkan penghapusan atau penyatuan fungsi beberapa kementerian yang sudah memiliki tugasnya masing-masing.
3. Tumpang Tindih dengan UU yang Sudah Ada – Setiap sektor yang terkait dengan keamanan laut sudah memiliki UU masing-masing, sehingga menghapus atau menggabungkan kewenangan kementerian yang berbeda tanpa revisi konstitusional adalah tidak sah secara hukum.
4. Berpotensi Merusak Efektivitas Pemerintahan – Alih-alih meningkatkan efisiensi, penyatuan ini justru dapat menimbulkan disorganisasi dalam sistem administrasi negara karena setiap kementerian memiliki regulasi teknis yang berbeda.
Oleh karena itu, RUU Keamanan Laut yang bertujuan menyatukan berbagai kewenangan di laut ke dalam satu badan tunggal bertentangan dengan Pasal 17 ayat 3 UUD 1945. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip efisiensi yang tengah didorong oleh Presiden, karena akan menambah kompleksitas birokrasi dan menghambat pelaksanaan tugas yang telah berjalan dengan baik di setiap kementerian.
5. Coast Guard dalam Hukum Indonesia: Hanya Sebuah Nama Tanpa Kewenangan
Dalam hukum Indonesia, coast guard tidak memiliki kewenangan apa apa dan hanya merupakan sebuah nama tanpa dasar hukum yang kuat. Fungsi yang biasa dilakukan oleh coast guard di negara lain sebenarnya telah dijalankan oleh berbagai institusi di Indonesia, seperti KPLP, TNI AL, PSDKP , Polair dan instansi lainnya. Oleh karena itu, argumentasi bahwa Indonesia harus memiliki coast guard sebagai institusi tunggal tidak memiliki landasan hukum.
Konsep keamanan laut harus tetap mengacu pada struktur hukum yang telah ada, dengan menekankan pada penegakan hukum berdasarkan UU sektoral yang telah berlaku. Dengan demikian, tidak ada alasan hukum atau administrasi yang kuat untuk membentuk badan coast guard dengan fungsi yang tumpang tindih dengan lembaga lain. Pembentukan badan baru justru bertentangan dengan semangat presiden untuk melakukan penghematan.
6. Omnibus Law Tidak Berlaku untuk Penyatuan Norma Hukum
Omnibus Law adalah metode legislasi yang digunakan untuk merampingkan regulasi dengan menggabungkan beberapa aturan dalam satu undang-undang, tetapi metode ini tidak dapat digunakan untuk menyatukan norma hukum yang memiliki obyek dan kewenangan yang berbeda. Setiap undang-undang memiliki cakupan yang spesifik sesuai dengan sektor dan instansi yang berwenang.
Menyatukan berbagai aturan dalam satu RUU Keamanan Laut justru bertentangan dengan prinsip dasar hukum, di mana setiap pelanggaran harus ditangani berdasarkan regulasi sektoral yang relevan. Oleh karena itu, jika RUU ini tetap dipaksakan, maka akan mudah untuk diajukan judicial review karena bertentangan dengan prinsip pembagian kewenangan dalam UUD 1945.
7. Kerangka Hukum yang Ada Sudah Memadai
Daftar Undang-Undang, Penyidik, dan Instansi yang Berwenang dalam Keamanan Laut Keamanan laut merupakan hasil dari berbagai upaya penegakan hukum terhadap berbagai jenis pelanggaran yang terjadi di perairan. Berikut adalah daftar undang-undang yang mengatur keamanan laut, beserta penyidik dan instansi yang berwenang:
1. Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran
o Obyek hukum: Kapal yang berlayar dan keselamatan pelayaran.
o Penyidik: PPNS Kementerian Perhubungan (KPLP).
o Instansi: Kementerian Perhubungan.
2. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
o Obyek hukum: Kapal yang melakukan illegal fishing.
o Penyidik: PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
o Instansi: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
o Obyek hukum: Kapal yang melakukan penyelundupan barang ilegal.
o Penyidik: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
o Instansi: Kementerian Keuangan.
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
o Obyek hukum: Kapal yang menyelundupkan narkotika.
o Penyidik: Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian RI.
o Instansi: BNN dan Polri.
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
o Obyek hukum: Kapal yang mencemari lingkungan laut.
o Penyidik: PPNS Kementerian Lingkungan Hidup.
o Instansi: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dengan adanya daftar ini, setiap bentuk pelanggaran di laut telah memiliki regulasi sektoral yang mengatur penegakannya, sehingga tidak ada urgensi untuk membentuk badan baru yang akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan.
8. UU 66/2024 Mencegah Penangkapan Berulang
UU No. 66 Tahun 2024 juga membawa perubahan signifikan dalam sistem penegakan hukum di laut dengan mencegah terjadinya penangkapan berulang terhadap kapal yang sudah diproses oleh instansi yang berwenang. Sebelumnya, banyak kasus di mana satu kapal dapat ditahan oleh berbagai instansi yang berbeda atas dugaan pelanggaran yang sama atau serupa. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan pelaku usaha maritim. Dengan revisi UU Pelayaran ini, maka kepastian hukum bagi pelaku usaha semakin jelas, dan mekanisme penegakan hukum di laut menjadi lebih tertata.
9. Bakamla Tidak Dibutuhkan Lagi dan Sebaiknya Dilikuidasi
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam memangkas anggaran negara, Badan Keamanan Laut (Bakamla) tidak lagi diperlukan dan sebaiknya dilikuidasi. Tugas dan kewenangan yang selama ini dijalankan oleh Bakamla pada dasarnya adalah tugas dari instansi yang telah ada, bukan sebaliknya. Selama ini, Bakamla justru mengambil alih tugas yang sudah menjadi kewenangan instansi lain, seperti TNI AL, Polri, KPLP, dan KKP. Oleh karena itu, mempertahankan Bakamla hanya akan menciptakan redundansi dan membebani anggaran negara.
Selain itu, keberadaan Bakamla juga telah menimbulkan berbagai permasalahan koordinasi dengan instansi lain, mengingat wewenangnya sering kali tumpang tindih dengan tugas TNI AL, Polri, KKP, KPLP, dan Bea Cukai. Oleh karena itu, untuk efisiensi anggaran dan efektivitas penegakan hukum, Bakamla sebaiknya dibubarkan dan tugas-tugasnya tetap dijalankan oleh instansi yang telah memiliki kewenangan hukum yang sah.
10. Kesimpulan
1. Keamanan laut adalah akumulasi dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal yang berlayar, bukan suatu entitas yang berdiri sendiri.
2. Setiap pelanggaran di laut sudah diatur dalam UU masing-masing, dengan penyidik dan instansi yang bertanggung jawab secara sektoral.
3. RUU Keamanan Laut tidak memiliki obyek hukum yang jelas, karena semua aspek hukum di laut sudah memiliki aturan tersendiri.
4. Membentuk badan baru adalah pemborosan anggaran, bertentangan dengan kebijakan Presiden yang sedang memangkas birokrasi dan meningkatkan efisiensi.
5. Coast guard dalam hukum Indonesia hanya sebuah nama tanpa kewenangan jelas, karena tugasnya telah dijalankan oleh berbagai instansi lain.
6. RUU ini bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945, yang membagi kewenangan eksekutif kepada menteri-menteri sesuai dengan bidangnya.
7. Omnibus Law tidak dapat digunakan untuk menyatukan norma hukum yang memiliki obyek dan kewenangan yang berbeda.
8. Bakamla sebaiknya dibubarkan karena merupakan pemborosan, sedangkan tugas-tugasnya dapat jalankan oleh instansi yang telah memiliki kewenangan hukum yang sah.
*) KABAIS TNI 2011-2013
Mungkin istilahnya bukan dialihkan tapi dikembalikan kpd masing masing instansi yg selama ini telah melaksanakan tugas sesuai fungsi masing masing.
BalasHapusSiap Admiral, setuju
Hapus