17 Februari 2025

Negeri Samudra Gemilang dan Drama Besar Undang-Undang Keamanan Laut

Negeri Samudra Gemilang dan Drama Besar Undang-Undang Keamanan Laut

Jakarta 17 Februari 2025

Oleh : Lakda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARM


Di negeri maritim yang makmur bernama Samudra Gemilang, lautnya luas dan tenang, kapal-kapal berlayar dengan damai, dan nelayan bisa menangkap ikan tanpa rasa cemas. Semua tampak baik-baik saja—hingga suatu hari, Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Gemilang (DPRG) mengadakan rapat besar.

"Saudara-saudara sekalian!" seru Ketua Komisi 1 DPRG dengan penuh wibawa. "Kita harus segera membuat Undang-Undang Keamanan Laut! Laut kita harus aman! Kita tak bisa membiarkan Samudra Gemilang terancam!"

Para anggota dewan pun langsung tepuk tangan, sebagian karena antusias, sebagian lagi karena terbangun dari tidur siangnya.

Namun, di sudut ruangan, seorang anggota dewan yang sering dijuluki "Si Logis" mengangkat tangan.

"Tunggu sebentar, Pak Ketua. Keamanan laut itu kan kondisi. Bagaimana caranya kita membuat UU untuk mengatur kondisi?"

Ketua DPRG tersenyum sok bijak dan menjawab, "Mudah! Kita tulis saja dalam UU bahwa laut harus aman!"

Si Logis menghela napas panjang. "Pak Ketua, kalau keamanan laut bisa dijamin dengan UU, kenapa kita tidak sekalian bikin UU agar hujan turun setiap hari Senin dan matahari bersinar setiap Kamis?"

Seisi ruangan mendadak hening. Beberapa anggota mulai saling lirik-lirikan, mencoba memahami apakah argumen tadi masuk akal atau hanya sihir tingkat tinggi.


Keamanan Laut dalam Perspektif Teori Hukum

Di tengah kebingungan, seorang profesor hukum maritim yang diundang sebagai ahli akhirnya berbicara.

"Bapak-bapak, mari kita lihat ini dari perspektif teori hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum hanya bisa mengatur perilaku manusia, bukan kondisi alam. Keamanan laut itu kondisi, bukan perbuatan manusia. Jadi, UU tidak bisa mengatur sesuatu yang bukan tindakan."

Salah satu anggota DPRG yang terkenal keras kepala langsung menyela, "Tapi kan kita bisa bikin UU yang menyatakan bahwa setiap orang harus menjaga keamanan laut!"

Profesor tersenyum, "Itu bisa. Tapi kalau isinya hanya 'Laut harus aman,' lalu siapa yang dihukum kalau laut tetap tidak aman? Ombak? Angin? Ikan hiu? Atau kita akan menangkap awan hitam yang bikin badai?"

Anggota DPRG yang tadi berbicara langsung terdiam. Salah satu rekannya berbisik, "Jangan-jangan nanti mereka bikin polisi khusus buat nangkap awan juga."


Keamanan Laut dalam Perspektif Filsafat Hukum

Seorang filsuf hukum yang duduk di kursi undangan ikut menimpali.

"Menurut filsafat hukum, UU harus memiliki kepastian hukum dan bisa diterapkan. Jika keamanan laut dijadikan objek UU, siapa yang akan bertanggung jawab jika laut tetap tidak aman? Nelayan? Angin laut? Atau mungkin Poseidon?"

Seorang anggota DPRG yang baru saja menyeruput kopinya hampir tersedak.

"Jadi maksud Anda, keamanan laut itu bukan sesuatu yang bisa diatur dalam UU?" tanyanya dengan bingung.

"Tepat sekali! UU hanya bisa mengatur mekanisme untuk menciptakan keamanan laut, bukan keamanan laut itu sendiri."

Seorang anggota yang dikenal hobi pidato panjang tiba-tiba berdiri.

"Tapi kita butuh UU ini supaya kita terlihat tegas!"

Filsuf itu menggeleng-geleng. "Tegas terhadap siapa? Ombak? Angin ribut? Kalau Anda ingin terlihat tegas, kenapa tidak sekalian bikin UU yang menyatakan bahwa es krim tidak boleh meleleh di cuaca panas?"


Keamanan Laut dalam Perspektif Teori Pembuatan UU

Sadar bahwa argumen mereka mulai runtuh, Ketua DPRG mencoba strategi lain.

"Baiklah, Profesor, Filsuf. Tapi kita bisa membuat UU ini agar bisa mengatur segala aspek keamanan laut! Semua harus diatur supaya tidak ada kekacauan!"

Seorang ahli pembuatan UU yang ikut dalam rapat langsung angkat tangan.

"Pak Ketua, dalam teori pembuatan UU, aturan harus memiliki objek yang jelas, bisa diterapkan, dan memiliki mekanisme penegakan hukum yang konkret. Jika kita hanya menulis 'Laut harus aman,' itu bukan aturan, itu harapan."

Seorang anggota DPRG yang dikenal suka jalan-jalan ke luar negeri langsung angkat tangan.

"Jadi kita tidak bisa bikin UU ini? Lalu bagaimana dengan studi banding ke Eropa? Saya sudah janji mau beli oleh-oleh buat istri saya!"

Semua orang menahan tawa. Nelayan tua yang sejak tadi mengamati rapat dari sudut ruangan akhirnya angkat bicara.

"Bapak-bapak, kalian ini bikin UU atau mau bikin mantra ajaib? Kalau laut bisa aman hanya dengan tulisan di atas kertas, mungkin saya juga bisa menulis undang-undang supaya ikan selalu masuk ke jaring saya tiap hari!"


Kesimpulan: Keamanan Laut Tidak Bisa Dijadikan UU

Setelah diskusi panjang dan penuh tawa, akhirnya para anggota DPRG mulai sadar:

 Hukum hanya bisa mengatur perilaku manusia, bukan kondisi seperti keamanan laut.
 UU hanya bisa mengatur mekanisme untuk menciptakan keamanan laut, bukan keamanan laut itu sendiri.
 Jika keamanan laut bisa dijamin dengan UU, mungkin kita juga bisa bikin UU supaya laut selalu tenang dan langit selalu cerah.


Akhirnya, Ketua Komisi 1 DPRG menutup rapat dengan berat hati.

"Baiklah… kita tidak akan membuat UU ini. Tapi bagaimana kalau kita bikin UU tentang standar kualitas kopi di kantor DPRG? Kopi di sini terlalu pahit!"

Semua anggota DPRG serentak tepuk tangan.

Dan begitulah, Negeri Samudra Gemilang selamat dari pembuatan UU yang tidak masuk akal, tetapi tetap harus menghadapi tantangan baru: kopi yang terlalu pahit di kantor DPRG.


Inti dari Cerita

📜 Keamanan laut adalah kondisi, bukan sesuatu yang bisa diatur dalam UU.
 UU hanya bisa mengatur mekanisme untuk menciptakan keamanan laut.
🌊 Kalau keamanan laut bisa dijamin hanya dengan UU, mungkin ombak pun bisa kita perintah untuk tidak bergelombang!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar