Menghapus Tumpang Tindih: Memperjelas Batas Wewenang Penyelidik dan Penyidik dalam RUU KUHAP
Jakarta 23 Februari 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
I. Pendahuluan
Dalam sistem peradilan pidana, penyelidikan dan penyidikan memiliki perbedaan yang mendasar. Penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan bertujuan untuk mengumpulkan bukti, menetapkan tersangka, dan menyiapkan perkara untuk ditindaklanjuti oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Namun, dalam RUU Hukum Acara Pidana, terdapat pasal-pasal yang menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan penyelidik dan penyidik, khususnya dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. Salah satu isu utama yang muncul adalah ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan bahwa penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan.
Apakah benar penyelidik boleh melakukan penangkapan atas perintah penyidik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menganalisis hukum acara pidana yang berlaku dan bagaimana seharusnya regulasi ini ditulis agar tidak terjadi tumpang tindih.
II. Analisis Tumpang Tindih Kewenangan antara Penyelidik dan Penyidik
1. Pasal 5 Ayat (2) - Wewenang Penyelidik yang Bertentangan
Pasal ini memberikan penyelidik kewenangan untuk melakukan beberapa tindakan, termasuk:
Pasal 5 Ayat (2) dalam RUU Hukum Acara Pidana
(2) Penyelidik atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penahanan
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat
c. Mengambil sidik jari, melakukan identifikasi, memotret seseorang dan data forensik seseorang
d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik
➡ Analisis:
- Penyelidik seharusnya hanya bertugas mencari informasi awal, bukan melakukan tindakan hukum seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, atau penahanan.
- Pasal ini bertentangan dengan Pasal 6 dan Pasal 7, di mana hanya penyidik yang memiliki kewenangan melakukan upaya paksa.
- Jika penyelidik diberi kewenangan melakukan upaya paksa, maka tidak ada perbedaan yang jelas antara penyelidik dan penyidik, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan wewenang.
2. Pasal 6 - Penyidik yang Berwenang
Pasal ini membagi penyidik menjadi tiga kategori:
Pasal 6 Ayat (1) dalam RUU Hukum Acara Pidana
(1) Penyidik terdiri atas:
a. Penyidik Polri
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
c. Penyidik Tertentu
➡ Analisis:
- Dalam Pasal 6, penyidikan hanya boleh dilakukan oleh penyidik Polri, PPNS, atau Penyidik tertentu yang diatur dalam undang-undang sektoral.
- Jika dalam Pasal 5 ayat (2), penyelidik diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan, maka peran penyidik dalam Pasal 6 menjadi tidak jelas dan tumpang tindih.
3. Pasal 7 - Wewenang Penyidik
Pasal ini memberikan wewenang penyidik untuk melakukan berbagai tindakan yang mencakup upaya paksa:
Pasal 7 Ayat (1) dalam RUU Hukum Acara Pidana
(1) Penyidik memiliki tugas dan wewenang untuk:
f. Melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
➡ Analisis:
- Pasal ini sudah sesuai dengan prinsip hukum acara pidana, di mana hanya penyidik yang boleh melakukan upaya paksa.
- Namun, Pasal 5 ayat (2) memberi wewenang yang sama kepada penyelidik, yang seharusnya tidak memiliki kewenangan upaya paksa.
III. Apakah Penyelidik Bisa Menangkap atas Perintah Penyidik?
Menurut KUHAP, kewenangan penangkapan hanya dimiliki oleh penyidik, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan, yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP:
Pasal 18 ayat (2) KUHAP:
"Dalam hal tertangkap tangan, setiap orang berhak melakukan penangkapan terhadap tersangka dan wajib segera menyerahkannya kepada penyidik atau kepolisian terdekat."
➡ Implikasi:
- Di luar keadaan tertangkap tangan, penyelidik tidak boleh melakukan penangkapan, meskipun atas perintah penyidik.
- Jika aturan dalam RUU KUHAP tetap mempertahankan ketentuan ini, maka berpotensi bertentangan dengan KUHAP dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
IV. Bagaimana Seharusnya Ditulis dalam RUU KUHAP ?
Untuk menghilangkan tumpang tindih antara Penyelidik (Pasal 5), Penyidik (Pasal 6), dan Wewenang Penyidik (Pasal 7), maka diperlukan revisi berikut:
Revisi Pasal 5 - Wewenang Penyelidik
Pasal 5
(1) Penyelidik memiliki wewenang untuk:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Mencari, mengumpulkan, dan mengamankan informasi awal serta barang bukti awal
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
d. Membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan kepada penyidik yang berwenang sesuai dengan Pasal 6
(2) Penyelidik tidak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, atau penahanan.
(3) Dalam hal tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penyelidik dapat melakukan penangkapan dan wajib segera menyerahkan tersangka kepada penyidik yang berwenang.
V. Kesimpulan
✅ Penyelidik tidak boleh melakukan penangkapan atas perintah penyidik, kecuali dalam kondisi tertangkap tangan.
✅ Pasal 5 ayat (2) dalam RUU Hukum Acara Pidana harus direvisi agar sesuai dengan prinsip hukum acara pidana dalam KUHAP.
✅ Dengan revisi ini, batasan antara penyelidik dan penyidik menjadi lebih jelas, sehingga menghindari penyalahgunaan wewenang dan menjaga kepastian hukum.
🔎 Solusi ini memastikan bahwa penyelidik tetap memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana tanpa melanggar kewenangan penyidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar