Gagalnya Bakorkamla, Coast Guard, dan Solusi UU 66/2024
Jakarta 14 Februari 2025
Oleh : Lakda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
1. Lahirnya Bakorkamla Periode Pertama dan Sistem Single Agency Multi Task (1972)
Pada tahun 1970-an, keamanan laut Indonesia menghadapi tantangan besar akibat maraknya penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran hukum lainnya. Namun, berbagai instansi yang memiliki kewenangan di laut—TNI AL, Polairud, KPLP, dan Bea Cukai—saling tumpang tindih dan sering kali bentrok dalam pelaksanaan tugasnya.
Sebagai solusi, pemerintah membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) pada tahun 1972 melalui Keputusan Bersama lima Menteri, yaitu:
- Menhankam/Panglima ABRI (TNI AL dan Polairud)
- Menteri Perhubungan (KPLP)
- Menteri Keuangan (Bea Cukai)
- Menteri Kehakiman (Pengadilan)
- Jaksa Agung (Penuntutan)
Namun, kesalahan besar dalam perancangan Bakorkamla periode pertama adalah penggunaan sistem Single Agency Multi Task, di mana seluruh instansi yang berwenang di laut ditempatkan di bawah komando Angkatan Laut.
Sistem ini terbukti gagal total karena:
- Polri, Bea Cukai, dan KPLP merasa dikendalikan oleh TNI AL, yang seharusnya hanya bertugas dalam aspek pertahanan, bukan penegakan hukum sipil.
- Tugas penegakan hukum tidak bisa berjalan efektif, karena setiap instansi memiliki aturan dan wewenang masing-masing yang tidak bisa dilebur begitu saja di bawah satu komando militer.
- TNI AL bukan lembaga penegak hukum perdata, sehingga terjadi benturan dengan sistem peradilan pidanayang harus menghormati prosedur hukum sipil.
Akibatnya, Bakorkamla periode pertama gagal menjalankan tugasnya dan tidak berfungsi secara efektif dalam mengoordinasikan keamanan laut.
2. Reformasi Bakorkamla: Meninggalkan Konsep Single Agency Multi Task (2005)
Menyadari kegagalan model sebelumnya, pada tahun 2005, pemerintah membentuk Bakorkamla Periode 2 melalui Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 dengan konsep baru:
- Meninggalkan sistem Single Agency Multi Task, karena terbukti gagal dalam implementasi sebelumnya.
- Beralih ke sistem koordinasi antarinstansi, di mana masing-masing lembaga tetap menjalankan tugasnya sendiri tetapi dikoordinasikan oleh Bakorkamla.
- Langsung di bawah Menko Polhukam, bukan di bawah satu instansi tertentu seperti TNI AL.
Namun, kelemahan utama dari Bakorkamla Periode 2 adalah kekuatannya hanya berdasarkan Perpres, sehingga masih belum memiliki wewenang yang cukup kuat untuk memimpin koordinasi antarinstansi.
3. Lahirnya UU No. 17 Tahun 2008 dan Wacana Coast Guard
Pada tahun 2008, pemerintah mencoba solusi baru dengan mengesahkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mengamanatkan pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).
Coast Guard dalam UU ini bertujuan untuk:
- Memperkuat KPLP dalam pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran.
- Memberdayakan Bakorkamla dalam koordinasi penegakan hukum di laut.
Namun, pemerintah tidak pernah merealisasikan Coast Guard, hingga akhirnya UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan malah membentuk Bakamla sebagai badan baru tanpa dasar hukum yang jelas.
4. Lahirnya Bakamla dalam UU No. 32 Tahun 2014: Mengulangi Kesalahan Lama?
Pada tahun 2014, pemerintah mencoba solusi baru dengan mengesahkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai pengganti Bakorkamla.
Namun, Bakamla kembali mengalami banyak permasalahan struktural:
- Ditempatkan di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), padahal KKP tidak memiliki kewenangan dalam pengelolaan kapal niaga, kapal penumpang, atau pelayaran komersial.
- Tidak diberikan wewenang penyidikan, sehingga hanya bisa melakukan patroli tetapi tidak bisa menindak pelanggaran hukum.
- Tumpang tindih dengan peran KPLP, Polairud, dan TNI AL, tanpa mekanismekoordinasi yang jelas.
- KKP hanya mengurus perikanan dan bukan pelayaran atau keamanan laut secara umum.
- Kapal niaga, kapal penumpang, dan lalu lintas laut adalah domain Kementerian Perhubungan, bukan KKP.
- Akibatnya, Bakamla tetap diurus oleh Menko Polhukam, meskipun secara hukum seharusnya di bawah KKP.
Akibatnya, Bakamla tetap tidak efektif dan menjadi beban baru dalam sistem keamanan laut Indonesia.
Hasilnya? Kekacauan administrasi dan kebingungan hukum selama 10 tahun
5. Lahirlah UU No. 66 Tahun 2024: Penyempurnaan dari Kesalahan Lama
Pada tahun 2024, pemerintah akhirnya menyadari kesalahan dan melakukan perbaikan dengan mengesahkan UU No. 66 Tahun 2024, yang:
- Menghapus Coast Guard dari UU No. 17/2008, karena konsep ini tidak pernah bisa diterapkan dengan baik di Indonesia.
- Memberi kepastian hukum bahwa Pengawas Pelayaran di bawah Kementerian Perhubungan, bertanggung jawab penuh atas semua kapal yang berlayar diperairan Indonesia maupun diperairan yurisdiksi nasional, sehingga tanggung jawabnya lebih jelas.
- Menwajib kan Pengawas Pelayaran berkoordinasi dengan instansi lainnya untuk menyerahkan perkara sesuai dengan kewenangan masing masing instansi.
- Memberikan wewenang PPNS kepada Pengawas Pelayaran, sehingga mereka memiliki landasan hukum yang lebih kuat untuk menindak pelanggaran.
Keputusan ini merupakan penyempurnaan dari kekonyolan yang telah berlangsung selama satu dekade, karena:
- Kementerian Perhubungan adalah instansi yang paling berwenang mengatur keselamatan dan keamanan pelayaran.
- Pengawas Pelayaran memiliki wewenang sebagai PPNS, sehingga bisa menegakkan hukum secara lebih jelas dan tegas.
6. JANGAN ULANGI KESALAHAN: SINGLE AGENCY MULTI TASK SUDAH TERBUKTI GAGAL !
Kini, ada pihak yang masih bermimpi untuk kembali ke konsep Single Agency Multi Task, yaitu membentuk Coast Guard sebagai satu badan tunggal yang menangani semua aspek keamanan laut. Jika ini terjadi, kita akan mengulang kesalahan dari awal dan mundur 17 tahun ke belakang ke tahun 2008
Sebelum ide ini diteruskan, lihat sejarahnya!
- Sistem ini sudah dicoba pada Bakorkamla periode pertama (1972) dan gagal.
- Bakamla dalam UU No. 32/2014 juga tidak efektif karena tidak memiliki wewenang yang cukup jelas.
- Jika kita kembali memaksakan model ini, kita akan mengulangi kegagalan yang sama.
7. Kapan Dunia Maritim Indonesia Akan Maju?
· Jika terus mengutak-atik sistem keamanan laut tanpa arah yang jelas, kita akan terus terjebak dalam siklus perubahan regulasi yang tidak pernah selesai. Dunia maritim membutuhkan kepastian hukum, bukan perubahan kebijakan setiap 10 tahun sekali.
· Jangan ulangi kesalahan! Single Agency Multi Task sudah terbukti gagal. Coast Guard tidak perlu dihidupkan kembali. Fokus pada sistem yang sudah ada dan perkuat koordinasi antarinstansi!
8. Apa dampaknya jika kita kembali ke Coast Guard?
- Membatalkan UU No. 66/2024 dan mengacaukan sistem yang baru saja diperbaiki.
- Keamanan laut kembali tidak jelas: siapa yang mengurus kapal niaga, kapal penumpang, dan patroli laut?
- Dunia maritim kembali dalam ketidakpastian hukum selama 10 tahun ke depan.
- Investor dan asuransi pelayaran menaikkan premi karena ketidakpastian hukum di laut.
- Dampaknya ke ekonomi: harga logistik naik, harga kopi pun ikut mahal.
Jika ini diteruskan, 10 tahun ke depan dunia maritim Indonesia akan kembali dalam kebingungan, sama seperti yang terjadi sejak UU No. 32/2014 diterapkan.
Sebelum membentuk kembali Coast Guard atau merevisi UU Kelautan, pemerintah harus berdiskusi terlebih dahulu dengan Kementerian Perhubungan.
Pertanyaannya:
- Apakah Coast Guard diperlukan, atau cukup dengan Pengawas Pelayaran yang sudah ada?
- Bagaimana memastikan sistem hukum di laut tidak berubah setiap 10 tahun?
- Bagaimana koordinasi dengan instansi lain seperti Polairud, KKP, dan TNI AL?
9. Kesimpulannya:
- Kini, sistem keamanan laut sudah lebih jelas, dengan Kementerian Perhubungan sebagai pemegang kendali dalam keselamatan dan keamanan pelayaran.
- Jika kita kembali ke Coast Guard atau Single Agency Multi Task, itu sama saja dengan mengulang kesalahan yang sudah pernah terjadi dan terbukti gagal.
- Dalam 10 tahun terakhir, kita sudah membuang waktu dengan berbagai revisi undang-undang. Jika kembali ke Coast Guard, kita mundur 17 tahun ke belakang!
10. Solusi: Berhenti Berpikir Ulang Tentang Coast Guard, Fokus pada Penguatan Sistem yang Ada!
- UU No. 66/2024 adalah solusi terbaik saat ini. Jangan buat perubahan drastis tanpa kajian yang matang.
- Jika ingin meningkatkan keamanan laut, lakukan koordinasi antarinstansi tanpa perlu membentuk badan baru yang bisa mengacaukan sistem yang sudah ada.
- Sebelum ada usulan baru tentang Coast Guard atau UU Kelautan, pastikan Menteri Perhubungan dilibatkan dalam pembahasan, agar tidak mengulang kesalahan lama.
Jika ini tidak dibahas dengan matang, maka kita akan kembali membuang waktu 10 tahun lagi dalam ketidakpastian hukum maritim. Kita sudah membuang 10 tahun sejak UU No. 32/2014, dan jika kembali ke Coast Guard, kita mundur 17 tahun ke 2008. Kapan dunia maritim kita akan maju?
*)KABAIS TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar