23 Februari 2025

Menghapus Tumpang Tindih: Memperjelas Batas Wewenang Penyelidik dan Penyidik dalam RUU KUHAP

Menghapus Tumpang Tindih: Memperjelas Batas Wewenang Penyelidik dan Penyidik dalam RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB


I. Pendahuluan

Dalam sistem peradilan pidana, penyelidikan dan penyidikan memiliki perbedaan yang mendasar. Penyelidikan bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan bertujuan untuk mengumpulkan bukti, menetapkan tersangka, dan menyiapkan perkara untuk ditindaklanjuti oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Namun, dalam RUU Hukum Acara Pidana, terdapat pasal-pasal yang menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan penyelidik dan penyidik, khususnya dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. Salah satu isu utama yang muncul adalah ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan bahwa penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan.

Apakah benar penyelidik boleh melakukan penangkapan atas perintah penyidik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menganalisis hukum acara pidana yang berlaku dan bagaimana seharusnya regulasi ini ditulis agar tidak terjadi tumpang tindih.

II. Analisis Tumpang Tindih Kewenangan antara Penyelidik dan Penyidik

1. Pasal 5 Ayat (2) - Wewenang Penyelidik yang Bertentangan

Pasal ini memberikan penyelidik kewenangan untuk melakukan beberapa tindakan, termasuk:

Pasal 5 Ayat (2) dalam RUU Hukum Acara Pidana

(2) Penyelidik atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penahanan
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat
c. Mengambil sidik jari, melakukan identifikasi, memotret seseorang dan data forensik seseorang
d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik

 Analisis:

  • Penyelidik seharusnya hanya bertugas mencari informasi awal, bukan melakukan tindakan hukum seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, atau penahanan.
  • Pasal ini bertentangan dengan Pasal 6 dan Pasal 7, di mana hanya penyidik yang memiliki kewenangan melakukan upaya paksa.
  • Jika penyelidik diberi kewenangan melakukan upaya paksa, maka tidak ada perbedaan yang jelas antara penyelidik dan penyidik, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan wewenang.

2. Pasal 6 - Penyidik yang Berwenang

Pasal ini membagi penyidik menjadi tiga kategori:

Pasal 6 Ayat (1) dalam RUU Hukum Acara Pidana

(1) Penyidik terdiri atas:

a. Penyidik Polri
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
c. Penyidik Tertentu

 Analisis:

  • Dalam Pasal 6, penyidikan hanya boleh dilakukan oleh penyidik Polri, PPNS, atau Penyidik tertentu yang diatur dalam undang-undang sektoral.
  • Jika dalam Pasal 5 ayat (2), penyelidik diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan, maka peran penyidik dalam Pasal 6 menjadi tidak jelas dan tumpang tindih.

3. Pasal 7 - Wewenang Penyidik

Pasal ini memberikan wewenang penyidik untuk melakukan berbagai tindakan yang mencakup upaya paksa:

Pasal 7 Ayat (1) dalam RUU Hukum Acara Pidana

(1) Penyidik memiliki tugas dan wewenang untuk:

f. Melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

 Analisis:

  • Pasal ini sudah sesuai dengan prinsip hukum acara pidana, di mana hanya penyidik yang boleh melakukan upaya paksa.
  • Namun, Pasal 5 ayat (2) memberi wewenang yang sama kepada penyelidik, yang seharusnya tidak memiliki kewenangan upaya paksa.

III. Apakah Penyelidik Bisa Menangkap atas Perintah Penyidik?

Menurut KUHAP, kewenangan penangkapan hanya dimiliki oleh penyidik, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan, yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP:

Pasal 18 ayat (2) KUHAP:

"Dalam hal tertangkap tangan, setiap orang berhak melakukan penangkapan terhadap tersangka dan wajib segera menyerahkannya kepada penyidik atau kepolisian terdekat."

 Implikasi:

  • Di luar keadaan tertangkap tangan, penyelidik tidak boleh melakukan penangkapan, meskipun atas perintah penyidik.
  • Jika aturan dalam RUU KUHAP tetap mempertahankan ketentuan ini, maka berpotensi bertentangan dengan KUHAP dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

IV. Bagaimana Seharusnya Ditulis dalam RUU KUHAP ?

Untuk menghilangkan tumpang tindih antara Penyelidik (Pasal 5), Penyidik (Pasal 6), dan Wewenang Penyidik (Pasal 7), maka diperlukan revisi berikut:

Revisi Pasal 5 - Wewenang Penyelidik

Pasal 5

(1) Penyelidik memiliki wewenang untuk:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Mencari, mengumpulkan, dan mengamankan informasi awal serta barang bukti awal
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
d. Membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan kepada penyidik yang berwenang sesuai dengan Pasal 6

(2) Penyelidik tidak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, atau penahanan.

(3) Dalam hal tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penyelidik dapat melakukan penangkapan dan wajib segera menyerahkan tersangka kepada penyidik yang berwenang.

V. Kesimpulan

 Penyelidik tidak boleh melakukan penangkapan atas perintah penyidik, kecuali dalam kondisi tertangkap tangan.
 Pasal 5 ayat (2) dalam RUU Hukum Acara Pidana harus direvisi agar sesuai dengan prinsip hukum acara pidana dalam KUHAP.
 Dengan revisi ini, batasan antara penyelidik dan penyidik menjadi lebih jelas, sehingga menghindari penyalahgunaan wewenang dan menjaga kepastian hukum.

🔎 Solusi ini memastikan bahwa penyelidik tetap memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana tanpa melanggar kewenangan penyidik.

 

Tanggapan terhadap Pasal 13 - 20 RUU KUHAP terkait Asumsi Penyidik Polri dan Penyelidik Polri, dengan Penyesuaian terhadap Pasal 6 RUU KUHAP

Tanggapan terhadap Pasal 13 - 20 RUU KUHAP terkait Asumsi Penyidik Polri dan Penyelidik Polri, dengan Penyesuaian terhadap Pasal 6 RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Berdasarkan Pasal 6 RUU KUHAP, penyelidikan dan penyidikan seharusnya tidak hanya dilakukan oleh Penyidik dan Penyelidik Polri, tetapi juga oleh Penyidik dan Penyelidik di instansi lain yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam Pasal 13 - 24, tidak ada pengakuan eksplisit terhadap keberadaan penyelidik selain dari Polri, sehingga seolah-olah hanya Polri yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan.

Untuk menyesuaikan dengan Pasal 6 RUU KUHAP berikut adalah tanggapan dan saran per pasal:

Tanggapan dan Saran Per Pasal

1. Pasal 13: Kewajiban Penyelidik dalam Menindaklanjuti Laporan

 Tanggapan:

  • Pasal ini mengasumsikan bahwa penyelidik hanyalah penyelidik Polri, padahal menurut Pasal 6 RUU KUHAP, setiap instansi yang memiliki penyidik juga harus memiliki penyelidik.
  • Tidak ada ketentuan yang menjelaskan bagaimana penyelidik dari instansi lain (misalnya, KPK, BNN, PPNS) melakukan penyelidikan sesuai kewenangan masing-masing.

💡 Saran Revisi:
"Penyelidik yang berwenang sesuai dengan Pasal 6, baik dari Polri maupun instansi lain yang diberi kewenangan penyelidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, wajib segera melakukan tindakan penyelidikan jika mengetahui atau menerima laporan atau pengaduan tentang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana."

2. Pasal 14: Ketentuan Laporan atau Pengaduan

 Tanggapan:

  • Pasal ini tidak menjelaskan mekanisme penyelidikan dalam instansi lain yang memiliki kewenangan penyelidikan.
  • Tidak ada ketentuan apakah laporan ke penyelidik di luar Polri juga wajib dicatat dengan prosedur yang sama.

💡 Saran Revisi:
"Laporan atau pengaduan yang diajukan kepada penyelidik, baik dalam lingkungan Polri maupun instansi lain yang berwenang sesuai Pasal 6, harus dicatat dan diproses berdasarkan mekanisme yang berlaku di masing-masing institusi."

3. Pasal 15: Kewajiban Menunjukkan Tanda Pengenal

 Tanggapan:

  • Pasal ini hanya mengatur penyelidik secara umum, tetapi tidak memastikan bahwa penyelidik dari instansi lain juga memiliki kewajiban yang sama.

💡 Saran Revisi:
"Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dari Polri maupun instansi lain yang berwenang sesuai dengan Pasal 6 wajib menunjukkan tanda pengenal yang sah dan bertindak dalam lingkup kewenangannya."

4. Pasal 16: Metode Penyelidikan

 Tanggapan:

  • Pasal ini mencantumkan metode penyelidikan, tetapi tidak membedakan metode yang dapat diterapkan oleh penyelidik dari berbagai instansi sesuai dengan kewenangannya.
  • Misalnya, PPNS mungkin tidak memiliki kewenangan dalam metode seperti penyamaran atau pembuntutan, yang lebih relevan untuk Polri atau KPK.

💡 Saran Revisi:
"Metode penyelidikan yang digunakan oleh penyelidik disesuaikan dengan kewenangan masing-masing instansi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku."

5. Pasal 17: Rencana Penyelidikan

 Tanggapan:

  • Pasal ini mengasumsikan bahwa semua rencana penyelidikan harus diajukan kepada penyidik Polri, tanpa mempertimbangkan bahwa setiap penyidik di instansi lain juga memiliki mekanisme persetujuan internalnya sendiri.

💡 Saran Revisi:
"Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib menyusun rencana penyelidikan yang diajukan kepada penyidik dalam instansi masing-masing sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam Pasal 6."

6. Pasal 18: Laporan Hasil Penyelidikan

 Tanggapan:

  • Pasal ini hanya mengatur bahwa laporan penyelidikan diserahkan kepada penyidik, tetapi tidak menyebutkan bahwa penyelidik dari instansi lain juga wajib menyerahkan laporan kepada penyidik di instansi masing-masing.

💡 Saran Revisi:
"Penyelidik wajib membuat laporan hasil penyelidikan secara tertulis kepada penyidik dalam instansi masing-masing sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam Pasal 6."

7. Pasal 19: Gelar Perkara Hasil Penyelidikan

 Tanggapan:

  • Pasal ini mengasumsikan bahwa gelar perkara hanya dilakukan oleh penyidik Polri, tanpa mempertimbangkan bahwa penyidik dari instansi lain juga melakukan gelar perkara sesuai dengan mekanisme internal mereka.

💡 Saran Revisi:
"Gelar perkara hasil penyelidikan dilakukan oleh penyidik di instansi masing-masing sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

8. Pasal 20: Koordinasi Penyelidikan dengan Penyidik Polri

 Tanggapan:

  • Pasal ini hanya mengakui penyelidik di bawah koordinasi penyidik Polri, tanpa memberikan ruang bagi instansi lain yang memiliki penyelidik dan penyidik sendiri.
  • Hal ini bertentangan dengan Pasal 6, yang mengakui bahwa ada penyelidik dan penyidik di luar Polri.

💡 Saran Revisi:
"Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi, dan diberi petunjuk oleh penyidik dalam instansi masing-masing, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

9. Pasal 21: Pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

 Tanggapan:

  • Tidak disebutkan bahwa aturan lebih lanjut harus mempertimbangkan kewenangan penyidik dan penyelidik dari instansi lain.

💡 Saran Revisi:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 20 diatur dalam Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan kewenangan masing-masing instansi sesuai dengan Pasal 6."

Kesimpulan

  1. Pasal 13 - 20 terlalu berfokus pada Polri, sehingga mengabaikan bahwa ada instansi lain yang memiliki penyelidik dan penyidik sendiri sesuai Pasal 6.
  2. Setiap instansi yang memiliki penyidik juga harus memiliki penyelidik, dan mekanisme kerja mereka harus diakui dalam regulasi ini.
  3. Revisi yang diusulkan memberikan fleksibilitas, sehingga aturan ini tidak hanya berlaku untuk Polri, tetapi juga untuk KPK, BNN, PPNS, dan instansi lain yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan.

Dengan revisi ini, aturan akan lebih sesuai dengan semangat Pasal 6, menghindari monopoli kewenangan oleh Polri, dan memastikan keselarasan dengan hukum acara pidana nasional. ðŸš€

*) KABAIS TNI 2011-2013

 

Tanggapan terhadap Kewajiban PPNS atau Penyidik Tertentu untuk menyerahkan perkara melalui Polri dalam RUU KUHAP

Tanggapan terhadap Kewajiban PPNS atau Penyidik Tertentu untuk menyerahkan perkara melalui Polri dalam RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Pada RUU KUHAP versi Februari 2025 terdapat pasal yang mengatur kewajiban PPNS atau Penyidik Tertentu untuk menyerahkan perkara melalui Polri. Hal itu tertulis pada pasal 8 ayat (3) RUU KUHAP yang selengkapnya berbunyi :

Pasal 8 ayat (3):
Penyerahan berkas perkara yang dilakukan oleh PPNS atau Penyidik Tertentu dilakukan melalui Penyidik Polri untuk kemudian secara bersama-sama menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum.

Tanggapan:

1. Kompetensi Absolut

Pasal ini bertentangan dengan prinsip kompetensi absolut dalam sistem peradilan pidana. Kompetensi absolut menetapkan bahwa kewenangan suatu institusi dalam proses peradilan harus didasarkan pada norma hukum yang mengatur secara jelas dan tegas. Dalam konteks ini, Pasal 6 RUU KUHAP menyatakan bahwa Penyidik terdiri dari Pejabat Polri, Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik tertentu memiliki kedudukan yang sama sebagai penyidik yang berwenang melakukan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3) yang mewajibkan PPNS dan Penyidik tertentu menyerahkan berkas perkara melalui Penyidik Polri menciptakan subordinasi yang tidak beralasan secara hukum. Hal ini membatasi kompetensi absolut PPNS dan Penyidik tertentu yang telah diberikan kewenangan penyidikan secara mandiri oleh undang-undang sektoral yang mengatur tugas dan wewenang mereka. Dengan demikian, pasal ini mengurangi otonomi PPNS dan Penyidik tertentu sehingga menciptakan hambatan administratif yang tidak diperlukan dalam sistem peradilan pidana.

2. Teori Hukum

Menurut teori hukum, sistem peradilan pidana harus berlandaskan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam proses penegakan hukum. Konsep teori kewenangan menyatakan bahwa lembaga negara hanya dapat menjalankan kewenangan yang diberikan secara eksplisit oleh hukum. Pasal 6 telah menetapkan bahwa penyidik, baik dari Polri maupun PPNS, dan Penyidik tertentu memiliki kedudukan yang setara dalam proses penyidikan. Oleh karena itu, pengaturan dalam Pasal 8 ayat (3) yang mewajibkan PPNS dan penyidik tertentu menyerahkan berkas perkara melalui Polri justru bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip due process of law.

Dari perspektif teori pemisahan kekuasaan (separation of powers), kewenangan penyidik seharusnya tidak boleh diletakkan di bawah institusi lain tanpa dasar hukum yang kuat. Penyidik, termasuk PPNS, dan Penyidik tertentu adalah bagian dari sistem penegakan hukum yang memiliki wewenang independen dalam melakukan penyidikan dan menyerahkan berkas perkara langsung kepada Penuntut Umum tanpa perlu perantara dari Polri.

3. Filsafat Hukum

Dari perspektif filsafat hukum, pengaturan dalam Pasal 8 ayat (3) mengandung ketimpangan dalam prinsip keadilan dan kepastian hukum. Jika PPNS dan Penyidik tertentu secara hukum diberikan kewenangan yang sama dengan Polri dalam melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, maka tidak ada dasar moral dan filosofis yang membenarkan posisi Polri sebagai superior dalam penyerahan berkas perkara.

Dalam konteks filsafat utilitarianisme, suatu norma hukum harus mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi efektivitas penegakan hukum. Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3) justru menciptakan birokrasi yang memperlambat proses penegakan hukum dan bertentangan dengan prinsip keadilan prosedural. Selain itu, dari perspektif teori keadilan John Rawls, semua institusi penegak hukum harus memiliki akses yang sama terhadap proses peradilan, sehingga membebankan PPNS dan penyidik tertentu untuk selalu melewati Polri sebelum menyerahkan berkas perkara ke Penuntut Umum merupakan bentuk ketidakadilan yang tidak memiliki justifikasi rasional.

Revisi Pasal

Pasal yang direvisi: Pasal 8 ayat (3)

Bunyi Pasal setelah Revisi:
"Penyerahan berkas perkara yang dilakukan oleh PPNS atau Penyidik Tertentu dilakukan langsung kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku, tanpa harus melalui Penyidik Polri."

Kesimpulan

Pasal 8 ayat (3) bertentangan dengan kompetensi absolut yang diakui dalam sistem peradilan pidana, tidak sesuai dengan teori hukum yang menekankan efisiensi dan independensi lembaga penegak hukum, serta tidak memenuhi prinsip keadilan dalam filsafat hukum. Oleh karena itu, ketentuan ini harus dihapus atau direvisi agar sesuai dengan asas kesetaraan penyidik sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 6 RUU KUHAP. Tidak ada alasan hukum yang membenarkan posisi Polri sebagai superior dalam penyerahan berkas perkara oleh PPNS dan Penyidik lainnya.

 

Tanggapan Terhadap Adanya Konsep Penyidik Utama dalam RUU KUHAP

Tanggapan Terhadap Adanya Konsep Penyidik Utama dalam RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman  B. Ponto. ST, SH, MH, CPM, CPARB*)


Pendahuluan.


Selengkapnya RUU KUHAP versi 17 Februari 2025, Pasal 6


(1) Penyidik terdiri atas :


a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang sektoral.

c. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2)  Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. 

1. Perspektif Kompetensi Absolut

Dalam konsep kompetensi absolut, setiap lembaga memiliki kewenangan yang telah ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Pasal 6 ayat (1) mengakui bahwa terdapat tiga kategori penyidik yang independen sesuai dengan dasar hukum masing-masing. Namun, ayat (2) justru menempatkan Polri sebagai penyidik utama dengan kewenangan menyeluruh atas semua tindak pidana. Hal ini bermasalah karena:

  • Melanggar asas lex specialis derogat legi generali, di mana penyidik dari lembaga seperti KPK, TNI AL, dan OJK serta PPNS memiliki kewenangan khusus dalam sektor masing-masing yang tidak bisa dikesampingkan oleh Polri.
  • Menyalahi konsep kompetensi absolut, karena kewenangan penyidikan seharusnya didasarkan pada substansi tindak pidana, bukan pada hierarki institusi.
  • Bertentangan dengan pengaturan sektoral, misalnya dalam UU KPK, UU TNI, dan UU OJK serta UU Sektoral lainnya yang secara eksplisit memberikan kewenangan penyidikan kepada instansi tersebut.

Dengan demikian, frasa “penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana” dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem hukum dan mengancam independensi penyidikan di berbagai sektor.

2. Perspektif Teori Hukum

Dari perspektif teori hukum, terdapat beberapa prinsip yang dilanggar oleh ayat (2), antara lain:

  • Teori Kewenangan (Authority Theory) dari H.L.A Hart, yang menekankan bahwa kewenangan harus diberikan secara eksplisit dalam hukum dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip pembagian kekuasaan.
  • Teori Rule of Law (Dicey), yang mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian dan tidak boleh memberikan keistimewaan yang berlebihan kepada satu lembaga.
  • Teori Pluralisme Hukum, yang menekankan bahwa dalam sistem hukum modern, berbagai lembaga dapat memiliki kewenangan yang saling berdampingan sesuai dengan fungsinya.

Dengan ayat (2), Polri ditempatkan sebagai aktor dominan yang dapat mengintervensi penyidikan yang seharusnya berada dalam kompetensi absolut lembaga lain. Hal ini bertentangan dengan prinsip checks and balances serta dapat menimbulkan ketimpangan dalam mekanisme penyidikan.

3. Perspektif Filsafat Hukum

Dari perspektif filsafat hukum, terdapat beberapa kontradiksi dalam ayat (2) terhadap prinsip-prinsip dasar hukum:

  • Prinsip Keadilan (Justice Theory - John Rawls): Keberadaan penyidik dari berbagai lembaga bertujuan untuk memberikan keadilan substantif, terutama dalam menangani kejahatan khusus. Jika Polri diberikan status sebagai penyidik utama atas semua tindak pidana, maka ada potensi dominasi yang mengurangi keadilan bagi sektor yang membutuhkan independensi, seperti tindak pidana korupsi (KPK) dan tindak pidana keuangan (OJK).
  • Prinsip Kepastian Hukum (Gustav Radbruch): Ayat (2) menciptakan ketidakpastian dalam pembagian kewenangan karena bertentangan dengan aturan sektoral yang sudah ada.
  • Prinsip Pemisahan Kekuasaan (Montesquieu): Penyidikan merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang melibatkan berbagai lembaga. Jika satu institusi memiliki dominasi penuh, maka ada risiko penyalahgunaan kekuasaan yang bertentangan dengan semangat trias politica.

Dengan demikian, penyusunan norma dalam Pasal 6 RUU KUHAP seharusnya mempertimbangkan keseimbangan antara kewenangan Polri dengan lembaga penyidik lainnya agar tidak terjadi monopoli penyidikan yang dapat mengancam independensi hukum.

Usulan Perbaikan Bunyi Pasal 6 RUU KUHAP

Sebagai solusi terhadap permasalahan di atas, berikut adalah rekomendasi perubahan terhadap Pasal 6:

Bunyi Pasal yang Diusulkan:

Pasal 6

  1. Penyidik terdiri dari tiga kategori: a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang sektoral.
    c. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  2. Setiap penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan kompetensi absolut yang diatur dalam undang-undang sektoral masing-masing.
  3. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan penyidikan atas tindak pidana umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa mengurangi kewenangan penyidikan yang telah diberikan kepada lembaga negara lain berdasarkan undang-undang.
  4. Dalam hal suatu tindak pidana termasuk dalam cakupan kewenangan penyidik lebih dari satu lembaga, penyidikan dilakukan secara koordinatif, dengan mengutamakan asas lex specialis dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kesimpulan

  • Pasal 6 ayat (2) dalam RUU KUHAP versi 17 Februari bertentangan dengan prinsip kompetensi absolut, teori hukum, dan filsafat hukum karena memberikan kewenangan berlebih kepada Polri atas semua tindak pidana.
  • Kewenangan penyidikan harus tetap mengikuti prinsip lex specialis, di mana penyidik sektoral seperti KPK, TNI AL, dan OJK serta PPNS memiliki wewenang eksklusif yang tidak boleh dikesampingkan oleh Polri.
  • Rekomendasi revisi pasal adalah menghilangkan frasa "penyidik utama" dan menggantinya dengan prinsip koordinatif agar tidak terjadi monopoli kewenangan dalam sistem penyidikan.

Revisi ini akan memastikan bahwa sistem penyidikan di Indonesia tetap adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip rule of law serta checks and balances.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

Tanggapan terhadap Ketidakseimbangan antara Penyidik dan Penyelidik dalam RUU KUHAP

Tanggapan terhadap Ketidakseimbangan antara Penyidik dan Penyelidik dalam RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB


Dalam pasal 6 ayat (1) RUU KUHAP versi 17 Februari , tertulis bahwa penyidik terdiri dari tiga kategori, yaitu:

  1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang sektoral.
  3. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Namun, pada pasal mengenai penyelidik dalam RUU KUHAP hanya mengakui penyelidik dari unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara PPNS dan penyidik dari lembaga lain tidak memiliki penyelidik sendiri. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan struktural dalam sistem peradilan pidana, yang dapat berdampak negatif terhadap efektivitas penegakan hukum.


1. Mengapa Setiap Penyidik Harus Memiliki Penyelidiknya Sendiri?

a. Konsistensi dengan Struktur Penyidikan dalam RUU KUHAP

  • Jika dalam RUU KUHAP terdapat tiga kategori penyidik, maka secara logis harus ada tiga kategori penyelidik yang sesuai dengan masing-masing penyidik.
  • Hal ini akan menciptakan sistem hukum yang lebih seimbang dan sesuai dengan prinsip efektivitas hukum acara pidana.

b. Efisiensi dalam Proses Hukum

  • Dengan memberikan setiap kategori penyidik penyelidiknya sendiri, maka proses penyelidikan dapat berjalan lebih efektif dan cepat.
  • Misalnya, dalam kasus perikanan, PPNS KKP tidak perlu menunggu penyelidik dari Polri, tetapi bisa langsung memulai penyelidikan sendiri sebelum masuk tahap penyidikan.

c. Menghindari Ketergantungan Berlebihan pada Kepolisian

  • Jika hanya Polri yang memiliki penyelidik, maka PPNS dan penyidik dari lembaga lain akan selalu tergantung pada Polri, yang bisa memperlambat proses hukum.
  • Dalam kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana perikanan atau kehutananPPNS perlu memiliki penyelidik sendiri agar bisa bergerak lebih cepat dalam menangani dugaan tindak pidana.

d. Memperjelas Tanggung Jawab dan Koordinasi Antar Lembaga

  • Dengan memberikan penyelidik kepada masing-masing penyidik, maka kewenangan antara Polri, PPNS, dan lembaga lain menjadi lebih jelas.
  • Ini mencegah tumpang tindih kewenangan dan memastikan koordinasi yang lebih efektif dalam penegakan hukum.


2. Usulan Perubahan dalam RUU KUHAP

Agar struktur penyelidik dan penyidik seimbang, maka RUU KUHAP seharusnya mengatur bahwa setiap penyidik memiliki penyelidiknya sendiri.


Usulan Revisi Pasal tentang Penyelidik dalam RUU KUHAP

Pasal X (Usulan Baru)

  1. Penyelidik adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan guna mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana serta menentukan perlu atau tidaknya dilakukan penyidikan.
  2. Penyelidik terdiri dari:
    • a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
    • b. Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan penyelidikan berdasarkan undang-undang sektoral.
    • c. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang diberi kewenangan penyelidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  3. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan penyidik yang bersangkutan.


3. Kesimpulan dan Rekomendasi

·      RUU KUHAP perlu mengakomodasi keberadaan penyelidik dari PPNS dan lembaga lain, tidak hanya dari Polri.

·      Dengan memberikan penyelidik kepada setiap kategori penyidik, sistem hukum akan lebih seimbang, cepat, dan efektif.

·      Hal ini juga akan mengurangi ketergantungan pada Polri dalam tahap awal proses hukum dan memperkuat penegakan hukum di bidang spesifik.


Dengan demikian, revisi terhadap RUU KUHAP yang menambahkan penyelidik bagi setiap kategori penyidik menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak agar sistem peradilan pidana dapat berjalan lebih efisien dan tidak tersentralisasi hanya pada satu institusi. ðŸš€