“Menkum Salah Besar: Putusan MK Tidak Bisa Ditawar, Tidak Bisa Dinegosiasikan, dan Tidak Bisa Dibelokkan. Polisi Aktif Wajib Ditarik, Titik.”
Jakarta 28 November 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
Pengantar :
Pernyataan Menkum bahwa “putusan MK tidak berlaku surut sehingga polisi yang sudah terlanjur menduduki jabatan sipil boleh tetap menjabat” adalah kesalahan fatal, menyesatkan publik, dan bentuk pembangkangan terang-terangan terhadap konstitusi.
Pernyataan itu bukan sekadar keliru—
itu adalah bahaya,
itu adalah ancaman terhadap akuntabilitas negara,
dan itu adalah pintu menuju kekacauan legalitas nasional.
1. Menkumham Mengabaikan Fakta Hukum Paling Dasar.
Putusan MK 114 telah menghapus Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Bukan mengurangi, bukan mengubah, menghapus.
Konstitusi berbicara tegas:
“Anggota Polri dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian.”
Dan ketika penjelasannya dibatalkan,
larangan itu kembali murni, mutlak, dan tidak dapat ditawar.
Pernyataan Menkumham bahwa pejabat yang “sudah terlanjur” boleh tetap menjabat adalah omong kosong yang tidak memiliki dasar hukum.
2. Putusan MK Tidak Surut, Tetapi Berlaku Seketika
Benar, Putusan MK tidak berlaku surut.
Tetapi Menkum lalu memakai logika sesat:
“Kalau tidak surut, berarti boleh diteruskan.”
Ini logika kacau.
Tidak surut artinya:
tindakan masa lalu tidak dibatalkan.
Tetapi mulai hari putusan dibacakan, seluruh tindakan pejabat tanpa dasar kewenangan adalah ilegal.
Ini bukan debat opini.
Ini konstitusi.
3. Melanjutkan Jabatan Setelah Putusan MK = Sewenang-wenang.
UU Administrasi Pemerintahan menyatakan:
Pasal 18 ayat (3):
Pejabat disebut bertindak sewenang-wenang jika:
- bertindak tanpa dasar kewenangan, atau
- bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Itu tepat menggambarkan kondisi pejabat Polri aktif hari ini.
Dan lebih parah:
Menteri yang mempertahankan pejabat tanpa dasar hukum adalah pelaku penyalahgunaan wewenang.
Ini bukan salah paham.
Ini pelanggaran terang-terangan.
4. Dampaknya Brutal: Seluruh Dokumen Keuangan Berpotensi Tidak Sah.
Ketika pejabat tidak sah menandatangani:
- SPM
- DIPA
- Kontrak
- LPJ
- Surat keputusan
- Disposisi anggaran
Maka seluruh dokumen itu cacat hukum.
Ini bukan sekadar kelalaian—
ini potensi kerugian negara dan Tipikor.
5. Bahaya Nasional: Negara Bisa Mengalami Kekacauan Administrasi.
Dengan mempertahankan pejabat ilegal:
- Belanja negara bisa gagal dicairkan,
- Pengadaan bisa mandek,
- Serapan anggaran bisa hancur,
- Laporan keuangan bisa disclaimer,
- Masyarakat tidak mendapatkan pelayanan,
- Program strategis nasional terhenti.
Jika ini bukan ancaman stabilitas, apa namanya?
6. Menkum Tidak Berhak Menafsirkan Ulang Putusan MK.
Dalam negara hukum, yang menafsirkan Putusan MK hanya:
Mahkamah Konstitusi. Bukan Menteri.
Menteri tidak punya wewenang apa pun untuk:
- membatalkan,
- menunda,
- mengakali,
- menafsirkan,
- atau menyimpulkan lain dari Putusan MK.
Pernyataan Menkumham itu—
secara nyata—
melampaui kewenangannya sendiri.
7. Pejabat Polri Aktif Tidak Boleh Menjabat Satu Detik Pun Setelah Putusan MK.
Karena:
- dasar hukumnya hilang,
- kewenangannya gugur,
- tindakannya tidak sah,
- dan setiap detik yang ia habiskan di jabatan sipil adalah pelanggaran konstitusi.
Pernyataan bahwa mereka “boleh meneruskan” adalah ajakan pada pembangkangan.
8. Publik Berhak Bertanya: Mengapa Negara Dipaksa Langgar Putusan MK?
Pertanyaan publik yang wajar:
- Apakah pemerintah takut kehilangan “kendali” atas jabatan tertentu?
- Apakah ada kepentingan untuk mempertahankan 4.351 polisi aktif di jabatan sipil?
- Mengapa pemerintah justru melawan Putusan MK yang tegas?
- Mengapa Menteri justru mendorong pelanggaran hukum?
Ini pertanyaan yang menunggu jawaban.
9. Akibat Bagi Menteri Yang Tidak Melaksanakan Putusan Mk 114
9.1. Menteri Melakukan PEMBANGKANGAN KONSTITUSIONAL
Putusan MK bersifat final and binding. Artinya:
- Wajib dilaksanakan,
- Tidak boleh dilawan,
- Tidak boleh ditunda,
- Tidak boleh diakali dengan tafsir sendiri.
Menteri yang tidak melaksanakan putusan MK berarti:
· MENGINGKARI UUD 1945
· MELAWAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
· MELANGGAR PRINSIP NEGARA HUKUM
Dalam hukum tata negara, tindakan ini disebut constitutional disobedience
= bentuk pembangkangan terhadap konstitusi oleh seorang pejabat negara.
9.2. Menteri Melanggar UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Jika Menteri tetap mempertahankan Polri aktif dalam jabatan sipil, maka Menteri:
· Melampaui wewenang (Pasal 18 ayat (1)(c))
· Karena bertentangan dengan UU Polri dan Putusan MK.
· Mencampuradukkan wewenang (Pasal 18 ayat (2)(a))
· Karena memberi jabatan sipil kepada orang yang tidak berhak mendudukinya.
· Bertindak sewenang-wenang (Pasal 18 ayat (3)(b))
· Karena bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
· Melakukan penyalahgunaan wewenang (Pasal 17)
Ini adalah perbuatan administratif paling berat.
9.3. Menteri Dapat DIGUGAT Secara Pribadi dan Secara Jabatan
Tindakan tidak melaksanakan Putusan MK menyebabkan:
- Menteri dapat digugat PMH (Perbuatan Melawan Hukum),
- Menteri dapat digugat ke PTUN,
- Menteri dapat ditarik tanggung jawabnya secara pribadi bila terbukti sengaja tidak melaksanakan putusan.
Ini bukan sekadar institusi yang digugat.Nama Menteri dapat menjadi pihak tergugat secara langsung.
9.4. Menteri Menanggung Risiko TEMUAN BPK.
Jika pejabat Polri aktif tetap menandatangani:
- DIPA
- SPM
- SP2D
- Kontrak
- Dokumen belanja negara
- Laporan keuangan
maka seluruh dokumen itu cacat hukum, karena ditandatangani oleh pejabat tanpa dasar kewenangan.
Konsekuensi bagi Menteri:
· Opini BPK bisa turun → bahkan menjadi DISCLAIMER
· Anggaran kementerian dianggap tidak sah
· Menteri bertanggung jawab atas kerugian negara (UU Tipikor Pasal 3)
· Menteri dapat diminta mengembalikan kerugian negara
Ini ancaman serius.
BPK tidak peduli “alasan politik”—yang dilihat hanya legalitas.
9.5. Menteri Dapat Diproses oleh OMBUDSMAN (Maladministrasi Berat).
Membiarkan pejabat ilegal tetap menjabat adalah:
- Penyalahgunaan wewenang,
- Kelalaian administratif,
- Pelanggaran hukum publik,
- Maladministrasi tingkat tinggi.
Ombudsman dapat mengeluarkan:
- Teguran keras,
- Rekomendasi perbaikan,
- Pemeriksaan mendalam atas kelalaian Menteri.
Bila rekomendasi Ombudsman diabaikan,
itu memperkuat bukti pembangkangan konstitusi.
9.6. Menteri Dapat DIBERI SANKSI oleh Presiden
Presiden adalah atasan langsung para Menteri.
Jika Menteri melawan Putusan MK, berarti:
· Menteri melawan konstitusi
· Menteri melawan hukum
· Menteri menempatkan Presiden dalam posisi melanggar kewajiban konstitusional
Presiden dapat:
- menegur keras,
- mencopot,
- memberhentikan Menteri kapan saja
(sebagaimana kewenangan konstitusional Presiden Pasal 17 UUD 1945).
Ini bukan hal kecil.
Menteri yang menolak menjalankan Putusan MK = beban politik bagi Presiden.
9.7. Menteri Berpotensi Diproses Pidana Jika Ada Kerugian Negara
Jika:
- pejabat Polri ilegal menandatangani dokumen anggaran,
- lalu dana cair,
- dan timbul kerugian negara,
MAKA Menteri yang membiarkan itu ikut bertanggung jawab.
Dasar hukumnya:
- UU Tipikor Pasal 3 – Penyalahgunaan wewenang
- KUHP Pasal 421 – Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik
Karena membiarkan pejabat yang tidak sah menandatangani dokumen negara adalah bentuk:
penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.
Ini bukan kemungkinan kecil—
Ini risiko nyata.
9.8. Menteri Bertanggung Jawab atas Krisis Administrasi dan Mandeknya Pelayanan Publik
Jika pejabat ilegal:
- menandatangani SPM tidak sah
- menandatangani kontrak tidak sah
- menandatangani LPJ tidak sah
maka:
· Anggaran kementerian bisa berhenti total
· Pelayanan publik macet
· Program strategis nasional gagal
· Penyerapan APBN hancur
· Negara merugi miliaran – triliunan rupiah
Dan seluruhnya akan dilimpahkan sebagai kesalahan Menteri.
9.9. Menteri Menanggung Risiko Politik dan Keruntuhan Reputasi
Ketika publik mengetahui:
- Menteri melawan Putusan MK,
- Menteri mempertahankan jabatan ilegal,
- Menteri menyebabkan keuangan negara kacau,
maka:
· Menteri kehilangan kredibilitas publik
· Menteri kehilangan legitimasi politik
· Menteri menjadi sumber krisis pemerintahan
Ini sangat berbahaya pada era opini digital.
9.10. Kesimpulan :
Menteri yang tidak melaksanakan Putusan MK 114 adalah pejabat yang:
· melanggar UUD 1945
· melanggar UU
· melanggar Putusan MK yang mengikat
· melakukan penyalahgunaan wewenang
· bertindak sewenang-wenang
· menyebabkan kerugian negara
· merusak legalitas administrasi
· mengancam kredibilitas Presiden
· dapat diberhentikan
· dapat digugatdapat diperiksa BPK
· dapat diproses pidana
**Pendeknya: Menteri itu bukan sekadar salah —
Menteri itu sedang meruntuhkan negara hukum.**
9.11. Solusinya Sederhana: TARIK SEMUA POLISI AKTIF DARI JABATAN SIPIL, ATAU BERHENTIKAN DENGAN HORMAT DARI JABATAN KEPOLISIAN RI, ATAU ALIH STATUS JADI ASN TITIK.
Inilah satu-satunya tindakan konstitusional.
Tidak ada:
- transisi,
- pengecualian,
- dispensasi,
- atau toleransi.
Putusan MK final and binding.
Tidak ada ruang untuk debat.
9.12. Penutup :
Pernyataan Menkumham bahwa “yang sudah terlanjur boleh tetap menjabat” bukan hanya salah—
itu membahayakan negara.
Setiap hari pejabat Polri aktif dibiarkan duduk di jabatan sipil setelah Putusan MK adalah:
- hari ketika negara dirugikan,
- hari ketika hukum diinjak,
- hari ketika konstitusi dilecehkan,
- hari ketika kewibawaan MK diludahi,
- hari ketika demokrasi dibengkokkan.
Negara tidak boleh dipimpin dengan logika “sudah terlanjur”.
Negara harus dipimpin dengan hukum.
Kalau Putusan MK saja bisa ditawar,
maka apa lagi yang tidak bisa dinegosiasikan?
Tarik semua polisi aktif dari jabatan sipil, Sekarang. Tanpa syarat. Tanpa kompromi. Itu satu-satunya jalan yang benar. Atau semua polisi yang sedang menjabat diluar struktur Kepolisian RI, diproses untuk alih status jadi ASN.
Beginilah kalau meneteri mempunyai kepentingan pribadi dan kelompoknya. Presiden wajib bertindak tegas.
BalasHapusini namanya menteri sontoloyo. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara suka-suka. Copot menteri sontoloya yang tidak mencerdaskan bangsa.
BalasHapus