“Baca dengan Teliti dan Pahami lebih dulu Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 Sebelum Menilai dan Memberi Pendapat ”
Jakarta 20 November 2025.
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH.
Kabais TNI 2011-2013
Pendahuluan.
Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat dibanjiri berbagai pendapat tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-XXIII/2025.
Ada yang mengatakan putusan ini tidak mengubah apa-apa.
Ada yang mengklaim polisi tetap boleh menjabat di luar institusi Polri.
Ada pula yang menyebut semua masih berjalan seperti biasa.
Masalahnya sederhana, tetapi sangat membingungkan publik:
Pendapat-pendapat itu tidak membaca isi putusan.
Padahal putusan MK harus dipahami terlebih dahulu, baru boleh ditafsirkan.
Dan sebelum menilai siapa pun yang berbicara di televisi, media, atau forum kampus, ada satu hal yang wajib dilakukan:
Lihat dulu apa yang benar-benar diputuskan Mahkamah.
Putusan MK bukan opini.
Bukan saran.
Bukan rekomendasi.
Putusan MK adalah perintah konstitusi yang mengikat seluruh lembaga negara:
- Presiden,
- Kapolri,
- KPK,
- BNN,
- BNPT,
- seluruh kementerian,
- dan publik.
Karena itu, masyarakat harus mengetahui secara persis:
- Kalimat apa yang dibatalkan MK,
- Norma apa yang tetap berlaku,
- Dampak apa yang timbul,
- Apa konsekuensi bagi pejabat Polri aktif,
- Dan mengapa sebagian pendapat publik (termasuk dari profesor tertentu) bertentangan dengan isi putusan.
Penjelasan ini menyangkut:
- legalitas jabatan,
- sah/tidaknya tanda tangan pejabat,
- kewenangan lembaga penegak hukum,
- dan ketaatan negara pada konstitusi.
Jika salah memahami putusan, maka salah pula seluruh kesimpulan yang diambil.
Karena itu, mari kita mulai dari hal yang paling mendasar:
Apa sebenarnya yang dibatalkan MK, dan apa akibat langsungnya?
Setelah itu baru kita jawab:
- apakah Polri boleh menjabat di luar struktur,
- apakah penugasan Kapolri masih berlaku,
- apakah Polri bisa memakai UU ASN,
- dan mengapa pendapat sang profesor salah secara metodologis dan normatif.
II. APA YANG DIBATALKAN MK (KALIMAT EXACT)
Dalam dokumen putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 (file PDF Anda), terdapat satu frasa yang dibatalkan oleh Mahkamah:
Frasa yang dibatalkan:
“… atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Letaknya berada pada:
Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri
Sebelum dibatalkan, penjelasan lengkapnya berbunyi:
“Yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
MK hanya mencoret satu bagian, yaitu:
“… atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Sehingga penjelasan pasal itu kini tinggal:
“jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian.”
Tidak ada lagi frasa "penugasan Kapolri" yang dapat dijadikan dasar untuk menempatkan polisi aktif di jabatan mana pun di luar struktur Polri.
III. NORMA APA YANG TETAP BERLAKU SETELAH FRASA DICABUT?
Norma pokoknya berasal dari pasal inti, yaitu Pasal 28 ayat (3).
Dan dalam dokumen putusan Anda, bunyinya adalah:
“Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Perhatikan baik-baik:
- Tidak ada frasa “kecuali…”
- Tidak ada frasa “asalkan terkait fungsi…”
- Tidak ada frasa “dalam hal tertentu…”
Norma ini keras dan absolut:
*POLRI AKTIF TIDAK BOLEH MENDUDUKI JABATAN DI LUAR STRUKTUR POLRI.*
HANYA BOLEH SETELAH MENGUNDURKAN DIRI ATAU PENSIUN.
Inilah hukum positif yang berlaku hari ini.
IV. AKIBAT HUKUM LANGSUNG SETELAH FRASA DICABUT MK
Begitu frasa “penugasan Kapolri” dibatalkan, akibatnya langsung, otomatis, dan tanpa syarat:
1. Seluruh mekanisme “penugasan Kapolri” MATI.
Karena frasa itu hilang dari sistem hukum, maka:
- tidak boleh lagi menugaskan Polri aktif ke lembaga apa pun,
- tidak boleh lagi mengisi jabatan sipil,
- tidak boleh lagi mengisi jabatan di lembaga negara di luar struktur Polri,
- tidak boleh lagi ditempatkan sebagai Pj, Plt, Deputi, Direktur, Kepala Badan, Stafsus, Komisaris, dsb.
Karena dasar hukumnya sudah dicabut.
2. Polri aktif tidak boleh menduduki semua jabatan di luar struktur Polri.
Bukan hanya “jabatan sipil.”
Bukan hanya “ASN.”
Tetapi SEMUA JABATAN, termasuk:
- jabatan struktural
- jabatan fungsional
- jabatan nonstruktural
- jabatan komisi
- jabatan deputi
- jabatan lembaga independen
- jabatan BUMN / BUMD
- jabatan Pj Kepala Daerah
- jabatan apapun yang tidak di dalam struktur Polri
Jika dia masih Polri aktif → otomatis dilarang.
Polri aktif hanya dapat ditempatkan di Mabes Polri, Polda, Polsek, Polres, Densus dan struktur Polri lainnya.
3. Kalau dia tetap duduk di jabatan itu, statusnya ilegal.
Karena syarat normatifnya tidak terpenuhi:
wajib mengundurkan diri/pensiun.
Jika tidak mengundurkan diri, maka:
-Jabatannya tidak sah.
-Kewenangannya tidak sah.
-Tanda tangan keputusan menjadi tidak sah.
Ini bukan ancaman, bukan opini—ini logika administratif dasar.
Kalau “syarat jabatan” tidak terpenuhi, maka seluruh perbuatan jabatannya cacat hukum.
4. Semua lembaga yang memakai Polri aktif akan bermasalah:
Termasuk:
- KPK
- BNN
- BNPT
- PPATK
- Kemenkumham
- Imigrasi
- BSSN
- Kementerian apa saja
Jika kepala atau pejabat tingginya berasal dari Polri aktif dan belum mengundurkan diri:
semua tindakannya berpotensi batal demi hukum.
5. Tidak ada lagi alasan menggunakan UU ASN untuk menyelamatkan Polri aktif
Karena:
UU ASN Pasal 19 ayat (3) sendiri menyerahkan kembali kepada UU Polri dan UU Polri sudah tegas mensyaratkan:
mengundurkan diri atau pensiun.
Banyak orang tidak membaca pasal 19 ayat (3) ini, atau sudah membacanya tapi tidak mengerti apa maksud pasal ini. Sehingga keliru memberi komenter.
Maka:
- Polri bukan ASN,
- Polri tidak bisa disulap jadi ASN,
- Polri aktif tidak bisa diangkat sebagai ASN kecuali pensiun/mengundurkan diri.
Argumentasi “Polri itu ASN” gugur secara otomatis.
V. KESIMPULAN SETELAH PUTUSAN MK 114/2025:
**Polri aktif dilarang menduduki semua jabatan apa pun di luar struktur Polri,
karena satu-satunya syarat yang sah adalah mengundurkan diri atau pensiun.**
Dan karena frasa penugasan Kapolri sudah dihapus MK,
maka tidak ada lagi:
- celah,
- alasan,
- akal-akalan,
- penafsiran kreatif,
- atau pembenaran normatif.
Polri aktif dapat menempati semua lembaga diluar struktur Polri setelah Polri alih status jadi ASN atau pensiunan dini.
Termasuk pada :
- KPK
- BNN
- BNPT
- PPATK
- Kemenkumham
- Imigrasi
- BSSN
- Kementerian apa saja
Polri tetap dapat menduduki jabatannya setalh alistatus jadi ASN atau Pensiun dini dari dinas kepolisan.
VI. TANGGAPAN TERHADAP PROFESOR DR JUANDA
“Ketika Putusan MK Sangat Jelas, Tapi Ada Guru Besar yang Membuatnya Kabur.”
Setelah kita membaca isi putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 secara lengkap, satu hal menjadi sangat jelas:
- Frasa yang dibatalkan adalah penugasan Kapolri,
- Norma yang berlaku adalah mengundurkan diri atau pensiun, dan
- Akibat hukumnya adalah Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan apa pun di luar struktur Polri.
Tetapi justru di tengah kejelasan itu,
muncullah seorang profesor yang menyatakan kepada publik:
“Putusan MK tidak pernah melarang Polri aktif menduduki jabatan luar Polri selama jabatan itu terkait fungsi kepolisian.”
Pernyataan itu bertentangan total dengan:
- bunyi pasal asli,
- penjelasan pasal,
- amar putusan MK, dan
- logika hukum paling dasar.
Mari kita tanggapi satu per satu.
1. “PUTUSAN MK TIDAK MELARANG.” → SALAH.
Profesor berkata MK tidak melarang.
Padahal bunyi norma di dalam putusan adalah:
“… dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun…”
Kalimat dalam bahasa Indonesia yang sangat sederhana:
- Kalau belum mengundurkan diri → tidak boleh.
- Kalau belum pensiun → tidak boleh.
Tidak ada interpretasi lain.
Bahkan anak SMA pun bisa membaca kalimat itu tanpa salah paham.
Bagaimana seorang guru besar bisa melewatkannya?
2. “SELAMA ADA KAITAN FUNGSI, POLRI BOLEH.” → NORMA FIKTIF.
Ini adalah bagian yang paling bermasalah secara akademik.
Profesor menambahkan norma yang tidak ada dalam:
- pasal,
- penjelasan pasal,
- maupun putusan MK.
Di mana MK menulis kata “fungsi”?
Tidak ada.
Di mana UU Polri mengatakan “asal terkait tugas boleh”?
Tidak ada.
Ini bukan penafsiran.
Ini penciptaan norma baru yang tidak ada basis konstitusionalnya.
Dan lebih berbahaya:
- ia disampaikan ke publik,
- oleh profesor hukum,
- dan menyesatkan pembuat kebijakan.
3. “PENEMPATAN POLRI TETAP BISA BERJALAN SEPERTI BIASA.” → INI YANG PALING FATAL.
Pernyataan ini bertentangan dengan KESIMPULAN UTAMA putusan:
“Frasa ‘tidak berdasarkan penugasan Kapolri’ TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.”
Artinya:
Semua jalur penugasan Kapolri sudah dicabut MK.
Tidak ada satu pun jalur penempatan yang tersisa.Semua harus kembali ke norma pokok: pensiun atau mengundurkan diri.
Mengatakan “semua berjalan seperti biasa” setelah frasa itu dicabut MK adalah:
- keliru secara hukum,
- bahaya secara administratif,
- menyesatkan publik,
- dan mendorong lembaga negara untuk melanggar konstitusi.
Ini lebih dari sekadar salah baca.
Ini kesalahan metodologi yang tidak layak keluar dari seorang guru besar hukum.
**4. KONSEKUENSI DARI KESALAHAN PROFESOR:
Jika Diikuti, Negara Bisa Kacau**
Kalau pendapat profesor itu diikuti, maka:
🟥 A. Pejabat Polri aktif tetap duduk di jabatan luar Polri → ilegal
Karena syarat jabatan tidak terpenuhi.
B. Semua tanda tangan pejabat yang masih Polri aktif → cacat hukum
Termasuk:
- Ketua KPK,
- Kepala BNPT,
- Kepala BNN,
- Deputi lembaga tinggi negara.
Jika tanda tangan pejabat cacat → produk hukumnya cacat pula.
C. Penegakan hukum bisa runtuh
SP3, penyitaan, penyidikan, semua dapat digugat.
D. Presiden dapat dituduh membiarkan pelanggaran konstitusi.
Karena putusan MK itu mengikat seluruh lembaga negara.
Dengan kata lain:
Profesor sedang mendorong negara ke jurang krisis legalitas.
5. SEORANG GURU BESAR HARUSNYA MENJAGA NORMA, BUKAN MEMBERIKAN CELAH
Tugas akademisi adalah:
- menjaga konstitusi,
- memperjelas hukum,
- memberikan pendidikan publik,
- bukan menciptakan norma baru yang bertentangan dengan MK.
Ketika seorang profesor hukum menambah norma yang tidak tertulis,
itu bukan analisis —
itu ilusi akademik.
Ketika ia menghapus norma yang tertulis jelas di pasal,
itu bukan penafsiran —
itu penyesatan metodologis.
Ketika ia meminta negara mengabaikan putusan MK,
itu bukan kebijakan —
itu pembangkangan konstitusional.
**KESIMPULAN:
Profesor Itu Tidak Salah Karena Pendapatnya Berbeda —
Ia Salah Karena Melawan TEKS HUKUM.**
Dan hukum tidak tunduk pada gelar akademik siapa pun.
Hukum tunduk pada:
- teks pasal,
- pertimbangan MK,
- amar putusan,
- dan konstitusi.
Putusan MK 114/2025 sudah menutup celah:
Polri aktif tidak boleh menjabat apa pun di luar struktur Polri.
Yang masih mencari jalan lain,
yang masih mengatakan “boleh asal begini atau begitu”,
bukan sedang menafsirkan hukum —
tapi sedang memutarbalikkan hukum, dan sedang melawan konstitusi
“Putusan Mahkamah Konstitusi bukan untuk diperdebatkan selera penafsirnya, tetapi untuk dilaksanakan tanpa syarat.
Kepatuhan pada putusan bukan tanda kelemahan negara, melainkan ukuran kematangan demokrasi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar