29 November 2025

Ketika Keadilan Hilang dan Ketertiban Dijadikan Tuhan

 Ketika Keadilan Hilang dan Ketertiban Dijadikan Tuhan

**Negara Tidak Melahirkan Perdamaian… Negara Melahirkan Perlawanan.**

Tepi laut Selatan, 29 november 2025
Oleh : Soleman B Ponto.

 

Untuk kita renungkan di akir minggu ini.

1. Belanda Jatuh Bukan Karena Senjata Rakyat, Tapi Karena Hilangnya Kepercayaan Rakyat pada Legitimasi Hukum Kolonial.

VOC tumbang bukan pada saat rakyat mengangkat bambu runcing,
tetapi saat hukum kolonial kehilangan legitimasi moral.

Kunci sejarah:

Setiap sistem hukum yang menggantikan keadilan dengan ketertiban pasti runtuh.

Contoh historis:

  • VOC (1600–1799) runtuh bukan oleh perang besar, tapi korupsi & hukum kolonial yang mengasingkan rakyat.
  • Apartheid Afrika Selatan runtuh saat hukum kehilangan dimensi keadilan.
  • Uni Soviet runtuh bukan oleh perang, tapi oleh hukum yang tak lagi dipercaya rakyatnya.
  • Rezim-rezim otoriter Asia runtuh setiap hukum dipakai untuk menertibkan, bukan mengadili.

Legitimasi hukum hilang → legitimasi kekuasaan ikut gugur.
Itulah “pemberontakan” dalam makna ilmiah.

Bukan kekerasan — tetapi kehilangan kepercayaan struktural rakyat terhadap hukum.

2. KUHAP Baru Menggeser Titik Pusat Negara dari KEADILAN → KETERTIBAN

Dan ini adalah pola universal penyebab keruntuhan negara hukum.

Jika hukum berubah orientasi, negara ikut berubah karakter.

KUHAP lama = keadilan sebagai orientasi negara
KUHAP baru = ketertiban sebagai orientasi negara

Dalam teori filsafat hukum:

**Ketertiban tanpa keadilan bukan stabilitas — tetapi represi yang menunggu ledakan.**

Aristoteles menyebutnya sebagai:

“paling lambat bentuk tirani akan dialami oleh negara yang menukar keadilan dengan ketertiban.”

Aquinas menyebutnya:

“hukum yang tidak adil bukan hukum, tetapi kekerasan terselubung.”

Montesquieu menyebutnya:

“ketertiban tanpa keadilan adalah penindasan.”

Dan Indonesia kini menulis ulang pola sejarah itu.

3. **Belanda Menaklukkan dengan Ketertiban;

KUHAP Baru Mengulang Metode itu dengan Legalitas Baru**

Ini fakta sejarah:

Penjajah selalu memakai KETERTIBAN sebagai jubah moralnya.

VOC menyebutnya rust en orde.
Jepang menyebutnya chian.
Apartheid menyebutnya public order.
Rezim kediktatoran menyebutnya stability.

Kini KUHAP baru menyebutnya:

“Penegakan hukum untuk ketertiban masyarakat.”

Dan ketika negara memakai “ketertiban” sebagai tujuan hukum:

  • rakyat tidak lagi dilihat sebagai warga negara,
  • rakyat dilihat sebagai massa yang harus ditertibkan.

Itulah akar penjajahan baru.

4. Apa “Ujung” dari Sistem Hukum yang Menghapus Keadilan?

Dalam teori ilmu negara, ada istilah:

LEGITIMASI GUGUR, di mana hukum berhenti dipatuhi bukan karena rakyat melawan, tetapi karena rakyat berhenti percaya.

“Pemberontakan” dalam teori politik tidak selalu berarti angkat senjata.

Ada tiga tahap yang TIDAK bersifat kekerasan:

Tahap 1 — Resistensi Diam

Rakyat tidak lagi percaya pada sistem hukum.
Ini tanda awal.
Contoh: Afrika Selatan 1980–1990.

Tahap 2 — Resistensi Sistemik

Institusi mulai saling menolak legitimasi:

  • Jaksa menolak proses penyidikan,
  • Hakim tidak percaya berkas,
  • PPNS tidak patuh,
  • masyarakat sipil melawan lewat forum hukum.
    Contoh: kejatuhan rezim Soviet, kejatuhan Marcos.

Tahap 3 — Resistensi Konstitusional.

Bangsa menuntut perubahan melalui:

  • judicial review,
  • reformasi hukum,
  • delegitimasi melalui forum internasional,
  • gerakan intelektual,
  • opini publik masif.

Ini yang disebut teori : Civil Resistance, yang sah secara konstitusi & tidak dengan kekerasan.

Dan ini terjadi di banyak negara ketika hukum memaksakan ketertiban di atas keadilan.

5. Bagaimana MK Melihat Fenomena Ini ?

MK dalam banyak putusan (119/PUU, 21/PUU, 114/PUU-XXIII/2025) konsisten menyatakan:

Negara tidak boleh menjelma menjadi negara kepolisian.

Negara harus menjaga keadilan, bukan hanya ketertiban.

MK berulang kali memperingatkan bahwa:

  • monopoli kewenangan adalah ancaman,
  • pengawasan internal adalah bahaya,
  • tindakan paksa harus dibatasi,
  • penahanan harus diawasi ketat,
  • orientasi hukum tidak boleh menjauh dari keadilan.

Dan di sinilah KUHAP baru tergelincir.

Jika MK membiarkan orientasi KUHAP baru,
MK sedang membenarkan tirani prosedural.

6. Jadi Apa "Pemberontakan" yang dimaksud?

Dalam terminologi akademik:

“Pemberontakan” = pecahnya hubungan hukum antara rakyat dan negara.

Pemberontakan tidak selalu teriakan atau senjata.
Pemberontakan adalah:

  • rakyat berhenti percaya,
  • lembaga negara berhenti sinkron,
  • alat hukum berhenti legitim,
  • sistem berjalan tanpa kepercayaan publik.

Itu disebut oleh Hannah Arendt sebagai:

“Collapsing obedience”

Ketaatan runtuh karena legitimasi runtuh.

VOC jatuh bukan karena peluru rakyat, tapi karena ketaatan rakyat runtuh.

Sebuah negara bisa tetap berdiri secara fisik, tetapi sudah runtuh secara legitimasi.

Itulah pemberontakan dalam makna filsafat negara.

7. Indikator Bahwa KUHAP Baru Mendorong Arah Itu?

  • keadilan diturunkan → ketertiban dinaikkan
  • penyidikan dimonopoli → kontrol publik hilang
  • penggeledahan tanpa izin → rasa aman hilang
  • jaksa dimandulkan → check and balance hilang
  • PPNS dimatikan → spesialisasi hilang
  • praperadilan dikecilkan → benteng rakyat hilang
  • hakim dihapus dari tahap awal → kontrol yudisial hilang

Ini bukan sekadar risiko hukum. Ini risiko legitimasi negara.

8. KESIMPULAN:

“Keadilan yang Hilang Melahirkan Ketertiban yang Menindas.
Ketertiban yang Menindas Melahirkan Resistensi.”**

Itulah siklus besar sejarah dunia. Tidak ada bangsa yang selamat dari hukum yang kehilangan keadilan.

Belanda pun akhirnya tumbang karena hukumnya kehilangan keadilan.

Dan kini, dengan KUHAP baru:

Indonesia sedang mengulang sejarah Belanda —
tetapi kali ini sebagai penjajah terhadap dirinya sendiri.

Ketika ketertiban dijadikan Tuhan, maka rakyat berhenti melihat negara sebagai pelindung.
Itulah tanda awal resistensi dalam makna konstitusional, bukan kekerasan.

“Bila KUHAP baru dibiarkan, maka rakyat akan melakukan pemberontakan yang paling sulit dihentikan : pemberontakan kepercayaan terhadap negara.” Apakah kita rela ???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar