29 November 2025

**“Habiburokhman & Omar Sharif: Antara Ketertiban, Keadilan, dan Kekeliruan Ontologis dalam Membaca Konstitusi”**

 **“Habiburokhman & Omar Sharif: Antara Ketertiban, Keadilan, dan Kekeliruan Ontologis dalam Membaca Konstitusi”**

Padalarang 29 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH

Ada saat-saat tertentu dalam sejarah hukum ketika masalah bukan terletak pada teks hukum,
melainkan pada cara manusia memandang teks itu.

Immanuel Kant pernah berkata:

“Gedanken ohne Inhalt sind leer, Anschauungen ohne Begriffe sind blind.”
(Pikiran tanpa isi adalah hampa, intuisi tanpa konsep adalah buta.)

Jika Kant hidup hari ini dan menyimak pernyataan Habiburokhman dan Omar Sharif tentang Polri sebagai penegak hukum tunggal dan penyidik utama, ia mungkin akan menambahkan satu klausul baru:

“Dan tafsir konstitusi tanpa struktur adalah kekacauan.”

I. Kesalahan Ontologis:

**Ketika Habiburokhman Menyamakan Ada-nya Negara dengan Ada-nya Polisi**

Dalam ontologi hukum, ada terdiri dari banyak “modus”:
ada-nya keamanan, ada-nya keadilan, ada-nya pemerintahan, ada-nya peradilan.

Namun Habiburokhman melakukan reduksi ontologis radikal:

“Karena Polri disebut dalam UUD, maka Polri adalah penegak hukum satu-satunya.”

Ini disebut dalam tradisi filsafat:

Ontologische Verarmung

(Pemiskinan ontologi)

Karena ia mengurangi:

  • Kejaksaan → hilang
  • Peradilan → diabaikan
  • Penegakan hukum sektoral → dianggap tak perlu
  • Pasal 24 → diperlakukan seperti catatan kaki

Dalam kerangka Martin Heidegger,
Habiburokhman telah menyempitkan Being (Sein) negara hukum
menjadi satu entitas tunggal — Polri.

Ini bukan hanya kekeliruan hukum;
ini kekeliruan ada-nya negara.

II. Kekeliruan Epistemologis Omar Sharif:

**Pengetahuan Tanpa Struktur, Hukum Tanpa Hirarki**

Omar Sharif menyatakan Polri adalah “penyidik utama untuk semua tindak pidana”.

Jika ditimbang secara epistemologis, pernyataan itu adalah contoh klasik dari apa yang Radbruch sebut:

“Wille zur Macht über das Recht”

(kehendak untuk menguasai hukum)

Karena konstruksi pemikiran Omar Sharif mengandung ciri-ciri berikut:

  1. Ia menganggap penyidikan = inti seluruh hukum.
  2. Ia menganggap penyidik = pusat kekuasaan hukum pidana.
  3. Ia menganggap Polri = pemegang tunggal fungsi penyidikan.

Padahal H.L.A. Hart mengingatkan:

Hukum bukan hanya aturan primer (larangan),
tetapi juga aturan sekunder (putusan, pembuktian, kewenangan).

Omar Sharif mereduksi seluruh struktur hukum menjadi “aturan primer” yang dimonopoli Polri.
Ini tindakan yang dalam filsafat Belanda disebut:

“Kennis zonder systeem is een misleiding.”

(Pengetahuan tanpa sistem adalah penyesatan.)

III. Kekacauan Etis:

**Ketika Ketertiban Dinomorsatukan, Keadilan Dipinggirkan**

Dalam etika Radbruch, ada tiga nilai dasar hukum:

  1. Rechtssicherheit (kepastian hukum)
  2. Zweckmäßigkeit (kemanfaatan)
  3. Gerechtigkeit (keadilan)

Habiburokhman dan Omar Sharif menempatkan hanya:

  • ketertiban (orde), dan
  • kepentingan keamanan (veiligheid)

sementara nilai keadilan (gerechtigheid)
dibuang ke pinggir seperti sampah argumen.

Carl Schmitt mengingatkan bahwa negara yang menaruh seluruh harapannya pada aparat ketertiban, tanpa keseimbangan lembaga lain, akan terjerumus ke dalam:

Der totale Staat
(Negara total)

Yaitu negara di mana aparat keamanan adalah pusat peradaban.

Inilah arah yang sedang dibangun oleh argumentasi Habiburokhman dan Omar Sharif,
meski mungkin mereka sendiri tidak menyadarinya.

IV. Kekeliruan Hermeneutik:

**Membaca Satu Pasal dan Mengabaikan Semesta Makna**

Filsafat hermeneutika mengajarkan:

“Text is never alone.” (Gadamer)

Tetapi bagi Habiburokhman, teks UUD tampaknya cukup satu pasal.
Bagi Omar Sharif, satu kalimat cukup menjadi fondasi teori hukum penuh.

Inilah bentuk hermeneutika yang patah —
yang dalam tradisi kontinental disebut:

“Verkürzte Hermeneutik”

(hermeneutika yang dipotong paksa)

Mereka membaca konstitusi seperti membaca menu cepat saji:

  • pilih satu klausa,
  • abaikan keseluruhan struktur,
  • gunakan potongan itu untuk mendukung opini.

Metodologi ini bertentangan dengan:

  • hermeneutika Gadamer,
  • positivisme Kelsen,
  • teori moral Fuller,
  • pendekatan legal-reasoning Dworkin.

V. Kesimpulan Filosofis:

**Dua Tokoh, Dua Kekeliruan, Satu Bahaya Besar**

Jika filsafat hukum adalah kompas negara,
maka tafsir Habiburokhman dan Omar Sharif
adalah jarum kompas yang patah.

Secara filosofis:

  • Habiburokhman melakukan kekeliruan ontologis dengan menyempitkan negara menjadi satu lembaga.
  • Omar Sharif melakukan kekeliruan epistemologis dengan mengidentifikasi hukum pidana hanya dengan penyidikan.
  • Keduanya melakukan kekeliruan aksiologis karena menomorsatukan ketertiban, bukan keadilan.

Dalam bahasa Belanda yang tajam:

“Het probleem is niet dat Habiburokhman en Omar Sharif de Grondwet lezen,
maar dat zij hem verkleinen tot een pamflet.”

(Masalahnya bukan mereka membaca UUD, tetapi mereka mengecilkannya menjadi pamflet.)

Dan dalam filsafat Arendt:

“Keberbahayaan bukan datang dari niat jahat, tetapi dari kebodohan yang percaya diri.”

Itulah inti kritik terhadap Habiburokhman dan Omar Sharif:
bukan sekadar salah baca,
tetapi salah baca dengan keyakinan tinggi, yang menjadikan kesalahan itu lebih berbahaya daripada kebatilan biasa.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar