29 November 2025

“Ketika Wamenkum Mau Membonsai Advokat: Mental Penjajah di Era Republik”

  “Ketika Wamenkum Mau Membonsai Advokat: Mental Penjajah di Era Republik”

Padalarang 29 November 2025
Oleh :Laksda TNI Purn Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH

 

Pengantar.

Sejarah profesi advokat bukan sejarah orang-orang berjas rapi yang duduk di meja mahoni dan menunggu panggilan sidang. Sejarah advokat adalah sejarah perlawanan. Di Indonesia, kita mengenal istilah pokrol bambu: pembela rakyat kecil tanpa gelar, tanpa toga, tanpa institusi, tapi berani berdiri di hadapan kolonial demi membela yang tak berkuasa. Mereka bukan pejabat, bukan birokrat, bukan aparat kekuasaan—tetapi penjaga terakhir keadilan ketika negara justru menindas.

Dari pokrol bambu itulah lahir advokat modern: profesi yang mandat utamanya bukan sekadar “berperkara”, tetapi melawan ketidakadilanmenghadang kesewenang-wenangan, dan menjadi tembok terakhir antara rakyat dengan negara.
Advokat adalah benteng sipil—dan benteng itu kini sedang dicoba untuk dipotong batangnya, dibonsai cabangnya, dan dipendekkan umurnya.

1. Wamenkum Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej): Gagasan Mental Penjajah yang Mengulang Sejarah Kolonial.

Pernyataan Eddy Hiariej terang, gamblang, dan tidak bisa dipoles ulang:

Ia mendorong batas usia maksimum advokat.
Bukan kualitas.
Bukan etika.
Bukan kompetensi.
Usia.

Seakan-akan advokat adalah barang kadaluwarsa.

Dan alasan utamanya sangat kolonial:
Karena ia takut kalau mantan Hakim Agung, mantan Jaksa Agung, atau mantan Kapolri menjadi advokat, maka “jaksa-jaksa junior bisa habis karena tekanan psikologis.”

Inilah pola pikir penguasa yang takut bayangannya sendiri.
Ini bukan pola pikir republik.
Ini pola pikir feodal-penjajah yang melihat rakyat dan aparat junior sebagai budak psikologis yang akan roboh hanya karena berhadapan dengan orang yang lebih tua.

Dan lebih parah: ia memakai “Belanda” sebagai pembanding.
Seolah-olah Indonesia harus meniru Belanda dalam hal pembatasan kebebasan sipil.
Padahal sejarah mencatat:
Pokrol bambu dulu justru dibatasi dan dihambat oleh Belanda supaya rakyat tidak punya pembela.

Kini Wamenkum ingin mengulangnya—atas nama penelitian tiga tahun.

2. Membonsai Advokat: Mengerdilkan Perlawanan Sipil

Usia maksimum?
Apa berikutnya?
Tinggi badan advokat?
Atau masa berlaku lidah advokat?

Ketakutan Eddy Hiariej hanya menunjukkan satu hal:
ia tidak mengenal apa itu profesi advokat.

Advokat bukan seperti polisi yang wajib pensiun karena terikat struktur komando.
Bukan seperti jaksa yang tunduk hierarki.
Bukan seperti hakim yang bekerja dalam sistem negara.

Advokat adalah profesi bebas, pilar independen, penjaga keadilan substantif—yang justru harus bebas dari kekuasaan negara.
Mengatur usia maksimum advokat sama dengan:

  • membatasi pikiran;
  • membatasi pengalaman;
  • membatasi kebebasan berprofesi;
  • dan lebih jauh lagi—membatasi kekuatan kontrol rakyat terhadap negara.

Inilah yang membuat ide Wamenkum begitu berbahaya:
Ia ingin mengatur perlawanan.
Ia ingin mengatur kritik.
Ia ingin membonsai advokat supaya tidak terlalu kuat, tidak terlalu senior, tidak terlalu berpengaruh.

Itu bukan reformasi.
Itu regresi hukum.
Itu pola pikir penguasa yang nyaman jika rakyat tetap kecil.

3. Ketakutan Inti Eddy Hiariej: Mentalitas Penjajah Takut pada Rakyat

Pernyataannya yang paling memalukan adalah:

“Kalau mantan hakim agung jadi advokat, jaksa junior bisa habis.”

Siapa yang ia rendahkan?
Jaksa junior atau logika publik?
Apa negara selemah itu sampai mental jaksa, polisi, dan penyidiknya digambarkan seperti rumput kering yang bisa rubuh hanya karena angin advokat pensiunan?

Inilah mental penjajah yang sesungguhnya:

  • takut pada rakyat yang cerdas,
  • takut pada advokat yang berpengalaman,
  • takut pada persidangan yang seimbang,
  • takut jika kekuasaan tidak lagi dominan.

Ia ingin advokat muda saja yang masih bisa diatur.
Ia ingin senior-senior dibatasi.
Ia ingin perlawanan sipil dikerdilkan.

Itu bukan pikiran akademisi.
Itu mentalitas VOC yang takut pada pokrol bambu.

4. Sejarah Berulang: Dulu Penjajah Membatasi Pokrol Bambu, Kini Wamenkum Membatasi Advokat

Dulu Belanda tidak memberi izin pokrol bambu agar rakyat tetap lemah.
Hari ini Eddy Hiariej ingin membatasi usia advokat agar kekuasaan tetap nyaman.

Dulu pokrol bambu berjuang demi keadilan.
Hari ini advokat kembali harus berjuang—karena serangan datang dari penguasa sendiri.

Sejarah tidak pernah mati.
Hanya pelakunya yang berganti.

!!!SERUAN PERLAWANAN UNTUK SELURUH ADVOKAT INDONESIA!!!

Wahai Para advokat, jangan diam. Profesi Advokat bukan hadiah dari negara.
Anda adalah benteng terakhir rakyat ketika semua instrumen negara lumpuh oleh kekuasaan.

Jika hari ini negara berani membatasi umur advokat, besok ia akan membatasi ruang sidang, kemudian membatasi suara advokat, lalu membatasi hak rakyat untuk membela diri.

Bangkitlah. Lawanlah.
Ingat sejarah pokrol bambu—kita berdiri bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk keadilan.

Jangan biarkan mental penjajah mengatur profesi yang dilahirkan untuk melawan penindasan.

Setelah Sukses Membonsai Jaksa dan Mengunci KUHAP Baru, Ia Kini Mengincar Advokat

Sebelum berbicara soal pembatasan usia advokat, publik harus paham:
Wamenkum Eddy Hiariej ini bukan baru pertama kali mengusik pilar keadilan.

Ada pola. Dan polanya sangat jelas.

1. Ia ikut mendorong KUHAP Baru yang mengangkat Polri sebagai “penyidik utama”

Di KUHAP Baru, ia membuka jalan agar penyidikan disentralisasi sepenuhnya ke Polri, sementara:

  • Jaksa dimandulkan,
  • Kewenangan penyidikan sektoral dipotong,
  • Praperadilan dipersempit,
  • Penangkapan diperpanjang,
  • Penggeledahan dibuat tanpa izin.

Ini pola kolonial: pusatkan kekuasaan, minimalkan kontrol.

2. Ia mempromosikan narasi: “Polri satu-satunya penegak hukum di Indonesia.”

Ini pernyataan yang secara hukum salah besar, tetapi ia kumandangkan berulang-ulang.
Ia mengabaikan konstitusi yang memisahkan:

  • Penegakan hukum untuk keamanan & ketertiban → Polri
  • Penegakan hukum untuk keadilan → Jaksa, Hakim, dan Advokat

Namun dalam pikirannya, semuanya harus dikembalikan ke satu corong kekuasaan.
Itulah kebodohan hukum yang luar biasa.

Dan ketika kekuasaan di tangan Polri diperkuat melalui revisi KUHAP,

Ia kemudian membatasi jaksa melalui revisi struktur

Peran jaksa dipangkas, dominasi penyidikan diambil, dan jalur koordinasi diputus.
Jaksa—yang secara konstitusional adalah penuntut yang mandiri—diperlakukan seperti bawahan.

Kini, Target Berikutnya: ADVOKAT

Setelah mengurangi peran hakim lewat berbagai regulasi teknis, memandulkan jaksa, dan menyerahkan penyidikan penuh ke polisi, kini Wamenkum menoleh ke satu-satunya benteng yang tersisa:

Advokat.

Dan ia ingin membonsai advokat melalui mekanisme paling primitif:
batas usia.

Ini bukan reformasi.
Ini operasi politik: memotong sayap, membatasi pengaruh, mengerdilkan independensi.

Ia takut advokat senior memiliki wibawa lebih tinggi dari jaksa atau polisi muda.
Ia takut advokat pensiunan hakim agung akan “menakuti” penyidik muda.

Ketakutan ini bukan ketakutan profesional.
Ini ketakutan kekuasaan.

**Inilah Polanya: Semua Penyeimbang Kekuasaan Dibonsai**

Jika kita rangkai polanya:

  1. Hakim dibatasi melalui struktur dan aturan teknis.
  2. Jaksa dimandulkan kewenangannya dalam KUHAP baru.
  3. Penyidikan dipusatkan ke Polri, mematikan model checks and balances.
  4. Polri dinyatakan sebagai satu-satunya “penegak hukum” — suatu kekeliruan fatal.
  5. Dan sekarang… advokat hendak dibatasi umur dan keberadaannya.

Ini bukan kebetulan.
Ini bukan sekadar wacana.
Ini rekayasa politik jangka panjang untuk menciptakan sistem hukum tanpa penyeimbang,
di mana negara (baca: Polri) memegang semua kunci kekuasaan hukum.

Dan itu persis seperti negara kolonial.

*Mental Penjajah: Takut pada Kekuatan Sipil**

Seperti Belanda dulu takut pada pokrol bambu, hari ini Wamenkum takut pada advokat senior.

Argumen “ketemu jaksa junior bisa habis” adalah cerminan mentalitas penjajah: menganggap aparat negara begitu rapuh sehingga harus dilindungi dari rakyat sendiri.

Apa gunanya pendidikan hukum?
Apa gunanya jaksa muda kalau mentalnya dianggap seperti kertas tisu?

Ini penghinaan terhadap aparat.
Ini penghinaan terhadap logika.
Ini penghinaan terhadap rakyat.

Dan semuanya hanya untuk menjustifikasi satu hal:
Pembatasan. Pembonsaiian. Pengerdilan.

INI SAATNYA ADVOKAT MELAWAN

Sudah cukup kekuasaan memotong satu per satu pilar hukum:

  • Hakim dipreteli.
  • Jaksa dipreteli.
  • Regulasi disentralisasi.
  • Polri dipaksa menjadi satu-satunya corong penegakan hukum.
  • Dan sekarang advokat mau dipreteli umur dan martabatnya.

Advokat harus ingat sejarahnya—kita lahir dari perlawanan, bukan dari izin kekuasaan.

Bangkitlah.
Jangan diam.
Jangan biarkan profesi advokat dibonsai hanya demi menegakkan ilusi kekuasaan versi Wamenkum.

Advokat adalah benteng terakhir republik.
Jika benteng ini runtuh, rakyat tidak lagi punya siapa-siapa.

Lawan.
Bicara.
Berdiri.
Jaga sejarah pokrol bambu—dan jangan pernah biarkan mental penjajah kembali berkuasa di era Indonesia Merdeka.

“Advokat bukan dilahirkan untuk tunduk pada negara, tetapi untuk mengingatkan negara pada keadilan.”

 

2 komentar: