Jakarta 21 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH
**JIKA ADA PEJABAT YANG TAK MAU TAAT, YA SUDAH—ANGGAP SAJA MEREKA SEDANG PUTUS HUBUNGAN DENGAN UUD 1945”**
Ada fenomena aneh di republik ini:
Begitu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sesuatu, sebagian pejabat langsung pura-pura tuli, sebagian pura-pura sibuk, sebagian lagi pura-pura tidak mengerti bahasa Indonesia.
Padahal kalimatnya jelas:
“Putusan MK bersifat final dan mengikat.”
Bukan final dan bisa dicoba nego.
Bukan final tapi tergantung mood pejabat.
Bukan final bersyarat seperti promo kredit motor.
Ini putusan MK, bukan brosur diskon.
1. Putusan MK 114/PUU-2025 Itu WAJIB—BUKAN OPSI LAYAK COBA
Mari berterus terang:
Kalau ada pejabat yang bilang “putusan MK harus ditafsirkan dulu”, itu tandanya pejabat itu bukan ingin menafsirkan, tapi ingin membatalkan dengan gaya manis.
Bahasanya mungkin sopan, tapi isinya sama:
“Saya tidak mau taat konstitusi.”
Seperti anak kecil yang disuruh tidur tapi jawab:
“Sebentar, aku mau negosiasi dulu dengan kasur.”
**2. Siapa yang Wajib Taat Putusan MK?
SEMUA. Bahkan pejabat yang merasa paling penting sekalipun.**
Pejabat-pejabat kita kadang punya imajinasi tinggi, merasa:
- jabatan mereka suci,
- tanda tangan mereka sakti,
- keputusan mereka lebih tinggi dari konstitusi.
Padahal menurut UUD 1945:
Tidak ada yang lebih tinggi dari putusan MK, kecuali Tuhan dan konstitusi itu sendiri.
Jadi kalau ada pejabat yang masih ngotot melawan,
itu bukan masalah hukum lagi.
Itu masalah ego yang merasa lebih besar daripada negara.
3. Apa Akibat Kalau Putusan MK 114/PUU-2025 Tidak Ditaati?
Dampaknya seperti pejabat lupa pakai celana—semua kebodohan langsung kelihatan.**
a. Semua keputusan pejabat yang pakai pasal dibatalkan MK otomatis ILEGAL
Ilegal, bukan “kontroversial”.
Ilegal, bukan “butuh kajian ulang”.
Ilegal, bukan “nanti kita rapatkan”.
b. Pejabat yang membangkang berubah menjadi badut konstitusi
Mengaku pejabat, tapi menolak putusan konstitusi?
Itu seperti sopir bus yang menolak rem:
berbahaya dan tidak layak dipercaya.
c. Presiden yang membiarkan pembangkangan = ikut melanggar UUD 1945
Kalau bawahan melanggar putusan MK dan Presiden diam,
itu tandanya bukan tidak tahu—
tandanya membiarkan.
Dan presiden yang membiarkan pelanggaran konstitusi
bukan sedang memimpin negara,
tapi sedang mengawal kerusakan negara.
d. Pejabat bisa dikenai pidana, adminstratif, bahkan dicopot
Itu bukan ancaman, itu aturan.
Kalau pejabat hobi membangkang putusan MK,
maka negara punya kewajiban mengembalikan mereka
ke tempat yang sesuai:
bukan jabatan publik.
4. Pejabat Pembangkang:
Bukan Visioner, Tapi Penumpang Gelap Konstitusi**
Ada pejabat yang sok visioner:
berkata seolah-olah mereka lebih paham negara daripada MK.
Padahal kenyataannya sederhana:
Jika Anda tidak taat putusan MK, maka Anda sedang bermain negara tanpa lisensi.
Itu bukan inovasi.
Itu pembangkangan berbalut jas.
5. Putusan MK 114/PUU-2025 Tidak Perlu Ditafsir-Tafsiri
Yang Perlu Ditafsirkan Itu Hanya Motif Pembangkangnya**
Putusan MK sudah jelas.
Yang tidak jelas itu motif pejabat yang tidak mau melaksanakan.
- Tidak baca?
- Tidak mengerti?
- Sengaja pura-pura tidak mengerti?
- Atau merasa lebih besar dari konstitusi?
Kalau alasannya nomor 3 atau 4,
itu bukan sekadar pelanggaran hukum,
itu penistaan konstitusi.
PENUTUP.
Putusan MK 114/PUU-2025 adalah cermin.
Siapa pun pejabat yang tidak mau taat, cermin itu akan memantulkan wajah asli mereka:
Bukan wajah negarawan.
Bukan wajah pelayan publik.
Tapi wajah orang yang sedang bilang:
“Saya lebih hebat dari UUD 1945.”
Dan kepada pejabat seperti itu, rakyat hanya perlu berkata:
“Kalau tidak sanggup taat putusan MK, maka Anda tidak sanggup memegang jabatan. Silakan mundur, sebelum negara yang mundur.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar