8 Oktober 2021

BAKAMLA RI BAGAI KERAKAP TUMBUH DIBATU HIDUP SEGAN MATI TAK MAU

                                            oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH

Kepala Bakamla yang baru, Laksdya TNI Taufieqoerrochman baru saja dilantik. Pada pelantikan itu, Menkopolhukam, Wiranto berpesan agar Kepala Bakamla yang baru dilantik untuk segera menyesuaikan diri, mengenali tugas, dan melaksanakan dengan sebaik baiknya.

 

“Diingatkannya, penegakan hukum, keamanan dan keselamatan di laut dilaksanakan oleh satuan-satuan patroli dari berbagai Instansi/Kementerian dan masing-masing Instansi/Kementerian tersebut memiliki strategi/kebijakan, peralatan, SDM yang berbeda-beda dan tidak dalam satu sistem yang terintegrasi. Dengan menyatukan/mengintegrasikan kewenangan tersebut pada satu Badan tentu akan lebih mudah untuk melakukan koordinasi dan kontrol,” kata Menko Polhukam .

 

Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan bagi Bakamla untuk mengoptimalkan sistem “Single Agency Multi Tasks” sejalan dengan wewenang Bakamla untuk mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia .

 

Mengalir dari pesan Menkopolhukam ini sangat jelas terlihat bahwa Bakamla dibentuk untuk menjadi satu-satunya Badan di laut yang dapat melakukan penegakan hukum, keamanan dan keselamatan di laut yang saat ini dilakukan oleh berbagai instansi/kementrian sesuai dengan kewenangan mereka yang diberikan oleh Undang-undang (UU).

 

Sistem “Single Agency Multi Tasks” yang disematkan kepada Bakamla semakin memperlihatkan keperkasaan Bakamla sebagai Satu institusi, dengan banyak tugas. "Single agency, satu institusi, Multi task, banyak tugas".

 

Jadi, kalau saat ini ada sedikitnya 17 UU yang berkaitan dengan laut, maka Bakamla harus dapat menguasai dan mengontrol ke 17 UU itu. 

 

Salah satu persyaratan agar Bakamla dapat melaksanakan tugasnya maka tugas Bakamla harus diatur oleh UU. Untuk itulah dibuatkan sebuah UU untuk Bakamla yaitu UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. 

 

Jadi, UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan kekuatan hukumnya harus berada di atas kekuatan hukum dari sedikitnya 17 UU yang berkaitan dengan laut, sehingga Bakamla bisa menjadi satu-satunya penguasa di laut.

 

Apakah benar UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan kekuatan hukumnya berada di atas kekuatan hukum dari sedikitnya 17 UU yang berkaitan dengan laut?

 

Untuk itulah, maka UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan perlu dianalisa.

 

Alat ukur yang dipakai untuk menganalisa adalah UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Asas Lex spesialis derogate legi generalis.

 

1. UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berisi antara lain :

 

a. Beberapa pasal yang isinya merupakan cuplikan dari sedikitnya 17 UU.

 

b. Satu pasal yaitu Pasal 72 yang MENCABUT DAN MENYATAKAN TIDAK BERLAKU Pasal 24 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

 

c. Satu pasal yaitu pasal 59 yang meyatakan tentang Pembentukan Bakamla dengan segala kewenangannya.

 

d. Satu pasal, Pasal 63 yang mengatur bahwa Kewenangan Bakamla dilaksanakan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali yang populer dengan istilah “Single Agency Multi Tasks”.

 

2. UU yang cuplikannya diambil dan dijadikan pasal-pasal dalam UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan antara lain:

 

a. UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontingen Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaga Negara Nomor 2994);

 

b. UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44), (Tambahan Lembaga Negara Nomor 3260);

 

c. UU Nomor 17 Tahun 1985 

Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);

 

d. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49;

e. UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaga Negara Nomor 5216); 

 

 

f. UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3482); 

 

 

g. UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3647); 

 

 

h. UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaga Negara Nomor 4661); 

 

 

i. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaga Negara Nomor 5059);

 

 

j. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaga NegaraNomor4152); 

 

 

k. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI (Lembaran Negara Republik lIndonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaga Negara Nomor 4168);

 

m. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

 

n. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

 

o. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439);

 

p. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

 

q. UU Nomor Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);

 

r. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64)

 

3. UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

 

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kekuatan hukum sesama UU adalah sama tinggi.

 

Oleh karena kekuatan hukum sesama UU sama tingginya, maka secara otomatis UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan kekuatan hukumnya menjadi sama tinggi dengan 17 UU lainnya yang berkaitan dengan laut.

 

Misalkan, kekuatan hukum UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran sama tingginya dengan kekuatan hukum UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menjadi sama tinggi pula dengan kekuatan hukumnya UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.

 

Karena kekuatan hukum ke 17 UU yang berkaitan dengan laut itu menjadi sama tinggi dengan UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, maka secara otomatis, Bakamla TIDAK BISA MENGUASAI DAN MENGONTROL KE 17 UU yang berkaitan dengan laut.

 

Artinya Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali.  Secara Otomatis pula sistim “Single Agency Multi Tasks” TIDAK BISA DILAKSANAKAN.

 

4. Asas Lex spesialis derogate legi general (Yang khusus mengalahkan yang umum).

 

Sedikitnya ada 17 (tujuh belas) Undang-undang yang DISATUKAN kedalam UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Dengan DISATUKANNYA ke 17 UU kedalam UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, maka secara otomatis UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan sifatnya menjadi UMUM.

 

Dengan adanya Asas Lex spesialis derogate legi general yang artinya UU khusus akan mengalahkan UU yang bersifat umum.

 

Contohnya, untuk mengatur Pelayaran, maka yang akan dicari atau dipedomani adalah UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, walaupun bagian dari UU Pelayaran ini ada juga tertulis dalam UU Kelautan.

 

Demikian juga bila kita akan beraktifitas di ZEE, maka yang menjadi pedoman adalah UU ZEE walaupun secara umum ZEE diatur juga didalam UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.

 

Jadi, 17 UU yang berkaitan dengan laut itu menjadi bersifat khusus, sedangkan UU nomor 32 tahun 2014 menjadi bersifat umum.

 

Dengan adanya asas Asas Lex spesialis derogate legi general yang artinya UU khusus akan mengalahkan UU yang bersifat umum, maka yang akan selalu digunakan adalah 17 UU yang bersifat khusus.

 

Sedangkan UU nomor 32 tahun 2014 yang bersifat umum TIDAK AKAN PERNAH DIPAKAI.

 

Jadi dengan menggunakan alat ukur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Asas Lex spesialis derogate legi general, maka dapat disimpulkan bahwa UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan itu memang ada, tetapi tidak akan pernah bisa dipakai, dan sebagai konsekuensinya, maka secara otomatis pula Bakamla itu ada, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugasnya.

 

Sehingga jadilah Bakamla, bagaikan Kerakap tumbuh dibatu, hidup segan mati tak mau. Lalu, untuk apa täta memelihara keberadaan Bakamla ??  Mungkin keberadaan Bakamla sudah saatnya untuk ditinjau kembali.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar