Mendagri Harus Segera Mencabut SK Pemindahan Empat Pulau Aceh: Sebelum Semuanya Terlambat
Jakarta 15 Jubi 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb
Pendahuluan
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memindahkan empat pulau dari wilayah Aceh Singkil ke Provinsi Sumatera Utara merupakan kebijakan yang tidak hanya cacat secara administratif dan yuridis, tetapi juga berpotensi menimbulkan gejolak politik dan keamanan di wilayah yang selama ini dikenal sensitif secara historis dan kultural. SK tersebut, jika tidak segera dicabut, dapat menghancurkan kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat dan memperlemah fondasi perdamaian yang telah dibangun melalui MoU Helsinki 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Sejarah Aceh Singkil: Wilayah Ujung Barat Daya Kesultanan Aceh
Aceh Singkil bukan sekadar wilayah administratif; ia adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang kedaulatan Aceh. Sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16, Singkil telah menjadi wilayah penting di bagian barat daya kekuasaan Aceh. Dalam berbagai sumber sejarah Belanda dan Inggris, pelabuhan Singkil tercatat sebagai salah satu jalur penting perdagangan dan pusat pengaruh Islam.
Menurut peta-peta kolonial Belanda, seperti Topographische Kaart van Atjeh en Onderhoorigheden (1904), Singkil berada dalam batas wilayah administrasi Aceh. Bahkan ketika Belanda membagi wilayah administratif dengan cara paksa pada abad ke-19, Singkil termasuk empat pulau itu tetap dimasukkan sebagai bagian dari Keresidenan Aceh dan bukan Tapanuli.
Lebih lanjut, dalam konteks modern, ketika Aceh diberikan status sebagai daerah istimewa dan kemudian daerah otonomi khusus melalui UUPA, Aceh Singkil dan keempat pulau tetap menjadi bagian integral dari provinsi ini. Tidak pernah ada proses legislatif maupun konsultasi rakyat Aceh yang menyetujui pemindahan pulau-pulau ini ke provinsi lain.
Cacat Yuridis dalam SK Mendagri
SK Mendagri yang memindahkan empat pulau dari Aceh ke Sumut didasarkan pada klaim belum adanya batas laut yang definitif. Padahal menurut prinsip dasar hukum laut internasional dan hukum nasional, batas provinsi di laut tidak serta-merta menjadi dasar sah untuk memindahkan pulau. Yang diatur dan dimiliki dalam hukum adalah wilayah pulau dan daratan, bukan wilayah laut yang merupakan yurisdiksi negara, bukan provinsi.
Lebih serius lagi, tindakan Mendagri bertentangan dengan:
- Pasal 4 UUPA, yang menyatakan bahwa wilayah Aceh mencakup pulau-pulau dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai.
- Pasal 235 UUPA, yang mewajibkan semua kebijakan pusat yang berkaitan dengan Aceh harus melalui konsultasi dengan Pemerintah Aceh.
- MoU Helsinki, yang menjadi perjanjian damai internasional dan mencantumkan wilayah Aceh sebagaimana berlaku pada tahun 1956 sebagai acuan.
Dampak Sosial dan Keamanan
Aceh bukan wilayah biasa. Aceh adalah daerah yang memiliki luka sejarah karena konflik bersenjata dan perlawanan panjang terhadap pusat. Masyarakat Aceh sangat peka terhadap isu wilayah dan kedaulatan. Pemindahan empat pulau ini akan dianggap sebagai bentuk “pencaplokan” oleh pusat—dan bukan sebagai koreksi administratif.
Gejolak protes telah muncul. Jika SK tidak dicabut, pemerintah harus siap menghadapi gelombang ketidakpercayaan, perlawanan hukum, hingga potensi ketegangan sosial dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional, terutama di barat Indonesia. Apakah pemerintah akan mempertaruhkan perdamaian demi SK yang tidak memiliki dasar hukum kuat?
Langkah Tegas: Cabut SK Sekarang Juga
Sebelum situasi memburuk, Mendagri harus segera mencabut SK tersebut. Ini bukan hanya tentang kebenaran administratif, tetapi juga soal keadilan, konstitusionalitas, dan penghormatan terhadap sejarah serta martabat rakyat Aceh.
Pemerintah perlu:
- Segera mencabut SK secara resmi dan terbuka.
- Melibatkan Pemerintah Aceh dalam setiap diskusi soal batas wilayah.
- Membentuk tim bersama nasional-daerah, termasuk sejarawan dan ahli hukum, untuk mengkaji ulang batas wilayah berdasarkan sejarah dan hukum.
- Menegaskan kembali komitmen pemerintah terhadap MoU Helsinki dan UUPA.
Penutup
Sejarah Aceh Singkil bukan sejarah Sumatera Utara. Empat pulau itu tidak berdiri sendiri, tetapi telah menjadi bagian dari peradaban Aceh sejak masa lampau. Ketika hukum diabaikan dan sejarah dilupakan, maka bangsa ini sedang bermain api dengan keutuhan NKRI.
Cabut SK sekarang juga—sebelum terlambat. Jangan biarkan rakyat Aceh merasa dicurangi dua kali: dulu dengan senjata, kini dengan surat keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar