13 Juni 2025

Empat Pulau, Sebuah Luka di Pikiran Aceh

Empat Pulau, Sebuah Luka di Pikiran Aceh

Jakarta 13 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH
Mantan Sekertari AMM di Aceh

Ketika sebuah wilayah dilepaskan dari peta, yang terhapus bukan hanya nama geografis. Yang hilang adalah memori kolektif, suara rakyat, dan rasa memiliki. Hari ini, saya menulis sebagai bagian dari Aceh yang hatinya luka, karena mendengar kabar bahwa empat pulau yang selama ini menjadi bagian sejarah dan budaya Aceh kini tak lagi tercatat sebagai milik Aceh.

Pulau-pulau itu—yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir Aceh, tempat mereka membangun rumah, masjid, dan harapan—kini berubah status tanpa perlawanan, tanpa berita, bahkan tanpa tanya. Apakah rakyat pulau itu tidak berhak tahu bahwa identitas kewilayahannya telah berubah? Apakah pemindahan batas administratif bisa dilakukan dengan senyap, tanpa musyawarah, tanpa partisipasi, dan tanpa kejelasan?

Saya tidak ingin berpolemik semata soal legalitas. Saya ingin mengajak kita semua merenungkan: di zaman ketika perang tidak lagi menggunakan peluru, cara merebut wilayah pun telah berubah. Hari ini yang direbut bukanlah tanah, tapi pikiran.

Inilah bentuk baru peperangan yang oleh para ahli disebut sebagai New Cortex Warfare—perang terhadap kesadaran, perang terhadap persepsi, perang terhadap identitas. Ketika peta berubah tanpa narasi, ketika sejarah dibungkam oleh birokrasi, ketika rakyat terdiam karena tidak tahu harus bersuara ke mana, maka kita sedang mengalami bentuk paling diam dari penjajahan: penghapusan halus terhadap hak berpikir dan merasa sebagai bagian dari suatu daerah.

Aceh, sepanjang sejarahnya, tidak pernah tunduk kepada ketidakadilan tanpa suara. Maka hari ini, suara itu perlu kita bangkitkan kembali—bukan untuk mengancam, tapi untuk mengingatkan. Bahwa kami masih di sini. Bahwa anak-anak yang lahir di pulau-pulau itu adalah anak Aceh. Bahwa kami berhak untuk tahu, didengar, dan dihargai.

Saya mengajak pemerintah pusat untuk tidak sekadar melihat masalah ini sebagai data koordinat. Saya mengajak pemerintah provinsi untuk tidak menanggapi ini sebagai urusan kecil. Ini adalah soal daulat wilayah, daulat sejarah, dan yang paling penting: daulat psikologis masyarakat Aceh.

Jika negara ini hendak kuat, maka ia harus mulai dengan membangun kepercayaan. Dan kepercayaan itu tumbuh dari keadilan yang partisipatif, bukan keputusan yang sepihak.

 

Empat pulau telah dipisahkan dari Aceh secara administratif. Tapi dalam hati rakyatnya, pulau-pulau itu tetap rumah. Tetap milik Aceh. Dan ketika hati tidak bisa dihapus dari peta, maka perjuangan belum berakhir.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar