13 Juni 2025

Empat Pulau Dipindahkan karena Laut? Ini Salah Kaprah Hukum Laut

Empat Pulau Dipindahkan karena Laut? Ini Salah Kaprah Hukum Laut

Jakarta 13 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

 

Belum reda gema keberhasilan perdamaian Aceh yang telah berjalan hampir dua dekade, publik kembali diguncang dengan kabar mengejutkan: empat pulau yang selama ini berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, diklaim masuk ke wilayah Sumatera Utara. Alasan yang disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sungguh mengherankan—karena “belum adanya batas laut yang definitif.” Pernyataan ini tidak hanya menyesatkan secara hukum, tetapi juga berpotensi merusak tatanan keamanan dan kepercayaan masyarakat yang selama ini telah terjaga.

Laut Tidak Bisa Dimiliki Daerah

Perlu ditegaskan bahwa laut bukan objek yang dapat dimiliki oleh provinsi atau kabupaten. Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dan juga dalam sistem hukum nasional Indonesia, laut adalah domain publik nasional yang berada di bawah wewenang pemerintah pusat. Yang dapat dimiliki, dipetakan, dan ditentukan batasnya hanyalah wilayah daratan atau pulau, bukan laut terbuka.

Bahkan dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, pengelolaan ruang laut merupakan kewenangan eksklusif pemerintah pusat, bukan daerah. Jadi, menjadikan alasan “belum ada batas laut” untuk memindahkan pulau dari satu provinsi ke provinsi lain adalah salah kaprah hukum laut yang sangat fatal.

Yang Dipertaruhkan Lebih dari Sekadar Garis Peta

Empat pulau yang dimaksud—Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Nenek—selama ini dikelola, dilayani, dan diawasi oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Tidak ada kekacauan, tidak ada ketegangan. Semua berjalan baik dalam kerangka perdamaian pasca konflik yang telah dibangun dengan susah payah sejak MoU Helsinki 2005 dan dikokohkan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dengan demikian, memindahkan wilayah tersebut tanpa proses legislasi, tanpa persetujuan rakyat Aceh, tanpa konsultasi dengan DPR Aceh, adalah tindakan yang tidak hanya ceroboh, tetapi juga melukai keadilan prosedural dan substansial.

Implikasi Keamanan yang Diabaikan

Dalam konteks keamanan, wilayah perbatasan yang stabil adalah prasyarat mutlak. Kebijakan sepihak seperti ini hanya akan menciptakan ketegangan baru. Apa yang selama ini damai bisa berubah menjadi potensi konflik horizontal. Pemerintah pusat semestinya menjaga harmoni, bukan menciptakan friksi administratif yang bisa berkembang menjadi ketegangan sosial dan politik.

Jangan Rusak Perdamaian karena Peta yang Keliru

Aceh adalah daerah yang memiliki otonomi khusus, dijamin oleh perjanjian internasional dan undang-undang nasional. Pemindahan empat pulau dengan alasan “batas laut” jelas bertentangan dengan semangat rekonsiliasi dan penghormatan terhadap kekhususan Aceh. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan membuka ruang delegitimasi terhadap kesepakatan damai dan memperlebar jurang antara pusat dan daerah.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, seharusnya meluruskan kebijakan ini dan menghentikan proses pemindahan wilayah yang tidak berdasarkan hukum. Alih-alih memaksakan alasan teknis yang keliru, yang dibutuhkan adalah pendekatan dialogis, partisipatif, dan menghormati hukum yang berlaku. Karena jika keadilan dan hukum mulai dikalahkan oleh peta dan birokrasi, maka bukan hanya pulau yang hilang, tetapi juga kepercayaan rakyat.

*)KABAIS TNI 2011-2013

 

2 komentar:

  1. Sepakat dgn pak Ponto, pembuat kebijakan sepertinya malas membaca ttg sejarah Aceh..Minimal baca itu MoU Helsinki ttg apa yg dilakukan antara kedua pihak utk perdamaian di Aceh. Salam damai

    BalasHapus
  2. Jangan usik damai aceh dengan hal² kecil

    BalasHapus