Masa Kelabu Setelah KUHAP Disahkan: Ketika Petunjuk dan Keterangan Ahli Menjadi Alat Utama untuk Menghukum
Jakarta 6 Juni 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Revisi Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) membuka pintu lebar bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman hanya dengan dua alat bukti apa pun yang diikuti oleh keyakinan subjektif hakim. Petunjuk (circumstantial evidence) dan keterangan ahli kini dapat berdiri berdampingan dan cukup kuat untuk menghantar seseorang ke balik jeruji, meskipun tanpa saksi langsung, tanpa bukti materiel yang pasti.
Contoh yang paling mencolok adalah kasus Jessica Kumala Wongso dalam perkara kematian Wayan Mirna Salihin tahun 2016. Dalam kasus itu, tak ada saksi yang melihat langsung Jessica memasukkan racun. Tidak ditemukan sidik jari, tidak ditemukan rekaman saat racun dimasukkan ke dalam gelas. Namun Jessica tetap dijatuhi hukuman penjara 20 tahun. Dasarnya? Analisa ahli forensik, psikolog forensik, serta rekaman CCTV yang ditafsirkan sebagai petunjuk — tanpa konfirmasi faktual yang pasti. Inilah contoh penghukuman berbasis opini dan asumsi. Jika KUHAP baru diberlakukan dengan mekanisme ini, maka kasus Jessica akan menjadi pola, bukan pengecualian.
Lebih jauh lagi, sistem pembuktian seperti ini tidak hanya merusak keadilan secara yuridis, tapi juga melanggar nilai-nilai dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, serta bertentangan dengan ajaran moral agama. Berikut adalah analisis setiap sila Pancasila, disandingkan dengan ayat Al-Qur’an dan Alkitab untuk menunjukkan bahwa penghukuman tanpa kepastian adalah penghinaan terhadap iman, akal sehat, dan martabat bangsa.
1. Sila Pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa
Al-Qur’an – QS An-Nur (24): 4
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik… tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.”
Alkitab – Ulangan 19:15
“Satu orang saksi saja tidak cukup untuk menyatakan bersalah seseorang… harus ada dua atau tiga saksi.”
Analisis:
Jika penghukuman dilakukan hanya karena keyakinan pribadi hakim atas hasil tafsir petunjuk dan pendapat ahli, itu bertentangan dengan ajaran kitab suci. Hukum yang berlandaskan iman tidak memperbolehkan vonis tanpa pembuktian yang pasti dan adil. KUHAP baru telah membuka jalan penghukuman yang tidak mencerminkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Al-Qur’an – QS Al-Isra’ (17): 36
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya…”
Alkitab – Amsal 17:15
“Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, kedua-duanya adalah kekejian bagi TUHAN.”
Analisis:
Penghukuman tanpa dasar bukti yang pasti adalah bentuk perlakuan yang tidak adil. Ia merusak kemanusiaan. Sistem ini memungkinkan seseorang dipenjara berdasarkan tafsir yang tidak dapat diverifikasi secara objektif. Ini menggugurkan asas peradaban hukum dan mengkhianati sila kemanusiaan yang adil dan beradap.
3. Sila Ketiga – Persatuan Indonesia
Al-Qur’an – QS Ali Imran (3): 103
“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…”
Alkitab – 1 Korintus 1:10
“Supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu…”
Analisis:
Hukum yang diskriminatif, apalagi bisa dimanipulasi oleh yang punya akses ke ahli, akan memecah bangsa. Rakyat tidak akan percaya lagi kepada institusi hukum. Jika masyarakat kecil merasa hukum hanya berpihak kepada yang kuat, maka persatuan menjadi ilusi. RUU KUHAP yang melegitimasi tafsir subjektif dalam penghukuman akan menghancurkan kohesi nasional.
4. Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Al-Qur’an – QS Asy-Syura (42): 38
“...dan (bagi) orang-orang yang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah…”
Alkitab – Amsal 15:22
“Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak.”
Analisis:
Vonis pidana seharusnya lahir dari pertimbangan yang bijak, kolektif, dan terbuka. Tapi KUHAP baru menyerahkan semuanya pada “keyakinan hakim”. Ini menjadikan hakim sebagai penafsir tunggal kebenaran, bukan pemimpin musyawarah. Dampaknya adalah absolutisme hukum yang menjauh dari nilai demokrasi dan hikmah.
Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Al-Qur’an – QS An-Nisa (4): 135
“Tegakkanlah keadilan walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapa, atau kerabatmu…”
Alkitab – Imamat 19:15
“Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan... adililah sesamamu dengan kebenaran.”
Analisis:
Yang kuat bisa bayar banyak ahli. Yang lemah tidak. Bila opini ahli dijadikan alat bukti utama, maka keadilan hanya milik mereka yang mampu. KUHAP baru, bila tidak direvisi, akan meresmikan ketimpangan dalam peradilan. Maka keadilan sosial akan berubah menjadi slogan kosong belaka.
Penutup: Ketika KUHAP Bertentangan dengan Dasar Negara
Revisi KUHAP yang membolehkan hakim menjatuhkan pidana hanya dengan dua alat bukti apa pun, termasuk petunjuk (circumstantial evidence) dan keterangan ahli, bukan hanya berisiko melahirkan penghukuman yang tidak pasti dan tidak adil, tetapi juga telah melanggar ketentuan dasar negara Indonesia.
Pertama, KUHAP baru bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” — bukan menghukum warganya atas dasar dugaan dan asumsi.
Kedua, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil…”
KUHAP yang membolehkan penghukuman hanya dengan petunjuk dan tafsir ahli menghilangkan kepastian hukum yang adil. Ini adalah pelanggaran terang terhadap konstitusi.
Ketiga, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa:
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Tapi dengan dominasi keyakinan hakim atas bukti yang tak pasti, maka hukum berubah menjadi tafsir personal, bukan sistem objektif. Ini bukanlah praktik negara hukum, melainkan negara penafsiran—yang membuka jalan pada arbitrariness (kesewenang-wenangan).
RUU KUHAP yang disusun untuk menyempurnakan sistem hukum kita justru membawa ancaman baru: kriminalisasi berbasis dugaan. Kasus Jessica bukan akhir. Ia adalah awalan. Dengan disahkannya KUHAP seperti sekarang, masa kelabu keadilan Indonesia akan bermula.
Oleh karena itu, RUU KUHAP tidak hanya mengancam keadilan, tetapi juga mengkhianati amanat UUD 1945, nilai Ketuhanan, dan nilai kelima sila Pancasila. Maka, revisi menyeluruh terhadap sistem pembuktian dalam RUU KUHAP adalah suatu keharusan konstitusional dan kewajiban moral bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar