13 Juni 2025

Keputusan Mendagri Soal Empat Pulau: Ancaman Senyap terhadap Perdamaian Aceh

Keputusan Mendagri Soal Empat Pulau: Ancaman Senyap terhadap Perdamaian Aceh

Jakarta 13 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM,CPARB*)

Ketika konflik Aceh resmi berakhir pada 15 Agustus 2005 dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dunia menyambutnya sebagai kemenangan diplomasi atas peluru. Namun, perdamaian sejati tidak hanya diukur dari berhentinya senjata, melainkan dari konsistensi negara dalam menghormati komitmen hukum dan politik yang telah disepakati. Sayangnya, salah satu keputusan administratif terbaru dari pemerintah pusat justru berpotensi menjadi batu sandungan bagi perdamaian jangka panjang di Aceh.

Pada tahun 2025, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Nomor SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 Tahun 2025, yang menetapkan bahwa empat pulau kecil—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—yang selama ini menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, dialihkan ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini, meski tampak administratif, sesungguhnya bertentangan secara fundamental dengan MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Menabrak MoU Helsinki

MoU Helsinki dalam butir 1.1.2 dengan tegas menyatakan:

"Wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah yang selama ini dikenal sebagai Provinsi Aceh, termasuk wilayah administrasi kabupaten/kota yang ada."

Dengan redaksi tersebut, wilayah Aceh dikunci berdasarkan wilayah administratif yang berlaku saat MoU ditandatangani. Empat pulau yang kini dipindahkan jelas berada dalam wilayah administratif Aceh pada tahun 2005. Maka, keputusan Mendagri untuk mengeluarkan pulau-pulau tersebut dari Aceh jelas melanggar semangat dan isi kesepakatan damai internasional.

Melanggar UU Pemerintahan Aceh

Lebih lanjut, Pasal 4 UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan:

“Wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas darat, laut, dan udara, serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”

Penjelasan pasal tersebut mempertegas bahwa wilayah dimaksud adalah wilayah administratif Aceh pada saat undang-undang mulai berlaku. Artinya, setiap perubahan wilayah Aceh harus melalui mekanisme hukum yang sah dan melibatkan Pemerintah Aceh serta DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Pemindahan sepihak oleh Mendagri adalah tindakan non konstitusional dan ultra vires (melampaui kewenangan).

Ancaman Politik terhadap Perdamaian

Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, keputusan ini berpotensi menciptakan kegaduhan politik dan ketegangan sosial:

Menggerus kepercayaan masyarakat Aceh terhadap komitmen pemerintah pusat.

Membuka ruang politisasi isu wilayah yang dapat dimanfaatkan kelompok tertentu untuk membangkitkan narasi separatis.

Mengguncang legitimasi MoU Helsinki, yang selama ini menjadi landasan kepercayaan antara Jakarta dan Banda Aceh.

Pemerintah pusat seharusnya belajar dari sejarah konflik Aceh, bahwa ketidakadilan administratif dapat menjadi percikan awal ketegangan yang lebih besar.

Kepmendagri Harus Dibatalkan

Secara hukum, Keputusan Menteri tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan perjanjian damai yang diakui secara nasional dan internasional. Dalam asas hukum:

Lex superior derogat legi inferiori – aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah.

Pacta sunt servanda – perjanjian harus dihormati.

Oleh karena itu, Keputusan Mendagri Nomor SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 harus segera dicabut atau dibatalkan. Pembiaran atas keputusan ini sama saja dengan mengoyak kain perdamaian yang telah dijahit dengan susah payah.

Penutup

Perdamaian bukan sekadar kata dalam dokumen, melainkan komitmen yang harus dijaga dengan tindakan yang konsisten dan adil. Dalam konteks Aceh, menjaga batas wilayah sebagaimana disepakati dalam MoU dan UUPA bukan sekadar masalah teritorial, tapi soal harga diri dan penghormatan terhadap janji negara.

Jangan sampai kepentingan administratif jangka pendek mengorbankan stabilitas jangka panjang dan kepercayaan yang telah dibangun dengan darah, air mata, dan diplomasi. Jakarta harus mendengar, sebelum Aceh kembali bersuara dengan caranya sendiri.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar