29 Oktober 2024

Lampu Merah Kesatuan Bangsa Dimulai dengan Label Halal dan Non-Halal

Lampu Merah Kesatuan Bangsa Dimulai dengan Label Halal dan Non-Halal

 

Jakarta, 29 Oktober 2024
Oleh: Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)

 

Perkembangan regulasi terkait pemisahan logistik halal dan non-halal tampak semakin dominan di Indonesia dan negara-negara dengan populasi Muslim besar lainnya. Meskipun bertujuan melindungi konsumen Muslim, kebijakan ini berpotensi memicu segregasi sosial dan ekonomi yang berbahaya bagi kesatuan bangsa dalam jangka panjang. Menggunakan teori hukum, filsafat hukum, dan teori ekonomi, kita bisa menganalisis bagaimana pemisahan ini, jika tidak dikendalikan dengan bijak, akan berdampak negatif terhadap integrasi nasional.

 

Tahap Pertama: Pemisahan pada Barang Konsumsi dengan Label Halal

Awalnya, pemisahan dilakukan dengan memberi label halal pada produk makanan dan minuman yang memenuhi kriteria kehalalan. Meski terlihat sebagai upaya positif, langkah ini memiliki implikasi dalam perspektif teori hukum. Teori Keadilan Distributif dari Aristoteles menekankan bahwa keadilan dalam distribusi harus merata untuk seluruh masyarakat. Ketika label halal dan non-halal menjadi norma, distribusi barang tidak lagi merata karena ada kecenderungan untuk memisahkan barang berdasarkan agama, bukan pada kebutuhan yang universal. Dalam teori hukum, prinsip Kesetaraan dan Non-Diskriminasi mengharuskan akses yang sama terhadap sumber daya. Namun, pemisahan ini memperkenalkan bentuk diskriminasi dalam rantai distribusi barang yang bisa memecah bangsa.

 

Tahap Kedua: Pemisahan pada Kontainer dan Logistik Halal

Setelah barang konsumsi, muncul tuntutan untuk menyediakan moda transportasi khusus untuk barang halal agar tidak tercampur dengan yang non-halal. Kebijakan ini semakin mendalam dengan keharusan memisahkan kontainer dan kendaraan pengangkut. Dalam filsafat hukum, konsep Utilitarianisme oleh Jeremy Bentham mengusulkan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun, kebijakan pemisahan ini hanya memberikan manfaat terbatas dan memperburuk keterpisahan sosial di negara yang pluralistik.

 

Tahap Ketiga: Pembentukan Regulasi Terpisah

Untuk menjaga pemisahan ini, regulasi khusus halal diperluas hingga aturan logistik yang berbeda. Teori hukum Fragmentasi Hukum menunjukkan bahwa sistem hukum yang terpecah akan rentan terhadap ketidakefisienan dan ketidakadilan. Pemisahan regulasi ini menciptakan “segregasi regulasi” yang melibatkan birokrasi terpisah, mengakibatkan “dualitas regulasi” yang melemahkan efektivitas pemerintahan.

 

Tahap Keempat: Pengaruh pada Struktur Pemerintahan

Jika pemisahan ini semakin meluas, maka akan dibentuk institusi khusus dalam pemerintahan, seperti badan sertifikasi halal yang lebih besar dan unit pengawasan produk halal. Dalam filsafat hukum, konsep Keutuhan dalam Pemerintahanmengajarkan bahwa suatu negara harus memiliki kesatuan dalam kebijakan. John Locke, melalui teori kontrak sosialnya, menekankan bahwa pemerintah melayani kepentingan umum. Pemisahan ini dapat menciptakan konflik antara lembaga-lembaga pemerintahan, memperlemah kesatuan sosial, dan memperburuk segregasi.

 

Tahap Kelima: Pemisahan dalam Masyarakat dan Potensi Polarisasi Sosial

Pemisahan halal dan non-halal bisa merembet menjadi pemisahan sosial. Perbedaan standar konsumsi berdasarkan label ini dapat memperdalam segregasi. Dalam filsafat hukum, prinsip Kesetaraan Substansial oleh John Rawls mengajarkan bahwa kesetaraan sejati memastikan tidak ada pihak yang mengalami ketidakadilan karena latar belakang tertentu. Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan kecil dalam budaya dan agama, seperti di Sudan dan Sudan Selatan, dapat berkembang menjadi ketidakpuasan dan akhirnya perpecahan. Kebijakan yang awalnya bertujuan baik bisa memicu perpecahan bangsa.

 

Dampak Ekonomi: Label Halal yang Mahal Mempercepat Pemisahan Sosial

Label halal yang dijual dengan harga tinggi menciptakan masalah tambahan. Biaya sertifikasi yang tinggi membuat produk halal lebih mahal, membebani produsen dan konsumen. Teori Eksternalitas Biaya Produksi dalam ekonomi menunjukkan bahwa biaya sertifikasi halal menjadi beban tambahan yang akhirnya ditanggung konsumen. Dalam teori ekonomi, Elastisitas Permintaan menjelaskan bahwa kenaikan harga menyebabkan penurunan permintaan, khususnya pada produk non-esensial. Tetapi bagi konsumen Muslim, kebutuhan terhadap label halal sering kali mengalahkan harga. Ini mempercepat ketidaksetaraan ekonomi, dengan produk halal menjadi lebih sulit dijangkau oleh kelompok ekonomi bawah.

 

Percepatan Pemisahan Sosial dan Ekonomi Akibat Harga Sertifikasi Halal yang Tinggi

Harga yang mahal mempercepat proses pemisahan sosial. Produk halal yang lebih mahal menciptakan Efek Segregasi Harga yang memisahkan masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi. Kelompok yang mampu dapat mengakses produk halal, sementara yang kurang mampu terdorong pada produk non-halal. Ini memperburuk ketimpangan, menguatkan segregasi pasar dan menghambat daya saing produk lokal.

 

Dampak pada Daya Saing dan Kemandirian Ekonomi

Biaya tinggi pada sertifikasi halal juga menurunkan daya saing produk lokal dan mengancam kemandirian ekonomi. Teori Keunggulan Komparatif dalam ekonomi menyatakan bahwa negara yang memiliki keunggulan ini akan mampu memproduksi barang dengan harga lebih rendah dan kualitas lebih tinggi. Tetapi dengan adanya label halal yang mahal, keunggulan ini berkurang, dan produsen lokal yang tidak mampu membayar sertifikasi akan kalah bersaing. Kondisi ini meningkatkan ketergantungan pada produk impor, mengancam kemandirian ekonomi, dan menciptakan efek jangka panjang yang merugikan.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Regulasi yang Inklusif dan Terpadu

Dalam perspektif hukum dan ekonomi, label halal yang mahal mempercepat proses segregasi. Penggunaan prinsip Keadilan Distributif dalam filsafat hukum dan Segregasi Pasar dalam ekonomi menunjukkan bahwa biaya sertifikasi halal yang tinggi berpotensi menciptakan jurang sosial dan ekonomi yang dalam. Pemerintah perlu menerapkan regulasi yang menjaga agar biaya sertifikasi halal tetap wajar agar tidak memberatkan produsen dan konsumen.

Dengan pendekatan yang lebih terpadu dan adil, pemerintah dapat memastikan bahwa kebutuhan terhadap label halal tetap terpenuhi tanpa mengorbankan kesatuan bangsa dan kestabilan ekonomi. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap integrasi sosial, mengingat bahwa pemisahan yang berlebihan, meski dimulai dari label halal dan non-halal, bisa menjadi “lampu merah” bagi kesatuan bangsa di masa depan.


*) Kabais TNI 2011-2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar