14 Oktober 2024

Pertentangan SOP Koordinasi dengan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan KUHAP dalam Penegakan Hukum di Laut: Dampak Terhadap Kepastian Hukum dan Operasional Pelayaran

Pertentangan SOP Koordinasi dengan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan KUHAP dalam Penegakan Hukum di Laut: Dampak Terhadap Kepastian Hukum dan Operasional Pelayaran

Jakarta 14 Oktober 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)

 

Pendahuluan.

Penegakan hukum di laut Indonesia diatur oleh berbagai regulasi, salah satunya adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang telah mengalami revisi pada beberapa pasalnya (Pasal 276-281). Revisi ini memperjelas bahwa tugas pengawasan dan penegakan hukum di bidang pelayaran menjadi kewenangan tunggal Kementerian Perhubungan (Kemhub) melalui Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP)

Namun, pada hari ini tanggal 14 Oktober 2024, Kemenkomarvest telah menerbitkan SOP Koordinasi pemeriksaan kapal yang melibatkan berbagai instansi seperti TNI AL, Polri, Bakamla, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Untuk diketaui bahwa pada pelaksanaan pemeriksaan kapal, sejak kapal diberhentikan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) langsung berlaku, sehingga prosedur pemeriksaan selnjutnya wajib mengikuti prosedur yang diatur oleh KUHAP.

SOP Koordinasi Pemeriksaan Kapal bukanlah bagian dari hukum acara yang sah, dan pelaksanaannya dapat dianggap bertentangan dengan KUHAP. Selain itu, revisi UU 17/2008 memberikan kewenangan tunggal kepada KPLP untuk pengawasan dan penegakan peraturan terkait pelayaran. Itulah sebabnya SOP Koordinasi yang bertentangan dengan KUHAP dan UU 17/2008 dapat diabaikan.

Artikel ini akan membahas pertentangan tersebut, dampaknya terhadap kepastian hukum, serta alasan mengapa SOP Koordinasi tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang, khususnya dalam kaitannya dengan UU No. 17/2008 dan KUHAP.

 

1. Pertentangan Antara SOP Koordinasi dan UU No. 17/2008

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008, khususnya setelah revisi, memberikan kewenangan yang jelas dan tegas kepada Menteri Perhubungan melalui KPLP untuk mengawasi dan menegakkan hukum di bidang pelayaran. Revisi Pasal 276 hingga Pasal 281 menegaskan bahwa:

  • Pasal 276: Menteri Perhubungan memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait pelayaran, mencakup keselamatan, keamanan, serta pencegahan pencemaran di laut.
  • Pasal 277: KPLP bertugas melakukan pengawasan atas keselamatan pelayaran, keamanan kapal, dan pencegahan pencemaran.
  • Pasal 278: Penyidikan di bidang pelayaran dilakukan oleh PPNS dari Kementerian Perhubungan, yaitu KPLP.

 

Namun, SOP Koordinasi berupaya mengatur keterlibatan instansi lain yang merasa memiliki kewenangan untuk mengawasi kapal dan menegakkan hukum di laut. Hal ini menimbulkan tumpang tindih kewenangan, yang bertentangan langsung dengan UU No. 17/2008. 

KPLP, yang seharusnya memegang kewenangan tunggal, justru diganggu oleh instansi lain yang mengklaim hak untuk menghentikan dan memeriksa kapal berdasarkan kewenangan masing-masing Undang-undang sektoral.

 

2. Akibat Tumpang Tindih Kewenangan: Ketidakpastian Hukum dan Gangguan Operasional

Pertentangan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak negatif pada operasional pelayaran. Kapal-kapal yang seharusnya hanya diawasi oleh KPLP dapat dihentikan dan diperiksa oleh berbagai instansi, seperti TNI AL, Polri, Bakamla, dan KKP berdasarkan kewenangan Undang-undang sektoralnya sendiri. Dampaknya meliputi:

  • Gangguan Operasional Pelayaran: Kapal-kapal niaga yang melintasi perairan Indonesia menjadi target pemeriksaan yang berulang oleh berbagai pihak, menyebabkan penundaan, peningkatan biaya logistik, dan kerugian bagi perusahaan pelayaran serta pengguna jasa transportasi laut.
  • Kenaikan Biaya Logistik dan Operasional: Setiap kali kapal dihentikan dan diperiksa, waktu dan biaya yang terbuang menjadi beban bagi pemilik kapal dan pengguna jasa. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan harga barang yang diangkut melalui laut.
  • Tidak Jelasnya Batasan Kewenangan: Ketidakjelasan dalam SOP Koordinasi menyebabkan kebingungan antar instansi, menimbulkan konflik internal, serta menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

 

3. SOP Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Setara Undang-Undang.

SOP Koordinasi, meskipun mungkin dibuat oleh lembaga pemerintah untuk meningkatkan koordinasi, tidak memiliki kekuatan hukum setara dengan undang-undang. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, SOP bukanlah produk hukum yang dapat mengesampingkan undang-undang. Ketika SOP bertentangan dengan UU No. 17/2008 dan KUHAP, maka SOP tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum dalam penegakan hukum di laut.

 

4. Kewenangan Masing-Masing Instansi Sesuai UU yang Berlaku.

Setiap instansi memiliki UU sektoral yang mengatur kewenangan mereka:

  • TNI AL: Bertugas menjaga kedaulatan negara.
  • Polri: Menegakkan hukum pidana.
  • Bakamla: Melaksanakan Patroli.
  • KPLP: Mengawasi dan menegakkan hukum terkait pelayaran.
  • PSDKP : Bertugas mengawai penangkapan ikan

 

Jika setiap instansi menjalankan tugas sesuai dengan UUnya masing-masing, tidak akan ada tumpang tindih kewenangan yang mengganggu pelayaran. UU No. 17/2008 telah memberikan mandat jelas bahwa pengawasan dan penegakan hukum terkait pelayaran adalah kewenangan Kementerian Perhubungan melalui KPLP.

 

5. Tugas dan Pihak-pihak yang Terlibat dan SOP Pemeriksaan Kapal.

Pihak Kesatu: Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves)

    • Tugas: Melaksanakan sinkronisasi, koordinasi, pengendalian perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari Kesepakatan Bersama ini.
    • Pertentangan:
      • UU 17/2008 (Revisi Pasal 276-281) memberikan kewenangan tunggal kepada Kementerian Perhubungan (Kemhub) untuk pengawasan dan penegakan hukum di bidang pelayaran. Kemenko Marves tidak memiliki kewenangan langsung di bidang pelayaran sehingga tugas sinkronisasi terkait pelaksanaan di lapangan justru menimbulkan tumpang tindih dengan tugas Kemhub/KPLP.
      • KUHAP tidak menyebutkan peran Kemenko Marves dalam penegakan hukum pelayaran, sehingga tugas yang diberikan bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam KUHAP.

 

Pihak Kedua: Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam)

    • Tugas: Melaksanakan koordinasi pemantauan dan evaluasi dalam Forum Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia (KKPH).
    • Pertentangan:
      • UU 17/2008 tidak menempatkan Kemenko Polhukam sebagai otoritas yang dapat melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan penegakan hukum di bidang pelayaran. Koordinasi antar instansi sebenarnya sudah diatur dalam mekanisme UU tersebut, dan ini menjadi kewenangan Kemhub melalui KPLP.
      • KUHAP menempatkan tugas ini di bawah Kemhub dan otoritas penegak hukum terkait, bukan Kemenko Polhukam.

 

Pihak Ketiga: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

    • Tugas: Pengawasan dan penegakan hukum di bidang sumber daya kelautan dan perikanan serta menyediakan akses data dan informasi terkait kapal perikanan.
    • Pertentangan:
      • Tugas KKP di bidang perikanan memang sesuai dengan UU yang berlaku, tetapi pelaksanaan pengawasan kapal secara keseluruhan adalah kewenangan Kemhub melalui KPLP sesuai dengan Revisi Pasal 276-281 UU 17/2008. Pengawasan kapal perikanan tetap di bawah kendali Kemhub untuk aspek keselamatan pelayaran.

 

Pihak Keempat: Kementerian Perhubungan (Kemhub)

    • Tugas: Pengawasan, pengamanan, dan penegakan hukum di bidang pelayaran serta menyediakan akses interoperabilitas data dan informasi terkait dokumen pelayaran dan kelaiklautan kapal melalui aplikasi Monitoring Inaportnet dan I-Motion.
    • Pertentangan: Tidak ada pertentangan karena kewenangan Kemhub diakui sepenuhnya sesuai dengan Revisi Pasal 276-281 UU 17/2008.

 

Pihak Kelima: Kementerian Keuangan (Kemenkeu)

    • Tugas: Pengawasan dan penegakan hukum di bidang kepabeanan, cukai, dan peraturan perundang-undangan lainnya serta menyediakan akses interoperabilitas data dan informasi terkait Vessel Declaration.
    • Pertentangan: Peran Kemenkeu dalam hal kepabeanan adalah sah, namun terkait pengawasan kapal secara keseluruhan harus diserahkan kepada Kemhub, terutama terkait aspek keselamatan pelayaran sesuai UU 17/2008.


Pihak Keenam: Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)

    • Tugas: Pengawasan dan penegakan hukum di bidang keimigrasian serta menyediakan akses data dan informasi terkait orang masuk atau keluar wilayah Indonesia.
    • Pertentangan: Tidak ada pertentangan langsung, namun pengawasan kapal tetap berada di bawah KPLP.

 

Pihak Ketujuh: Tentara Nasional Indonesia (TNI)

    • Tugas: Penegakan kedaulatan dan hukum serta menjaga keamanan di Wilayah Perairan Indonesia dan Yurisdiksi Indonesia berdasarkan hukum nasional maupun internasional.
    • Pertentangan:
      • UU 17/2008 mengatur bahwa TNI tidak memiliki peran dalam pengawasan kapal yang berkaitan dengan aspek pelayaran. Tugas TNI lebih terkait dengan pertahanan negara. Setiap tindakan terhadap kapal harus sesuai dengan koordinasi Kemhub.

 

Pihak Kedelapan: Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

    • Tugas: Penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban masyarakat serta memberikan perlindungan di Wilayah Indonesia.
    • Pertentangan:
      • Pasal 276 Revisi UU 17/2008 telah menegaskan bahwa kewenangan penegakan hukum di laut terkait kapal ada di Kemhub/KPLP, sehingga peran Polri dalam penegakan hukum di bidang pelayaran menjadi tidak relevan dalam konteks ini.

 

Pihak Kesembilan: Badan Keamanan Laut (Bakamla)

    • Tugas: Melaksanakan patroli keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di Wilayah Perairan Indonesia serta menyediakan koordinasi antar personel patroli.
    • Pertentangan:
      • Bakamla bertindak di luar mandat yang diberikan oleh UU 32/2014 tentang Kelautan. Kewenangan untuk penegakan hukum pelayaran berada di bawah Kemhub dan KPLP, bukan di Bakamla.

 

6. Pertentangan Umum

  1. Lex Superior Derogat Legi Inferiori:
    • Dalam kasus ini, UU 17/2008 yang telah direvisi memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan lain, sehingga kewenangan KPLP dalam mengawasi dan menegakkan hukum pelayaran tidak boleh diganggu oleh instansi lain yang tidak diatur dalam UU tersebut.
  2. Lex Specialis Derogat Legi Generali:
    • UU 17/2008 adalah lex specialis dalam urusan pelayaran, dan dengan demikian tugas-tugas yang diatur dalam final draft bertentangan dengan prinsip lex specialis yang menjadikan Kemhub sebagai otoritas tunggal dalam pengawasan dan penegakan hukum di bidang pelayaran.

 

7. Kewajiban untuk Mengikuti UU 17/2008 dan KUHAP.

Menurut asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, peraturan yang lebih tinggi (dalam hal ini UU 17/2008 dan KUHAP) mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, seperti SOP Koordinasi. Oleh karena itu, SOP tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila bertentangan dengan UU 17/2008 dan KUHAP. Setiap pihak yang terlibat dalam penegakan hukum di laut harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam UU tersebut. SOP Koordinasi, yang bertentangan dengan UU 17/2008, tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penegakan hukum di laut.

Selain itu, sesuai dengan prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali, UU 17/2008 sebagai aturan khusus di bidang pelayaran harus diutamakan dibandingkan aturan umum lainnya. Oleh karena itu, instansi seperti TNI AL, Polri, Bakamla, dan lainnya harus menjalankan tugas mereka sesuai dengan undang-undang sektoral yang mengatur masing-masing kewenangan, bukan mengintervensi kewenangan yang sudah diatur dalam UU 17/2008. Dalam hal ini, KPLPsebagai otoritas tunggal berwenang untuk menegakkan hukum terkait keselamatan dan keamanan pelayaran.

 

8. KUHAP dan Peran dalam Penegakan Hukum

Dalam penegakan hukum, KUHAP juga memberikan peran yang jelas kepada pejabat penyidik, di mana penyidik di bidang pelayaran adalah PPNS Hubla (KPLP) sesuai dengan Pasal 278 UU 17/2008. Oleh karena itu, instansi lain yang tidak memiliki kewenangan dalam bidang pelayaran tidak dapat serta merta melakukan penyidikan atau pemeriksaan terhadap kapal yang berlayar tanpa adanya pelanggaran pidana yang nyata.

SOP Koordinasi yang mengatur keterlibatan banyak pihak dalam penegakan hukum di laut berpotensi melanggar asas Lex Specialis dan KUHAP karena tidak memberikan kejelasan mengenai batas kewenangan masing-masing instansi, terutama terkait penanganan kapal di laut. Padahal, UU 17/2008 telah menegaskan bahwa kewenangan penuh ada pada KPLP.

 

9. Pra Peradilan

  • Tindakan penegakan hukum yang dilakukan di luar kewenangan yang diberikan dalam Pasal 276-281 dapat diajukan untuk pra peradilan. Misalnya, jika TNI AL atau Polri menangkap atau menahan kapal tanpa mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU Pelayaran yang telah direvisi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan pra peradilan untuk menantang keabsahan tindakan tersebut berdasarkan KUHAP. Ketidaksesuaian dengan aturan hukum ini dapat menyebabkan tindakan yang dilakukan dianggap tidak sah oleh pengadilan.

 

10. Konsekuensi Pelanggaran Hukum

  • Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan (lex superior derogat legi inferiori), revisi UU No. 17 Tahun 2008 yang diundangkan pada 2019 lebih tinggi kedudukannya daripada undang-undang yang memberi kewenangan penyidikan kepada TNI AL atau Polri terkait pelanggaran di laut. Dengan demikian, penegakan hukum yang dilakukan tanpa kewenangan khusus dari UU yang berlaku bisa dianggap tidak sah dan batal demi hukum.

 

11. Tanggapan Terhadap Pasal 9 Ayat 1 dan 5 SOP Pemeriksaan.

Pasal 9 ayat 1 dan 5 dalam Kesepakatan Bersama yang mengatur tentang pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan melalui Forum Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum (KKPH) serta penanganan pengaduan oleh pihak kesembilan (Bakamla) bertentangan dengan beberapa ketentuan hukum yang ada, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, serta tugas dan fungsi Bakamla yang diatur oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai pertentangan tersebut:

 

1. Pertentangan dengan KUHAP

  • KUHAP mengatur mekanisme penegakan hukum di Indonesia, termasuk tata cara penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pengadilan yang melibatkan aparat penegak hukum yang sah. Menurut KUHAP, tindakan penyelidikan dan penyidikan di laut, termasuk terhadap pengaduan nakhoda atau operator kapal, hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang di bidang pelayaran atau aparat penegak hukum lain yang berwenang, seperti Polri atau PPNS Hubla yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.
  • Pasal 9 ayat 5 memberi kewenangan kepada Bakamla selaku "Ketua Tim Pelaksana Forum KKPH" untuk menindaklanjuti pengaduan. Padahal, Bakamla tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik menurut KUHAP. Tindakan ini dapat dianggap melanggar ketentuan yang diatur oleh KUHAP, karena Bakamla hanya memiliki tugas patroli, bukan sebagai aparat penyidik.

 

2. Pertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

  • UU No. 17 Tahun 2008 (revisi Pasal 276-281) memberikan kewenangan tunggal kepada Kementerian Perhubungan melalui KPLP untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang pelayaran. Ini mencakup segala bentuk pengawasan keselamatan pelayaran, keamanan kapal, serta penanganan pelanggaran yang melibatkan kapal niaga dan pelayaran.
  • Pasal 9 ayat 1 yang mengatur pemantauan dan evaluasi melalui mekanisme Forum KKPH dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan, karena tugas pemantauan dan evaluasi terkait keselamatan pelayaran sudah diatur secara eksklusif dalam UU No. 17/2008 sebagai kewenangan KPLP. Memberi kewenangan tambahan kepada Bakamla untuk menangani pengaduan yang bersifat penyidikan terhadap kapal niaga, seperti dalam Pasal 9 ayat 5, jelas bertentangan dengan UU 17/2008 karena Bakamla tidak memiliki wewenang dalam penegakan hukum pelayaran.

 

3. Pertentangan dengan Tugas dan Fungsi Bakamla Menurut UU No. 32 Tahun 2014

  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan mengatur bahwa Bakamla bertugas melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia, tetapi Bakamla tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik. Tugas Bakamla terbatas pada pelksanaan patroli saja. yang tidak melibatkan tugas penyidikan.
  • Dalam Pasal 9 ayat 5, Bakamla diberi kewenangan untuk menindaklanjuti pengaduan, yang mengindikasikan adanya fungsi investigasi atau penindakan, yang sebenarnya bukan kewenangan mereka. Ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2014 yang mengatur bahwa Bakamla hanya bertindak dalam kapasitas patroli, bukan sebagai penyidik atau pelaksana penegakan hukum di bidang pelayaran.

4. Kemungkinan Proses Pra Peradilan

  • Pasal 9 ayat 5 yang memberikan kewenangan kepada Bakamla untuk menangani pengaduan terkait pelayaran dapat menjadi objek pra peradilan. Menurut KUHAP, tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dapat dipermasalahkan secara hukum melalui pra peradilan.
  • Jika Bakamla melakukan penangkapan, penahanan, atau tindakan penegakan hukum lain yang melibatkan kapal niaga, pemilik kapal atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan pra peradilan karena tindakan tersebut dilakukan oleh lembaga yang tidak memiliki kewenangan penyidikan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

 

Sangat jelas bahwa Pasal 9 ayat 1 dan 5 dalam Kesepakatan Bersama bertentangan dengan KUHAPUU No. 17/2008 tentang Pelayaran, dan tugas serta fungsi Bakamla yang diatur oleh UU No. 32/2014 tentang Kelautan. Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti pengaduan terkait pelanggaran pelayaran, dan tindakan ini dapat dipermasalahkan melalui pra peradilan. Kewenangan penegakan hukum di bidang pelayaran harus tetap berada di bawah KPLP dan penyidik yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

12. Kesimpulan: 

SOP Koordinasi dapat diabaikan karena tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang dan pelaksanannya menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang mengganggu pelayaran. Penegakan hukum di laut yang menyangkut kapal yang berlayar mutlak harus berpedoman pada UU No. 17/2008, yang telah memberikan kewenangan eksklusif kepada Kementerian Perhubungan melalui KPLP untuk mengawasi dan menegakkan hukum terkait pelayaran. Setiap instansi harus fokus pada kewenangan mereka masing-masing sesuai undang-undang sektoral. Dengan demikian, kepastian hukum akan terjaga, dan kegiatan pelayaran di perairan Indonesia dapat berjalan lancar tanpa gangguan yang tidak perlu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar