Tinjauan Hukum: Kesalahan Bakamla dalam Menafsirkan Pelanggaran di Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS dan Implikasinya Terhadap Citra Indonesia
Jakarta 22 Oktober 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)
Pada tanggal 21/10 2024, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI menggunakan KN Tanjung Datu 301 mengusir kapal Coast Guard China (CCG) yang menurut Bakamla masuk serta mengganggu kegiatan survei dan pengolahan data seismik 3D Arwana di Laut Natuna Utara[1].
Tindakan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dalam mengusir kapal Coast Guard China (CCG) di Laut Natuna Utara baru-baru ini menjadi perhatian internasional. Langkah tersebut menunjukkan kekeliruan dalam penerapan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Kesalahan ini tidak hanya mencerminkan ketidaktahuan tentang hukum laut internasional, tetapi juga berpotensi mempermalukan Indonesia di mata dunia. Artikel ini mengurai secara sistematis kesalahan yang dilakukan Bakamla dalam menafsirkan pelanggaran di landas kontinen dan dampaknya terhadap reputasi Indonesia.
1. Kekeliruan dalam Memahami Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Kebebasan Navigasi
Menurut UNCLOS, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah wilayah sejauh 200 mil laut dari garis pangkal pantai negara pantai, di mana negara tersebut memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Namun, di ZEE, kapal asing tetap memiliki hak kebebasan navigasi (freedom of navigation) selama mereka tidak terlibat dalam kegiatan yang mengganggu atau mengancam keamanan dan ketertiban negara pantai.
Dalam kasus di Laut Natuna Utara, Bakamla mengklaim bahwa kehadiran kapal CCG merupakan pelanggaran di landas kontinen Indonesia. Namun, jika kapal CCG hanya berada di ZEE tanpa melakukan aktivitas eksploitasi atau operasi militer yang mengancam, mereka sebenarnya masih berada dalam hak freedom of navigation yang diatur oleh UNCLOS. Tindakan Bakamla yang mengusir kapal CCG tanpa alasan yang jelas merupakan kekeliruan karena mengabaikan hak kebebasan navigasi yang diatur untuk kapal asing di ZEE. Kesalahan ini menunjukkan kurangnya pemahaman Bakamla terhadap aturan internasional dan dapat dilihat sebagai tindakan sewenang-wenang di mata dunia.
2. Keliru dalam Mengaitkan Innocent Passage dengan ZEE
Salah satu kesalahan signifikan yang dilakukan Bakamla adalah menganggap bahwa prinsip innocent passage berlaku di ZEE. Dalam UNCLOS, innocent passage hanya berlaku di laut teritorial, yaitu wilayah perairan sejauh 12 mil laut dari garis pangkal pantai negara pantai. Innocent passage memberikan hak bagi kapal asing untuk melintas secara damai di perairan laut teritorial, selama tidak melakukan aktivitas yang mengganggu keamanan atau ketertiban negara pantai.
ZEE bukanlah laut teritorial, dan oleh karena itu, prinsip innocent passage tidak dapat diterapkan di sana. Sebaliknya, ZEE memberikan kebebasan bagi kapal asing untuk melakukan navigasi dan penerbangan sesuai dengan hak freedom of navigation. Bakamla keliru dengan menganggap bahwa kapal CCG melanggar prinsip innocent passage di ZEE, padahal hak tersebut tidak relevan di wilayah tersebut. Kesalahan interpretasi ini dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap profesionalisme aparat keamanan Indonesia di tingkat internasional.
3. Ketidaktepatan dalam Menilai Pelanggaran di Landas Kontinen
Bakamla juga menyebut bahwa kapal CCG melanggar landas kontinen Indonesia di Laut Natuna Utara. Dalam UNCLOS, landas kontinen adalah perpanjangan alami dari daratan di bawah laut yang dapat melampaui 200 mil laut. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di landas kontinen, tetapi ini tidak berarti negara tersebut memiliki kedaulatan penuh atas permukaan air di atasnya. Hak kebebasan navigasi tetap berlaku di atas landas kontinen.
Jika kapal asing tidak terlibat dalam aktivitas eksploitasi atau gangguan terhadap hak berdaulat negara pantai atas sumber daya alam di landas kontinen, kehadiran kapal tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran. Bakamla seharusnya membedakan antara hak atas eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen dan hak kebebasan navigasi di perairan di atasnya. Tindakan pengusiran kapal asing tanpa adanya bukti eksploitasi atau pelanggaran hak berdaulat di landas kontinen merupakan kesalahan dalam penegakan hukum laut. Tindakan ini memperlihatkan Indonesia sebagai negara yang kurang memahami hukum internasional, yang bisa mencoreng citra bangsa di mata komunitas internasional.
4. Mengabaikan Pendekatan Diplomasi dan Resolusi Damai
Kesalahan lainnya adalah Bakamla tidak menggunakan pendekatan diplomatik sebelum melakukan tindakan pengusiran. UNCLOS menganjurkan negara-negara untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hak dan aktivitas di ZEE dan landas kontinen melalui jalur diplomatik dan mekanisme resolusi damai. Mengusir kapal asing tanpa klarifikasi atau negosiasi awal dapat meningkatkan ketegangan diplomatik dan menciptakan preseden yang merugikan Indonesia di masa mendatang.
Dengan tidak memanfaatkan mekanisme resolusi yang ada, Bakamla menunjukkan kurangnya pemahaman akan pendekatan yang diamanatkan UNCLOS untuk menjaga ketertiban dan keamanan di perairan internasional. Pendekatan agresif seperti ini, yang tidak sesuai dengan prinsip hukum laut internasional, dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang menghormati hukum internasional dan menjaga stabilitas di wilayahnya.
5. Citra Indonesia di Mata Internasional
Seluruh tindakan yang diambil oleh Bakamla dalam mengusir kapal CCG tanpa alasan yang jelas mencerminkan kesalahan dalam pemahaman hukum laut internasional. Kesalahan ini tidak hanya menciptakan ketegangan dengan negara lain, tetapi juga dapat mempermalukan Indonesia di tingkat internasional. Komunitas global yang berpatokan pada UNCLOS dapat melihat Indonesia sebagai negara yang tidak konsisten dan kurang profesional dalam mengelola dan mengawasi wilayah lautnya.
Tindakan Bakamla, jika tidak segera dikoreksi, berisiko memperkuat persepsi negatif ini dan melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi internasional, terutama dalam konteks sengketa maritim. Sebagai negara yang sering menekankan pentingnya menghormati hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa, Indonesia perlu memastikan bahwa aparatnya bertindak sesuai dengan standar internasional. Gagal melakukannya hanya akan merugikan kepentingan nasional dan mempermalukan Indonesia sebagai bangsa.
Kesimpulan
Tindakan Bakamla dalam mengusir kapal Coast Guard China di Laut Natuna Utara tidak sesuai dengan ketentuan UNCLOS mengenai freedom of navigation dan innocent passage. Pengusiran kapal asing tanpa bukti pelanggaran nyata atau aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang melanggar hak berdaulat Indonesia menunjukkan adanya kesalahan dalam menafsirkan hukum laut. Kesalahan ini tidak hanya berdampak negatif pada hubungan diplomatik dengan negara lain, tetapi juga berpotensi mempermalukan Indonesia di mata dunia, menimbulkan persepsi bahwa aparat keamanan Indonesia kurang memahami dan tidak mampu menegakkan hukum laut internasional secara profesional. Untuk menghindari hal tersebut, Bakamla perlu meningkatkan pemahaman dan kapabilitasnya dalam menerapkan UNCLOS secara tepat agar dapat melindungi kepentingan nasional tanpa melanggar prinsip hukum internasional serta menjaga citra dan reputasi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen pada stabilitas dan hukum internasional.
*) Kabais TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar