19 Agustus 2014

Tantangan Stabilitas Politik dan Pertahanan Pasca Kekalahan Prabowo-Hatta



Oleh Laksda TNI AL (Purn) Soleman B.Ponto ST, MH 

                                                              Kabais TNI 2011-2013

JAKARTA, 19 Agustus 2014. Salah satu isu yang sering diangkat salah satu pasangan capres/cawapres dalam masa kampanye Pilpres ialah lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan di masa pemerintahan Ibu Megawati Soekarnoputri. Dengan mengangkat isu ini, dimunculkan kekhawatiran ancaman keutuhan wilayah NKRI di masa mendatang.

Saat ini, dari sudut keutuhan wilayah, ada dua wilayah yang bila tidak diurus dengan baik dapat mengikuti jejak Sipadan dan Ligitan. Kedua wilayah itu adalah Aceh dan Papua. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam masalah Aceh, komitmen pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Aceh tetap dalam bingkai NKRI telah dituangkan dalam MoU Helsinki. Hanya sayangnya, sampai saat ini, sudah sembilan tahun sejak MoU Helsinki ditandatangani, masih ada beberapa janji Pemerintah Indonesia yang belum dilaksanakan, misalnya, Pembentukan Pengadilan HAM di Aceh.

5 Agustus 2014

Peran Intelijen TNI dalam Menumpas Aksi Teror di Indonesia

Ringkasan
Intelijen TNI dalam upaya pemberantasan aksi teror berperan mengidentifikasi pelaku aksi teror, melokalisir area, menentukan sasaran,  mengamankan lingkungan sekitar sasaran kemudian memberi informasi kepada unsur-unsur pemukul. Pasca tindakan eksekusi dilakukan,  aparat Intelijen tetap melakukan monitoring terhadap wilayah tersebut dan membantu masyarakat di wilayah itu untuk lebih peduli dalam menjaga keamanan lingkungannya.  Kondisi ini perlu dilaksanakan mengingat ruang gerak terorisme sebagian besar berada di bawah tanah dan ideologi mereka sulit untuk dihilangkan begitu saja.

Pada tanggal 11 September 2001 dunia dikejutkan dengan adanya serangan terhadap menara kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Arlington Amerika Serikat. Menyusul kemudian tidak ketinggalan pula Indonesia ikut diserang. Beberapa serangan aksi teror yang mengguncangkan masyarakat Indonesia antara lain Legian Bali yang dibom pada tanggal 12 Oktober 2002, teror bom buku serta bom bunuh diri yang dilakukan pada tanggal 15 April 2011, saat Sholat Jum’at di Mesjid Az-Dzikro di Markas Polresta Cirebon.

Sejak kejadian itu masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia tersadarkan bahwa ”aksi teror” adalah musuh bersama yang harus ditanggulangi bersama. Kesadaran itu pada akhirnya menggiring pemerintah Indonesia untuk menanggulangi aksi teror dengan membuat Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.

Dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada itu sudah banyak pelaku aksi teror yang ditangkap, diadili dan dihukum. Namun pada kenyataannya, aksi teror masih terus terjadi. Hal itu merupakan bukti bahwa aksi teror tidak bisa diberantas hanya dengan melakukan Penindakan, baik itu tindakan menangkap, menghukum bahkan membunuh para pelaku aksi teror, akan tetapi kegiatan Pencegahan tidak kalah pentingnya harus pula dilaksanakan.

1 Agustus 2014

Operasi Intelijen yang (Tak Boleh) Gagal


Oleh Laksda TNI Soleman B. Ponto ST, MH,
Kabais TNI 2011-2013
Berangkat tugas dianggap mati,
hilang tidak dicari, kalah dicaci maki,
menang tidak dipuji.

Kutipan diatas adalah semboyan yang terkenal dilingkungan intelijen. Bagi pihak yang memilih berkarier dibidang intelijen, pasti sangat akrab dengan istilah ini. Dan tentunya akan siap menerima konsekuensi seperti semboyan tersebut.

Dalam doktrin operasi intelijen, orang yang menerima perintah disebut agen, sedangkan orang yang memberi perintah disebut agen handlers. Operasi dilakukan dengan sistim Sel. Artinya antara agen dan agen handlers tidak boleh ada bukti sama sekali bahwa mereka memiliki hubungan. Secara resmi diantara keduanya tidak boleh ada hubungan sama sekali. Artinya hubungan diantara keduanya harus dirahasiakan. Apabila agen tertangkap, maka agen handlers secara terbuka akan menyangkalnya.