KAJIAN TERHADAP KEGAGALAN UU NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP KEBERADAAN BAKAMLA: MENGAPA BAKAMLA TERPAKSA HARUS DIBUBARKAN ?
Jakarta 11 Oktober 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb *)
Pendahuluan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU 32/2014) memiliki tujuan awal untuk menciptakan kerangka hukum yang jelas dalam pengelolaan wilayah laut dan sumber daya kelautan Indonesia. Salah satu mandat penting dari undang-undang ini adalah pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla), yang diberikan tugas menjaga keamanan dan keselamatan maritim di perairan Indonesia. Namun, UU 32/2014 gagal memenuhi syarat-syarat dasar yang harus dimiliki oleh sebuah undang-undang yang efektif dan berfungsi, baik dari segi kejelasan norma, kewenangan penegakan hukum, sanksi yang adil, maupun kepastian hukum. Hal ini mengakibatkan Bakamla sebagai lembaga yang dibentuk oleh undang-undang ini tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam kajian ini, kita akan menganalisis mengapa UU No. 32/2014 gagal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan dari suatu undang-undang yang baik, serta bagaimana kegagalan ini berdampak langsung pada efektivitas Bakamla. Kajian ini akan diuraikan dengan menggunakan teori hukum dan filsafat hukum untuk menjelaskan mengapa Bakamla lebih baik dibubarkan, mengingat fungsi dan perannya yang tidak jelas dan tidak efektif.
1. Kegagalan UU No. 32/2014 dalam Memenuhi Syarat-Syarat Undang-Undang yang Baik
Menurut teori dan filsafat hukum, sebuah undang-undang harus memenuhi beberapa syarat dasar agar dapat dianggap sebagai undang-undang yang baik dan efektif dalam mengatur masyarakat. UU No. 32 Tahun 2014 terbukti tidak memenuhi syarat-syarat ini, yang menyebabkan lemahnya implementasi dan fungsi lembaga yang dibentuk di bawahnya, yakni Bakamla.
a. Kejelasan Norma dan Bahasa Hukum
Salah satu prinsip dasar dari teori positivisme hukum, seperti yang diajarkan oleh Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law), adalah bahwa undang-undang harus memiliki norma yang jelas dan tidak ambigu. Kejelasan norma ini penting agar hukum dapat diterapkan secara konsisten dan dapat dipahami oleh masyarakat serta penegak hukum.
Namun, UU No. 32/2014 gagal memberikan kejelasan dalam norma-normanya. Norma tentang tugas dan kewenangan Bakamla tidak dijelaskan dengan tegas, sehingga Bakamla hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas tanpa kekuatan untuk menegakkan hukum. Ibarat kucing tanpa kuku. Misalnya, meskipun Bakamla diberikan mandat untuk menjaga keamanan laut, undang-undang ini tidak menyebutkan kewenangan Bakamla dalam menyidik pelanggaran atau menindak kejahatan yang ditemukan di wilayah laut. Ketidakjelasan ini menyebabkan Bakamla kehilangan arah dalam melaksanakan tugasnya.
Filsafat hukum Hans Kelsen juga menyebutkan bahwa undang-undang harus bebas dari norma-norma yang bertentangan, serta harus memiliki hierarki hukum yang jelas. Dalam konteks UU 32/2014, tidak ada keselarasan antara norma yang mengatur tugas Bakamla dan kewenangan untuk menegakkan hukum. Hal ini menimbulkan kebingungan di lapangan dan membuat Bakamla tidak efektif.
b. Kewajiban dan Larangan yang Tidak Jelas
Teori fungsionalisme hukum menekankan bahwa setiap undang-undang harus mampu memberikan kejelasan tentang kewajiban dan larangan bagi para subjek hukum yang diaturnya. UU No. 32/2014 tidak mengatur kewajiban yang jelas bagi pelaku kegiatan di laut, maupun larangan-larangan yang tegas untuk mencegah pelanggaran.
Sebagai contoh, undang-undang ini tidak memberikan larangan yang spesifik terkait illegal fishing, pencemaran laut, atau penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem laut. Ketidakjelasan ini menyebabkan undang-undang ini tidak berfungsi untuk melindungi kepentingan ekosistem laut secara efektif, dan Bakamla, yang seharusnya menjaga keamanan laut, tidak memiliki kewenangan untuk mencegah atau menindak pelanggaran tersebut.
c. Ketiadaan Sanksi yang Jelas dan Adil
Sebuah undang-undang yang baik harus mencantumkan sanksi yang jelas dan adil sebagai instrumen untuk menegakkan aturan yang ditetapkan. Filsafat hukum Utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, menekankan bahwa sanksi diperlukan untuk mencapai tujuan utilitarian, yaitu efek jera (deterrence) bagi pelanggar.
Namun, UU No. 32/2014 sama sekali tidak memuat ketentuan sanksi yang tegas. Tanpa adanya sanksi yang jelas, undang-undang ini tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Misalnya, pelanggaran terkait pencemaran laut atau perusakan terumbu karang tidak diatur dengan sanksi yang tegas dalam UU ini. Akibatnya, Bakamla, yang bertanggung jawab atas keamanan laut, tidak memiliki dasar hukum untuk menindak pelanggaran tersebut. Ketiadaan sanksi ini membuat undang-undang ini tidak efektif dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang diharapkan.
d. Mekanisme Penegakan Hukum dan Penyidik yang Lemah
Menurut teori penegakan hukum (law enforcement theory), suatu undang-undang harus memiliki mekanisme penegakan hukum yang jelas, termasuk adanya penyidik yang diberi kewenangan untuk menyelidiki dan menindak pelanggaran hukum. UU No. 32/2014 gagal dalam hal ini karena tidak memberikan kewenangan penegakan hukum kepada Bakamla.
Bakamla tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran yang terjadi di laut, seperti illegal fishing atau pencemaran laut. Kewenangan penyidikan ini berada di bawah lembaga lain, seperti PSDKP(Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) yang diatur oleh UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kegagalan UU 32/2014 dalam memberikan kewenangan penegakan hukum kepada Bakamla menyebabkan lembaga ini tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya secara efektif, sehingga hanya berfungsi sebagai pengawas tanpa kekuatan untuk menindak pelanggar hukum.
e. Ketidaksesuaian dengan Prinsip-Prinsip Keadilan dan Kepastian Hukum.
Menurut filsafat hukum naturalis yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas, hukum yang baik harus selaras dengan prinsip keadilan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. UU No. 32/2014 gagal memenuhi prinsip ini karena tidak memberikan kepastian hukum bagi para pelanggar hukum yang melakukan tindakan merusak ekosistem laut. Tanpa adanya sanksi yang jelas dan tanpa kewenangan penegakan hukum yang kuat, undang-undang ini tidak dapat memberikan keadilan yang diharapkan dalam perlindungan laut dan perairan Indonesia.
2. Dampak Kegagalan UU 32/2014 Terhadap Bakamla.
Kegagalan UU No. 32/2014 dalam memenuhi syarat-syarat dasar undang-undang yang baik berdampak langsung pada keberadaan Bakamla. Beberapa dampak kegagalan ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak Ada Kewenangan Penyidikan
Tanpa kewenangan penyidikan, Bakamla tidak dapat melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di laut, seperti illegal fishing atau pencemaran laut. Akibatnya, Bakamla hanya menjadi lembaga pengawas tanpa kemampuan untuk bertindak lebih jauh. Kegagalan memberikan kewenangan penyidikan ini menyebabkan Bakamla tidak efektif dalam menjalankan fungsinya.
b. Tumpang Tindih dengan Lembaga Lain
Bakamla juga mengalami tumpang tindih kewenangan dengan lembaga-lembaga lain, seperti TNI AL, KPLP dan PSDKP, yang memiliki kewenangan yang lebih jelas dalam penegakan hukum di laut. TNI AL bertanggung jawab atas keamanan laut, sementara PSDKP memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran di sektor perikanan, dan KPLP memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran di sektor keselamatan dan kemanan pelayaran sedangkan PSDKP memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran di sektor perikanan Dengan kewenangan yang lebih jelas, ketiga lembaga ini lebih efektif dalam menjalankan tugasnya dibandingkan Bakamla.
c. Pemborosan Anggaran
Keberadaan Bakamla, yang tidak memiliki kewenangan yang memadai dan tumpang tindih dengan lembaga lain, hanya membebani anggaran negara tanpa memberikan hasil yang signifikan. Dana yang dihabiskan untuk Bakamla lebih baik dialihkan kepada lembaga-lembaga yang lebih efektif, seperti TNI AL, KPLP atau PSDKP.
3. Mengapa Bakamla Lebih Baik Dibubarkan?
Melihat kegagalan UU No. 32/2014 dalam memberikan kewenangan yang memadai kepada Bakamla, serta ketidakefektifan lembaga ini dalam menjalankan tugasnya, Bakamla lebih baik dibubarkan. Beberapa alasan yang mendukung pandangan ini adalah sebagai berikut:
a. Tidak Ada Fungsi Penegakan Hukum yang Nyata
Sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjaga keamanan laut, Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran. Tanpa kewenangan penyidikan, Bakamla hanya berfungsi sebagai pengawas yang tidak dapat memberikan efek jera kepada pelanggar.
b. Tumpang Tindih Kewenangan dengan Lembaga Lain
Bakamla tumpang tindih dengan lembaga-lembaga lain yang sudah lebih dulu memiliki otoritas di laut, seperti TNI AL, KPLP dan PSDKP. Ketiga lembaga ini memiliki fungsi yang lebih jelas dan kewenangan yang lebih kuat dalam menjaga keamanan laut.
c. Pemborosan Anggaran
Keberadaan Bakamla hanya membebani anggaran negara tanpa memberikan hasil yang signifikan dalam menjaga keamanan laut. Dana yang digunakan untuk Bakamla lebih baik dialihkan kepada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan penegakan hukum yang lebih jelas, seperti TNI AL, KPLP atau PSDKP.
Kesimpulan
UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan tidak memenuhi syarat-syarat dasar sebagai undang-undang yang baik, baik dari segi kejelasan norma, kewenangan, sanksi, maupun mekanisme penegakan hukum. Kegagalan undang-undang ini berdampak langsung pada Bakamla, yang tidak memiliki kewenangan penegakan hukum yang kuat, sehingga tidak dapat berfungsi secara efektif.
Dengan melihat kelemahan ini, Bakamla lebih baik dibubarkan. Fungsi-fungsi Bakamla dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang sudah memiliki kewenangan yang lebih jelas, seperti TNI AL, KPLP dan PSDKP, yang lebih efektif dalam menjaga keamanan laut dan menegakkan hukum di wilayah perairan Indonesia. Ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi kelembagaan, tetapi juga menghemat anggaran negara serta meningkatkan efektivitas penegakan hukum di laut.
*) Kabais TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar