HADIAH INDAH PRESIDEN JOKOWI BAGI DUNIA MARITIM INDONESIA: MEWUJUDKAN ERA BARU PENEGAKAN HUKUM DI LAUT BERDASARKAN REVISI UU NO. 17/2008 TENTANG PELAYARAN
Jakarta 04 Oktober 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.
Pendahuluan
Pada tanggal 30 September 2024, menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo memberikan sebuah warisan penting bagi dunia maritim Indonesia dengan merevisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, khususnya pasal-pasal yang mengatur kapal atau angkutan di perairan, yaitu Pasal 276-281. Revisi ini membawa kepastian hukum yang jelas dan menyederhanakan wewenang yang sebelumnya tumpang tindih antarinstansi. Kapal-kapal yang berlayar di perairan Indonesia kini dilindungi dari pemeriksaan bergilir oleh berbagai otoritas laut yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan bagi dunia pelayaran.
Latar Belakang Dunia Maritim Indonesia
Sebelum revisi ini, sektor maritim Indonesia kerap menghadapi masalah ketidakpastian hukum. Kapal-kapal yang berniaga di perairan Indonesia sering kali menjadi target pemeriksaan oleh berbagai instansi penegak hukum seperti Polri, TNI AL, Bea Cukai, dan PSDKP. Kurangnya koordinasi antarinstansi ini menimbulkan kerugian besar bagi pelaku usaha pelayaran, serta menyebabkan kenaikan harga barang karena biaya operasional yang tinggi.
Keputusan Presiden Jokowi untuk merevisi Pasal 276-281 dalam UU No. 17/2008 memberikan solusi atas masalah ini, dengan memberikan kewenangan tunggal kepada Kementerian Perhubungan untuk mengawasi dan menegakkan hukum di sektor pelayaran. Keputusan ini juga menghindari potensi penahanan kapal secara sewenang-wenang oleh instansi lain, yang tidak memiliki kewenangan langsung di sektor pelayaran.
Dasar Hukum Revisi UU No. 17/2008: Mewujudkan Kepastian Hukum
Revisi terhadap Pasal 276-281 UU No. 17/2008 memberikan kewenangan tunggal kepada Menteri Perhubungan melalui Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) untuk mengawasi dan menegakkan hukum di sektor pelayaran. Beberapa poin penting dari revisi ini antara lain:
- Pasal 276 (Revisi): Menegaskan bahwa Menteri Perhubungan bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan peraturan di bidang pelayaran, termasuk keselamatan, keamanan pelayaran, pencegahan pencemaran, dan penegakan peraturan melalui KPLP.
- Pasal 277 (Revisi): KPLP memiliki wewenang untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan keselamatan dan keamanan pelayaran, serta mendukung kegiatan penegakan hukum oleh instansi lain hanya dalam lingkup yang tidak terkait langsung dengan pelayaran.
- Pasal 278 (Revisi): Penegakan hukum di laut, terutama penyidikan pelanggaran pelayaran, menjadi kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian Perhubungan, yaitu KPLP.
Revisi ini menjelaskan bahwa pengawasan terhadap kapal yang sedang berlayar berada di bawah wewenang tunggal KPLP. Instansi lain seperti Polri, TNI AL, dan Bea Cukai tidak dapat menghentikan atau memeriksa kapal kecuali ada dugaan pelanggaran di luar konteks perundang-undangan pelayaran.
Prinsip Pemisahan Hukum: Teori dan Filsafat Hukum
Revisi ini menerapkan prinsip lex specialis derogat legi generali, yaitu bahwa hukum khusus (dalam hal ini hukum pelayaran) mengesampingkan hukum umum. Dengan demikian perundang-undangan pelayaran hanya dapat ditegakkan oleh Kementerian Perhubungan melalui KPLP. Instansi lain tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum terhadap kapal yang sedang berlayar jika tidak terkait dengan pelanggaran di sektor pelayaran.
Dalam konteks teori pemisahan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori hukum murninya (Pure Theory of Law), setiap cabang hukum memiliki yurisdiksi yang jelas. Dalam revisi ini, KPLP diberi wewenang eksklusif untuk menegakkan hukum pelayaran, sementara instansi lain hanya dapat beroperasi di luar konteks pelayaran, seperti menangani tindak pidana umum atau masalah keamanan nasional.
Kewenangan Tunggal KPLP: Implementasi Prinsip Pemisahan Hukum
Dengan revisi Pasal 276-281, KPLP memiliki kewenangan tunggal dalam penegakan hukum di laut yang terkait dengan keselamatan dan keamanan pelayaran. Kapal yang sedang berlayar tidak boleh diperiksa oleh instansi lainsepanjang tidak ada pelanggaran yang berkaitan dengan perundang-undangan pelayaran. Pengawasan atas keselamatan dan keamanan kapal selama pelayaran menjadi tugas eksklusif KPLP.
Sebagai contoh, jika sebuah kapal mengangkut kayu ilegal, maka instansi seperti Polri atau TNI AL tidak memiliki wewenang untuk menahan kapal tersebut. Namun, mereka masih dapat menangani muatan kayu ilegal dan menangkap personel yang terlibat dalam penyelundupan. Prinsip ini memastikan bahwa kewenangan dalam sektor pelayaran tetap terpisah dari kewenangan penegakan hukum di sektor lain.
Peran KPLP dalam Menangani Ancaman dari Dalam dan Luar Kapal
KPLP bertanggung jawab atas penanganan ancaman yang terkait dengan keselamatan dan keamanan pelayaran, baik dari dalam maupun luar kapal.
- Ancaman dari Dalam Kapal meliputi pemeriksaan kelayakan teknis kapal, keselamatan kru, serta kepatuhan terhadap peraturan dan dokumen kapal. KPLP melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kapal layak berlayar dan memenuhi standar keselamatan yang ditetapkan.
- Ancaman dari Luar Kapal mencakup pelanggaran seperti illegal fishing, penyelundupan, perompakan, serta pencemaran laut. KPLP bekerja sama dengan instansi lain seperti Polri dan TNI AL dalam menindak pelanggaran yang tidak terkait langsung dengan perundang-undangan pelayaran, namun tetap memiliki kewenangan penuh terkait keselamatan kapal dan keamanan pelayaran.
Kewenangan KPLP atas Kapal yang Berlayar
Menurut Pasal 276-278 UU No. 17/2008 yang telah direvisi, KPLP memiliki hak eksklusif untuk memeriksa kapal yang sedang berlayar. Kapal yang telah diberi Surat Persetujuan Berlayar (SPB) oleh Syahbandar tidak dapat dihentikan atau diperiksa oleh instansi lain kecuali ada dugaan kuat terkait pelanggaran di luar konteks perundang-undangan pelayaran. Pemeriksaan lebih lanjut terhadap kapal dapat dilakukan oleh KPLP di pelabuhan berikutnya jika ditemukan pelanggaran selama pelayaran.
Kesimpulan
Revisi UU No. 17/2008, khususnya Pasal 276-281, membawa kepastian hukum yang sangat diperlukan dalam sektor pelayaran Indonesia. Dengan memberikan kewenangan tunggal kepada KPLP, Presiden Jokowi telah menciptakan fondasi yang kuat untuk penegakan hukum di laut dan memastikan bahwa kapal yang berlayar dilindungi dari pemeriksaan yang tidak perlu oleh instansi lain. Prinsip pemisahan hukum dalam sektor pelayaran kini lebih jelas, memberikan kepastian bagi para pelaku usaha pelayaran dan menjamin keselamatan serta keamanan pelayaran di Indonesia.
Referensi:
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
- Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California Press, 1967.
- Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS), 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar