6 Juni 2014

Kalau Mau Bunuh Teroris Polisi jadi Tentara saja

Berikut ini laporan wartawan Antara yang dimuat kembali oleh Suara Pembaruan pada 3 Agustus 2011. Selamat menikmati semoga berguna.

JAKARTA Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (Bais) Laksamana Muda Soleman B. Ponto mengatakan, polisi tidak harus membunuh pelaku teror (terorisme), namun hanya perlu ditangkap.

"Kalau teroris boleh terbunuh ya gunakan TNI, tetapi kalau harus ditangkap lalu dihukum ada alatnya yaitu polisi. Kalau mau bunuh teroris, Polisi jadi tentara saja," katanya di Jakarta, Rabu (3/8).


Pernyataan tersebut disampaikannya dalam seminar "Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional" di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta.


Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Terorisme pasal 6 disebutkan bahwa pelaku teror harus dipidana, artinya harus dihukum dan ditangkap.

"UU Terorisme dilaksanakan oleh polisi tapi dalam beberapa kasus teroris terbunuh," tuturnya.

Menurut Soleman, operasi penanggulangan terorisme oleh TNI sebagaimana Undang-undang TNI No.34, Pasal 22 ayat 2 dalam mengatasi aksi terorisme hanya ada dua pilihan, yakni "kill or to be kill".

"TNI menindak dengan melaksanakan operasi militer. Apakah perang atau selain perang. Kalau operasi militer pilihan cuma "killed or to be killed". Kalau TNI sudah turun teroris harus terbunuh," ucapnya.

Ia menambahkan, penindakan teroris ini perlu dilihat secara komprehensif apakah sasarannya pelaku terbunuh, tertangkap, terhukum. Mengenai perangkat lanjut Soleman bisa TNI dan Polri.

"Metodenya nanti bisa dilihat Undang-undang TNI dan Polri," ujarnya.

Sebelumnya, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Budi Susilo Soepandji, mengatakan, saat ini belum perlu untuk turun tangan untuk mengatasi persoalan terorisme.

"Saat ini cukup mengoptimalkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan kepolisian," kata Budi di Kantor Lemhannas, Jakarta, Senin.

Menurut dia, keterlibatan TNI dalam penangulangan terorisme bila kondisi di dalam negeri masif dan besar serta secara perhitungan lagi tidak mungkin lagi dilakukan oleh aparat sipil dan kepolisian. Misalnya, serangan teror secara serentak di beberapa daerah.


"Tidak mungkin kan, sipil dan Gubernur Lemhannas hanya berdoa saja, tetapi juga perlu senjata, yakni keterlibatan TNI," kata Budi seraya mengatakan penggunaan TNI merupakan "ultimum remedium" atau tindakan yang terakhir.

Menurut dia, meski saat ini eskalasi naik turun, namun saat ini kondisinya sedang baik, sehingga tidak perlu keterlibatan TNI.

"Saat ini hanya perlu dialog, sehingga tidak perlu kekerasan (hard power)," ucapnya.

Ia pun mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh BNPT dalam menanggulangi terorisme yang terjadi belakangan ini.

"Namun, BNPT jangan hanya melakukan penindakan dalam mengatasi persoalan terorisme, tetapi juga harus mengatasi persoalan deradikalisme karena fenomena terorisme ini seperti gunung es," katanya.

Menurut dia, TNI bisa diminta masukannya soal deradikalisasi karena TNI memiliki pengalaman dalam teritorial.

Menurut dia, tidak hanya TNI yang bisa diminta masukannya mengenai deradikalisasi, melainkan Lemhannas bisa diminta masukannya karena di Lemhannas memiliki tenaga ahli dari beberapa universitas untuk mengkaji persoalan tersebut. [Ant/L-9]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar