6 Juni 2014

Intelijen Itu Tak Boleh Bohong tapi Jangan Bicara Kebenaran


Usai menuntaskan tugasnya sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda Soleman B Ponto kian bergairah. Saat ke redaksi INDOPOS di Gedung Graha Pena, (11/12), dia berbagi cerita mulai cara kerja intelijen, penyadapan, hingga terorisme.

HUMORIS, cerdas, berwawasan luas, dan ceplas-ceplos. Itulah kesan pertama ketika berbincang-bincang dengan Soleman B Ponto. Tak ayal, awak redaksi betah ngobrol berlama-lama, hingga perbincangan selama tiga jam tiada terasa.

"Don’t lie, but don’t tell the truth," kata Ponto mengawali pembicaraan ketika ditanya tentang dunia intelijen. "Intelijen itu jangan bohong, tapi juga jangan menceritakan kebenaran," lanjut Ponto.
Apa maksudnya?

Ponto menjelaskan, sebuah peristiwa bisa terbagi menjadi empat unsure: kenyataan, informasi, fakta, dan data. Unsur kerja intelijen sebatas menyampaikan informasi. Sementara terkait fakta dan data itu urusan penegak hukum.

Jadi, asumsi yang disampaikan seorang intelijen itu hanya sebagai indikasi menuju pembuktian fakta dan keakurasian data. Sebab itu ia menjelaskan, informasi yang dikabarkan seorang intelijen itu pastinya bukan kebohongan, tapi dia hanya sebatas menyampaikan."Intelijen tidak boleh mengatakan fakta sebenarnya, karena bukan tugasnya lagi untuk membuktikan,” ujar Ponto mengartikan dilema menjadi seorang intelijen. 

Prinsip kerja wartawan pun sudah seperti intelijen. Karena bermain-main dengan informasi. Perbedaannya hanya sistem penyampaiannya. Pemberitaan yang ditulis wartawan adalah informasi terbuka. Tentu dilengkapi fakta dan data-data.Lain halnya jika data yang disampaikannya itu hasil curian.  Jadi jelas, tinggal bagaimana sistem itu berlaku. Berita wartawan itu kan harus melengkapi unsur siapa, apa, bilamana dan di mana. Kalau tidak dilengkapi tentunya ia takkan menulis berita itu. "Sementara data yang dimiliki intelijen itu sudah pasti terlarang, karena hasil curian. Kita tau melanggar, tapi tetap dilakukan, seperti itulah intelijen,” terangnya sambil terus tertawa mengenang masa jaya dulu. 

Bincang-bincang sore itu pun semakin hangat. Dibalik rambutnya yang kian memutih, ternyata pria kelahiran Sangir, 58 tahun silam itu langsung akrab di mata kolega INDOPOS. Ia pun tak sungkan membeberkan kelucuan pola kebijakan para pemangku pemerintahan Indonesia yang menurutnya terkesan kurang cermat dan terlalu dibuat-buat alias lebay.

Seperti hal diberlakukannya Undang-undang (UU) Intelijen. Menurut Pontoh, aturan itu tidak ada gunanya. Jika diimplementasikan, aturan UU itu hanya dua; melarang dan membolehkan. Tugas BAIS ini jelas dilarang, tapi tetap dilakukan. "Lalu, apa yang mau dilegalkan? Kan semua tidak legal. Makanya curi-curi itu bagi kita sudah biasa. Itulah hidup di dunia intelijen, ya seperti itu,"selorohnya.

Pria yang saat ini meneruskan kesibukan sebagai komisaris Utama PT. INTI (Industri Telekomunikasi) ini pun lantas meneruskan perbincangan. Prinsip dasar seorang intelijen itu, katanya, bisa memblokade aksi-aksi bom teroris yang selama ini terjadi. Bahkan, jika benar diterapkan tak menutup kemungkinan seluruh kasus teroris dapat diselesaikan tanpa harus terjadi insiden baku tembak.

Mestinya, langkah yang dilakukan itu menutup akses pembentukan kelompok teroris. Ia menyebutkan, ada tujuh net working kelompok teroris yang jika dipenggal salah satunya, tentu akan memotong keutuhan kelompok teroris. Bisa dari keuangannya, pembentukan anggotanya, atau tempat latihannya. Dengan demikian, eksekusi teror bom akan tersabotase.

Ponto sekali lagi menepuk jidat, mengapa penyelesaian teroris selama ini malah menyasar sendi-sendi keagamaan. Langkah itu jelas ditentang oleh mereka yang merasa terintimidasi. Belum lagi, dengan insiden salah tangkap atau salah sasaran.

Ponto juga tak kuasa menahan tawa. Ia tergelak mengingat ribut-ribut penyadapan yang belakangan ini ramai. Ponto menilai, presiden terlalu serius menyikapi. Tindakan menarik Dubes di Australia itu terlalu berlebihan. Keributan itu semakin memperlihatkan kebodohan kita. "Anggap saja penyadapan ini hal biasa, mestinya beliau bisa lebih menenangkan rakyat," ujarnya.

Menurutnya, penyadapan itu bukan hal luar biasa. Sejak dulu, orang tua kita pun mengingatkan, 'hati-hati dinding pun berbicara! "Itu bukan hal luar biasa. Itu pekerjaan harian intelijen. Sudah tiap hari terjadi. Kenapa jadi ribut, yang jadi masalah ketika disadap itu, mereka (Australia) mengerti atau tidak," terangnya.

Pengalaman Ponto, ketika dia berada di di kapal perang, pengiriman pesan pun sudah disadap, karena transmisinya lewat udara. "Makanya yang kita gunakan itu kata sandi. Makanya kita punya Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg)," ujarnya.

Soal sandi-sandi itu disadari para pemain. "Angelina Sondakh saja minta dikirim Apel Washington’ kalau Fathonah minta dikiriim pustun. Istilah 'Bunda Puteri' itu bentuk-bentuk sandi, tanyakan ke mereka yang menggunakan, itu karena mereka sudah tau (kalau disadap)," bebernya.

Pengalaman lainnya, setiap tiga bulan sekali BAIS bertugas melakukan pengecekan seluruh ruangan di Istana Negara dan Istana Merdeka. Setiap sudut di ruang rapat, ruang makan diperiksa. Memastikan steril dari penyadapan. Sampai mesin faks, fotokopi atau apapun itu, katanya bisa disadap.

"Tak hanya telepon SBY, telepon siapa pun sudah bisa disadap. Kalau intelijen itu mengecek sampai ke biling (penagihan), dari hubungan itu juga bisa ketahuan siapa yang menggunakan. Untuk mengecoh, penagihannya kami lempar ke pihak yang tidak dikenal, bisa di berbagai belahan dunia,” kata Ponto.

ASEP ANANJAYA, Jakarta, INDOPOS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar