15 Juni 2014

Implikasi Hukum Surat Rekomendasi DKP bagi Prabowo Subianto dan Tim DKP

Ringkasan:
Membela diri di pengadilan HAM adalah satu-satunya jalan bagi Prabowo untuk membersihkan namanya dari tuduhan sebagai pelanggar HAM. Apabila hal ini tidak dilakukannya, maka ia akan terus tersandera oleh predikat pelanggara HAM yang akan terus menempel di namanya. Akan sangat disayangkan apabila ia terpilih sebagai presiden nantinya, predikat pelanggar HAM masih akan terus ikut besertanya, dan kita rakyat Indonesia juga nantinya akan menanggung malu.

JAKARTA, 15 Juni 2014. Saat ini telah beredar luas di masyarakat Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Surat tersebut dibuat pada tanggal 21 Agustus 1998 dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Kehormatan Perwira Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo, Sekretaris Letjen TNI Djamari Chaniago, Wakil Ketua Letjen TNI Fahrul Razi, anggota Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan anggota Letjen Yusuf Kartanegara.


Keabsahan surat ini dijamin oleh Letjen TNI Fahrul Razi,yang merupakan wakil Ketua tim DKP. "Tanda tangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin malam, 9 Juni 2014.


Pentingnya Surat Keputusan DKP

Surat ini menjadi penting karena didalamnya berisi alasan yang digunakan untuk memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas militer.Hal penting dari surat keputusan ini dapat terlihat pada bagian pertimbangan yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Menimbang : Bahwa sebelum Dewan menetapkan keputusan, Dewan telah memeriksa terperiksa dan saksi-saksi yang pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.     Secara sengaja melakukan kesalahan dalam analisa tugas terhadap ST Kasad Nomor : STR/41/1997 tanggal 4 Pebruari 1997 dan STR/92/1997 tanggal 11 Maret 1997 walaupun mengetahui bahwa Kasad sebagai Pembina tidak berwenang untuk pemberian tugas tersebut.
b.     Secara sengaja menjadikan perintah Kasad yang diketahuinya dikeluarkan tanpa wewenangnya sebagai dasar untuk menerbitkan surat perintah nomor : Sprin/689/IX/1997 tanggal 23 September 1997 kepada Satgas Merpati untuk melksanakan operasi khusus dalam rangka stabilits nasional.
c.      Melaksanakan dan mengendalikan operasi dalam rangka stabilitas nasional yang bukan menjadi wewenangnya tapi menjadi wewenang Pangab.
Tindakan seperti tersebut diatas berulang-ulang dilaksanakan Pati yang bersangkutan :
1)     Pelibatan Satgas di Timtim dan Aceh
2)     Pembebasan sandera di Wamena Irja
3)     Pelibatan Kopasus dalam pengamanan Presiden di Vancouver Kanada.
d.     Memerintahkan anggota satgas Mawar, satgas Merpati melalui Kolonel Inf Chairawan (Dan Grup 4) dan Mayor Inf Bambang Kristiono untuk melalukan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan aktivis kelompok radikal dan PRD yang diketahuinya bukan menjadi wewenangnya yang mengakibatkan Andi Arif, Aan Rudianto, Mugianto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Desmon J. Mahesa menjadi korban.
Kolonel Inf Chairawan, Mayor Inf Bambang, para Perwira dan para Bintara anggota satgas Merpati dan satgas mawar yakin akan kebenaran tugas karena menurut Danjen “sudah dilaporkan ke Pimpinan” dan “atas perintah Pimpinan”.
e.     Tidak melaporkan operasi yang dilakukan kepada Pangab, baru dilaporkan pada awal April 1998 setelah desakan Ka Bia.
f.       Tidak melibatkan staf organic dalam prosedur staf, pengendalian dan pengawasan.
g.     Tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab komando dalam pengendalian tindakan-tindakan satgas Merpati dan satgas Mawar.
h.     Sering keluar negeri tanpa ijin dari Kasad dan Pangab.
i.       Tindakan-tindakan tersebut butir a s/d butir h diatas menegaskan bahwa:
1)      Tindakan-tindakan Letjen TNI Prabowo Subianto cenderung pada kebiasaan mengabaikan sistim operasi, hierarki, disiplin dan hukum yang berlaku dilingkungan ABRI.
2)      Tidak mencerminkan etika profesionalisme dalam pengambilan keputusan, kepatuhan pada norma hukum, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, norma-norma yang berlaku di TNI AD/ABRIdan norma-norma pelibatan Kopasus sendiri.
3)      Tidak mencerminkan tanggung jawab komandan (Commander Responsibility ) terhadap tugas dan terhadap prajurit.
4)      Tidak mencerminkan etika perwira khususnya unsur pembela kebenaran dan keadilan, kesetiaan dan ketaatan, perikemanusiaan serta menjunjung tinggi nama dan kehormatan Korps perwira ABRI.
5)      Tidak mencerminkan kepedulian terhadap Sumpah Prajurit ke-2, 3 dan 4
6)      Tidak mencerminkan kepedulian terhadap Sapta Marga ke 3, 5, 6 dan 7.
7)   Telah melakukan tindak pidana :
a)     Ketidak patuhan (Ps 103 KUHPM)
b)     Memerintahkan Dan Grup 4/Sandha Kopassus dan anggota Satgas Merpati serta Satgas Mawar untuk melakukan PERAMPASAN KEMERDEKAAN ORANG LAIN (Ps 55(1) ke 2 jo Ps 333KUHP) dan PENCULIKAN (Ps 55 (1) ke 2 jo Ps 328 KUHP)
j.       Tindakan-tindakan tersebut diatas tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan Perwira TNI.
k.      Tindakan-tindakan tersebut merugikan kehormatan korps Kopasus, TNI-AD, ABRI, Bangsa dan Negara.

Berpendapat  : Sesuai dengan hal-hal tersebut diatas, maka perwira terperiksa atas nama Letnan jenderal TNI Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukuman administrasi berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Demikian Keputusan ini ditetapkan hari Jumat tanggal 21 Agustus 1998 oleh Dewan.

Dari surat keputusan tersebut hal penting untuk mendapat perhatian adalah adanya dua pelanggaran yang dilakukan oleh Prabowo yaitu pertama, pelanggaran terhadap prosedur dan komando serta disiplin dalam kehidupan militer  dan yang kedua, adalah pelanggaran pidana, yaitu berupa perampasan kemerdekaan orang lain dan penculikan.


Hukuman yang Sudah dan yang Belum Dijatuhkan

Atas pelanggaran pertama, Prabowo sudah dihukum, yaitu berupa hukuman administrasi,  diberhentikandari dinas keprajuritan sedangkan untuk pelanggaran kedua, Prabowo belum mempertanggungjawabkan kesalahan yang dibuatnya.Jadi, bila hal ini diperbincangkan sekarang bukan merupakan daur ulang seperti yang didengungkan oleh beberapa orang, karena penyelesaian kasusnyapun belum dimulai.

Mengingat pelanggaran kedua ini berupa tindak pidana, maka hukumannya hanya dapat dijatuhkan lewat pengadilan, bukan oleh DKP.  Apalagi pidananya menyangkut penculikan atau penghilangan paksa, yang merupakan pelanggaran HAM, sehingga pengadilannya harus dilakukan di Pengadilan HAM.

Isi materi pertimbangan, merupakan penegasan bahwa operasi Penculikan atau Penghilangan Paksa yang dilakukan oleh tim Mawar adalah perintah dari Prabowo Subianto yang merupakan Komandan Jendral Kopassus saat itu. Dengan demikian para anggota tim Mawar telah melakukan pembohongan, karena ketika diadili, mereka menyatakan bahwa operasi yang di lakukan adalah inisiatif sendiri dan tidak sepengetahuan Prabowo Subianto.

Isi dari pertimbangan ini sesuai dengan pengakuan
Kivlan Zen dalam acara debat di TV One pada 28 April lalu, yang telah memunculkan reaksi luas, terutama dari kalangan keluarga korban penculikan. Kivlan Zen dalam debat yang disiarkan secara langsung itu mengatakan bahwa selain penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar, ada operasi lain yang dilakukan oleh tim yang merupakan lawan operasi Prabowo. Kivlan Zen menegaskan Tim Mawar yang beranggotakan personil Kopassus, kesatuan yang kala itu dipimpin Prabowo, melakukan penculikan dalam rangka pengamanan menjelang Sidang Umum MPR .Dalam perjalanannya, sejumlah korban yang diculik sudah dilepaskan, diantaranya Desmon dan Pius.

Adanya surat rekomendasi DKP ini merupakan titik terang untuk mengungkap pelaku kasus penghilangan paksa terhadap 13 orang yang masih tidak diketahui rimbanya sampai saat ini. Tim DKP dapat dimintai keterangan apa yang mereka ketahui tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Prabowo Subianto. Hal ini menjadi penting karena Prabowo Subianto saat ini sedang dalam proses untuk menjadi presiden RI. Sebagai rakyat Indonesia, tentunya kita tidak menghendaki adanya presiden yang tersangkut perkara pidana, apalagi pidana pelanggaran HAM berat.

Implikasi Hukum bagi Tim DKP dan Prabowo Subianto.

Sejak adanya pengakuan Kivlan Zein yang mencuat menjadi wacana publik serta beredarnya Surat Keputusan DKP,  Pak Prabowo Subianto semakin tersandera. Dari tinjauan hukum, Pak Prabowo tertuduh melakukan tindak pindana perampasan kemerdekaan orang lain dan tindak pidana penculikan, atau yang lebih dikenal dengan istilah penghilangan paksa. Oleh kerena itu apabila Pak Prabowo merasa tidak melakukan hal itu, atau bila ia merasa ada hal-hal khusus yang menjadi pembenaran pelaksanaan tindak pidana tersebut, maka ia harus melakukan pembelaan diri.

Demikia juga bagi tim DKP, mereka juga menerima implikasi hukum yaitu harus menjadi saksi, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.”

Anggota tim DKP wajib menjelaskan tindak pidana yang dilakukan oleh Pak Prabowo.
Apabila tim DKP tidak mau menjelaskan dan bersaksi akan hal itu, maka mereka juga akan dihukum sebagai pelanggar HAM berat. Hal ini ditegaskan pada Pasal 6 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua orang dari Penghilangan Paksa, yaitu :
           
1. Setiap  Negara  Pihak   akan  mengambil   langkah-langkah   yang   diperlukan  untuk menghukum orang-orang yang bertanggung jawab, setidaknya bagi:
(a) Setiap orang yang melakukan, memerintahkan, meminta atau menyebabkan upaya-upaya untuk melakukan, sebagai pelaku atau turut berperan dalam penghilangan paksa;
(b)   Seorang atasan yang:
 (i) mengetahui,   atau   secara  sadar  mengabaikan   informasi   yang jelas mengindikasikan bahwa anak buah yang berada dalam kekuasaannya dan pengawasannya melakukan atau akan melakukan kejahatan penghilangan paksa.

Bersaksi bagi tim DKP dan membela diri bagi Prabowo, semuanya adalah proses yang  hanya dapat dilakukan di pengadilan HAM, karena tindak pidana yang dilakukan oleh Pak Prabowo  masuk dalam katagori Pelanggaran HAM berat.

Satu-Satunya Jalan Keluar

Membela diri di pengadilan HAM adalah satu-satunya jalan bagi Prabowo untuk membersihkan namanya dari tuduhan sebagai pelanggar HAM. Apabila hal ini tidak dilakukannya, maka ia akan terus tersandera oleh predikat pelanggara HAM yang akan terus menempel di namanya. Akan sangat disayangkan apabila ia terpilih sebagai presiden nantinya, predikat pelanggar HAM masih akan terus ikut besertanya, dan kita rakyat Indonesia juga nantinya akan menanggung malu.

Laksda TNI AL (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH, adalah Kabais TNI 2011-2013

3 komentar:

  1. salam kenal pak. menarik sekali ulasan bapak. saya hanya mecermati bagian keharusan bagi para anggota dkp menjadi saksi. pertanyaannya, mengapa kasus tersebut baru muncul sekarang? mengapa harus menunggu selama 16 tahun, hingga wakil ketua dkp baru bicara? kemana mereka ketika prabowo menjadi cawapres dari megawati di tahun 2009?

    terima kasih

    BalasHapus
  2. Bawa Prabowo ke pengadilan HAM sebelum terlambat!!

    BalasHapus
  3. Pak.Holman, tidak soal pak.keluar gak.keluar tahun 2009, sebagai pihak neutral kita kedepan aja bahwa aneh ketika seorang RI1 memiliki utang persoalan hukum apalagi soal terkait HAM yg merupakan persoalan international. Bisa2 presiden.kita diadili depan mahkamah international bag penjahat kemanusiaan. Rela gak akibat kebodohan kita presiden kita dipermalukan

    BalasHapus