29 Oktober 2024

Lampu Merah Kesatuan Bangsa Dimulai dengan Label Halal dan Non-Halal

Lampu Merah Kesatuan Bangsa Dimulai dengan Label Halal dan Non-Halal

 

Jakarta, 29 Oktober 2024
Oleh: Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb*)

 

Perkembangan regulasi terkait pemisahan logistik halal dan non-halal tampak semakin dominan di Indonesia dan negara-negara dengan populasi Muslim besar lainnya. Meskipun bertujuan melindungi konsumen Muslim, kebijakan ini berpotensi memicu segregasi sosial dan ekonomi yang berbahaya bagi kesatuan bangsa dalam jangka panjang. Menggunakan teori hukum, filsafat hukum, dan teori ekonomi, kita bisa menganalisis bagaimana pemisahan ini, jika tidak dikendalikan dengan bijak, akan berdampak negatif terhadap integrasi nasional.

 

Tahap Pertama: Pemisahan pada Barang Konsumsi dengan Label Halal

Awalnya, pemisahan dilakukan dengan memberi label halal pada produk makanan dan minuman yang memenuhi kriteria kehalalan. Meski terlihat sebagai upaya positif, langkah ini memiliki implikasi dalam perspektif teori hukum. Teori Keadilan Distributif dari Aristoteles menekankan bahwa keadilan dalam distribusi harus merata untuk seluruh masyarakat. Ketika label halal dan non-halal menjadi norma, distribusi barang tidak lagi merata karena ada kecenderungan untuk memisahkan barang berdasarkan agama, bukan pada kebutuhan yang universal. Dalam teori hukum, prinsip Kesetaraan dan Non-Diskriminasi mengharuskan akses yang sama terhadap sumber daya. Namun, pemisahan ini memperkenalkan bentuk diskriminasi dalam rantai distribusi barang yang bisa memecah bangsa.

 

Tahap Kedua: Pemisahan pada Kontainer dan Logistik Halal

Setelah barang konsumsi, muncul tuntutan untuk menyediakan moda transportasi khusus untuk barang halal agar tidak tercampur dengan yang non-halal. Kebijakan ini semakin mendalam dengan keharusan memisahkan kontainer dan kendaraan pengangkut. Dalam filsafat hukum, konsep Utilitarianisme oleh Jeremy Bentham mengusulkan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun, kebijakan pemisahan ini hanya memberikan manfaat terbatas dan memperburuk keterpisahan sosial di negara yang pluralistik.

 

Tahap Ketiga: Pembentukan Regulasi Terpisah

Untuk menjaga pemisahan ini, regulasi khusus halal diperluas hingga aturan logistik yang berbeda. Teori hukum Fragmentasi Hukum menunjukkan bahwa sistem hukum yang terpecah akan rentan terhadap ketidakefisienan dan ketidakadilan. Pemisahan regulasi ini menciptakan “segregasi regulasi” yang melibatkan birokrasi terpisah, mengakibatkan “dualitas regulasi” yang melemahkan efektivitas pemerintahan.

 

Tahap Keempat: Pengaruh pada Struktur Pemerintahan

Jika pemisahan ini semakin meluas, maka akan dibentuk institusi khusus dalam pemerintahan, seperti badan sertifikasi halal yang lebih besar dan unit pengawasan produk halal. Dalam filsafat hukum, konsep Keutuhan dalam Pemerintahanmengajarkan bahwa suatu negara harus memiliki kesatuan dalam kebijakan. John Locke, melalui teori kontrak sosialnya, menekankan bahwa pemerintah melayani kepentingan umum. Pemisahan ini dapat menciptakan konflik antara lembaga-lembaga pemerintahan, memperlemah kesatuan sosial, dan memperburuk segregasi.

 

Tahap Kelima: Pemisahan dalam Masyarakat dan Potensi Polarisasi Sosial

Pemisahan halal dan non-halal bisa merembet menjadi pemisahan sosial. Perbedaan standar konsumsi berdasarkan label ini dapat memperdalam segregasi. Dalam filsafat hukum, prinsip Kesetaraan Substansial oleh John Rawls mengajarkan bahwa kesetaraan sejati memastikan tidak ada pihak yang mengalami ketidakadilan karena latar belakang tertentu. Sejarah menunjukkan bahwa perbedaan kecil dalam budaya dan agama, seperti di Sudan dan Sudan Selatan, dapat berkembang menjadi ketidakpuasan dan akhirnya perpecahan. Kebijakan yang awalnya bertujuan baik bisa memicu perpecahan bangsa.

 

Dampak Ekonomi: Label Halal yang Mahal Mempercepat Pemisahan Sosial

Label halal yang dijual dengan harga tinggi menciptakan masalah tambahan. Biaya sertifikasi yang tinggi membuat produk halal lebih mahal, membebani produsen dan konsumen. Teori Eksternalitas Biaya Produksi dalam ekonomi menunjukkan bahwa biaya sertifikasi halal menjadi beban tambahan yang akhirnya ditanggung konsumen. Dalam teori ekonomi, Elastisitas Permintaan menjelaskan bahwa kenaikan harga menyebabkan penurunan permintaan, khususnya pada produk non-esensial. Tetapi bagi konsumen Muslim, kebutuhan terhadap label halal sering kali mengalahkan harga. Ini mempercepat ketidaksetaraan ekonomi, dengan produk halal menjadi lebih sulit dijangkau oleh kelompok ekonomi bawah.

 

Percepatan Pemisahan Sosial dan Ekonomi Akibat Harga Sertifikasi Halal yang Tinggi

Harga yang mahal mempercepat proses pemisahan sosial. Produk halal yang lebih mahal menciptakan Efek Segregasi Harga yang memisahkan masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi. Kelompok yang mampu dapat mengakses produk halal, sementara yang kurang mampu terdorong pada produk non-halal. Ini memperburuk ketimpangan, menguatkan segregasi pasar dan menghambat daya saing produk lokal.

 

Dampak pada Daya Saing dan Kemandirian Ekonomi

Biaya tinggi pada sertifikasi halal juga menurunkan daya saing produk lokal dan mengancam kemandirian ekonomi. Teori Keunggulan Komparatif dalam ekonomi menyatakan bahwa negara yang memiliki keunggulan ini akan mampu memproduksi barang dengan harga lebih rendah dan kualitas lebih tinggi. Tetapi dengan adanya label halal yang mahal, keunggulan ini berkurang, dan produsen lokal yang tidak mampu membayar sertifikasi akan kalah bersaing. Kondisi ini meningkatkan ketergantungan pada produk impor, mengancam kemandirian ekonomi, dan menciptakan efek jangka panjang yang merugikan.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Regulasi yang Inklusif dan Terpadu

Dalam perspektif hukum dan ekonomi, label halal yang mahal mempercepat proses segregasi. Penggunaan prinsip Keadilan Distributif dalam filsafat hukum dan Segregasi Pasar dalam ekonomi menunjukkan bahwa biaya sertifikasi halal yang tinggi berpotensi menciptakan jurang sosial dan ekonomi yang dalam. Pemerintah perlu menerapkan regulasi yang menjaga agar biaya sertifikasi halal tetap wajar agar tidak memberatkan produsen dan konsumen.

Dengan pendekatan yang lebih terpadu dan adil, pemerintah dapat memastikan bahwa kebutuhan terhadap label halal tetap terpenuhi tanpa mengorbankan kesatuan bangsa dan kestabilan ekonomi. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap integrasi sosial, mengingat bahwa pemisahan yang berlebihan, meski dimulai dari label halal dan non-halal, bisa menjadi “lampu merah” bagi kesatuan bangsa di masa depan.


*) Kabais TNI 2011-2013

 

25 Oktober 2024

Strategi Penyelesaian Konflik Papua.

 Strategi Penyelesaian Konflik Papua.

 

Jakarta 25 Oktober 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv. Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.

 

1. Pendahuluan

Papua merupakan wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun juga menjadi pusat konflik berkepanjangan yang kompleks. Isu ini melibatkan ketidakpuasan terhadap distribusi ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, serta ketegangan antara pemerintah pusat dan kelompok separatis. Presiden Prabowo Subianto, sebagai pemimpin Indonesia, dihadapkan pada tantangan untuk menyelesaikan konflik Papua secara menyeluruh dan damai. Pendekatan yang dipilih harus mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan HAM.

 

2. Pendekatan Dialog dan Diplomasi

Pendekatan pertama yang perlu diambil oleh Presiden Prabowo adalah diplomasi melalui dialog terbuka dengan berbagai elemen masyarakat Papua. Tokoh adat, pemimpin agama, dan perwakilan kelompok separatis harus dilibatkan dalam dialog yang inklusif dan konstruktif untuk memahami keluhan dan aspirasi mereka. Dialog ini bertujuan untuk menciptakan ruang bagi negosiasi damai, yang dapat mengurangi ketegangan dan kekerasan yang selama ini terjadi. Literatur menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi dan dialog memiliki potensi untuk mengurangi konflik separatis di banyak negara (Galtung, 1996).

 

3. Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur

Papua masih berada dalam ketertinggalan ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, meskipun memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Untuk mengatasi masalah ini, Presiden Prabowo perlu memperkuat program pembangunan ekonomi dan infrastruktur, seperti pembangunan jalan, jembatan, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan. Program ini harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua secara langsung dan berkelanjutan. Kebijakan ini selaras dengan teori pembangunan ekonomi yang menyatakan bahwa peningkatan infrastruktur dan akses terhadap pelayanan dasar dapat mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi (Todaro & Smith, 2015).

 

4. Penguatan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial

Distribusi yang adil terhadap hasil pembangunan dan sumber daya alam menjadi kunci dalam mengurangi ketidakpuasan di Papua. Upaya ini harus melibatkan peningkatan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Dengan memberikan akses yang lebih luas dan adil terhadap sumber daya dan program kesejahteraan, pemerintah dapat mengurangi ketidaksetaraan dan meminimalkan potensi konflik sosial (Sen, 2000).

 

5. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

Pelanggaran HAM di Papua sering menjadi sorotan nasional dan internasional. Oleh karena itu, Presiden Prabowo harus memastikan bahwa operasi keamanan di Papua dilaksanakan sesuai dengan standar HAM dan hukum internasional. Aparat keamanan, seperti TNI dan Polri, harus dilatih untuk menerapkan pendekatan penegakan hukum yang humanis serta memastikan bahwa keamanan masyarakat terjamin tanpa adanya kekerasan berlebihan. Studi oleh Human Rights Watch (2019) menunjukkan bahwa pendekatan keamanan yang humanis dan berbasis HAM dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

6. Reformasi Militer dan Pengurangan Militerisasi

Mengurangi ketergantungan pada pendekatan militer adalah langkah penting yang perlu dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo. Penarikan sebagian pasukan militer dari Papua dan penguatan polisi lokal (Polri) yang berfokus pada pendekatan humanis dapat membantu meredakan ketegangan. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi persepsi militerisasi yang berlebihan di Papua, yang sering kali menjadi sumber ketidakpuasan. Penelitian menunjukkan bahwa desakralisasi wilayah dengan mengurangi kehadiran militer dapat menciptakan ruang dialog yang lebih kondusif (Smith, 2004).

 

7. Peningkatan Kerjasama Internasional

Prabowo dapat menggalang dukungan internasional dengan menunjukkan komitmen dalam menangani masalah Papua secara damai dan inklusif. Kerjasama dengan lembaga internasional, seperti PBB dan negara-negara tetangga, dapat memperkuat posisi Indonesia dalam forum global sekaligus mengurangi tekanan atau intervensi internasional. Dengan demikian, kerjasama ini juga dapat menjadi jaminan bahwa proses penyelesaian masalah Papua dilaksanakan secara transparan dan sesuai dengan norma internasional (Chinkin, 2000).

 

8. Desentralisasi dan Otonomi Khusus yang Efektif

Papua telah diberikan otonomi khusus, namun implementasinya belum optimal. Pemerintah Prabowo perlu memastikan bahwa kebijakan otonomi khusus benar-benar dijalankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama erat untuk memastikan bahwa kebijakan ini membawa manfaat nyata bagi masyarakat, bukan hanya bagi elit politik setempat. Dalam teori otonomi, pemberian kekuasaan dan kewenangan kepada daerah sering kali meningkatkan partisipasi dan legitimasi politik masyarakat lokal (Elazar, 1987).

 

9. Kampanye Kebudayaan dan Persatuan Nasional

Prabowo juga dapat menginisiasi program-program yang mempromosikan keberagaman budaya Papua kepada masyarakat luas serta program edukasi untuk meningkatkan pemahaman dan empati terhadap masyarakat Papua. Kampanye ini bertujuan untuk memperkuat identitas nasional yang inklusif, di mana masyarakat Papua merasa diakui dan dihargai sebagai bagian integral dari Indonesia.

 

10. Kesimpulan

Pendekatan yang seimbang antara diplomasi, pembangunan ekonomi, penghormatan HAM, dan reformasi militer adalah langkah strategis bagi Prabowo dalam menyelesaikan konflik di Papua. Dengan mengutamakan dialog dan pembangunan yang inklusif, serta meminimalkan penggunaan kekuatan militer, Papua dapat menuju arah yang lebih damai, sejahtera, dan adil dalam kerangka NKRI. Upaya ini harus dilakukan secara konsisten dan melibatkan seluruh elemen pemerintahan serta masyarakat untuk mencapai keberhasilan jangka panjang.

 

Daftar Pustaka

  • Chinkin, C. (2000). Human Rights and International Law: The Effect of International Law on Domestic Practice. Oxford University Press.
  • Elazar, D. (1987). Federalism and the Way to Peace. Institute of Intergovernmental Relations.
  • Galtung, J. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. Sage Publications.
  • Human Rights Watch. (2019). Papua: The Path to Peace. Human Rights Watch Report.
  • Sen, A. (2000). Development as Freedom. Anchor Books.
  • Smith, A. (2004). Military Presence and Political Stability in Divided Societies. University Press.
  • Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2015). Economic Development. Pearson.

 

24 Oktober 2024

PERLUNYA SATUAN INTELIJEN DI PSDKP UNTUK MENGAWASI PULAU-PULAU DAN TERUMBU KARANG SERTA PENCURIAN PASIR LAUT BERDASARKAN UU NO. 32/2014 DAN UU NO. 45/2009 TENTANG PERIKANAN

PENTINGNYA SATUAN INTELIJEN DI PSDKP UNTUK MENGAWASI PULAU-PULAU DAN TERUMBU KARANG SERTA PENCURIAN PASIR LAUT BERDASARKAN UU NO. 32/2014 DAN UU NO. 45/2009 TENTANG PERIKANAN

 

Jakarta 24 Oktober 2024

oleh : Laksda TNI (Purn) Adv. Soleman B.Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb

 

Pengantar.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan wilayah laut yang sangat luas. Wilayah ini mencakup terumbu karang yang kaya akan keanekaragaman hayati serta sumber daya laut bernilai tinggi bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, kelestarian wilayah perairan dan ekosistem laut Indonesia sering kali terancam oleh illegal fishing, eksploitasi berlebihan, dan kerusakan lingkungan. Untuk menghadapi tantangan ini, Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) memiliki peran vital dalam pengawasan dan penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Namun, cakupan tugas PSDKP yang sangat luas memerlukan dukungan satuan intelijen yang khusus untuk mengawasi pulau-pulau dan terumbu karang di wilayah perairan Indonesia, serta pengambilan pasir laut secara illegal. Artikel ini menguraikan alasan mengapa PSDKP membutuhkan satuan intelijen guna mengoptimalkan pengawasan, dengan landasan hukum dan teori yang relevan.

 

1. Tugas PSDKP Berdasarkan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

PSDKP bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan hukum terkait perikanan, termasuk pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya kelautan. UU No. 45 Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada PSDKP untuk mengawasi kepatuhan terhadap peraturan perikanan, seperti:

  • Penangkapan ikan berkelanjutan serta larangan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak.
  • Perlindungan terumbu karang dan habitat laut lainnya.
  • Pemberantasan illegal fishing, baik oleh nelayan domestik maupun asing, yang sering menjadi ancaman besar bagi ekosistem laut Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas ini, PSDKP menghadapi tantangan besar karena wilayah pengawasannya yang sangat luas, mencakup pulau-pulau terpencil dan terumbu karang yang sulit dijangkau.

 

2. Landasan Hukum: UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan memberikan kerangka hukum tambahan yang relevan untuk pengawasan laut, termasuk wilayah perairan yang meliputi pulau-pulau kecil dan terumbu karang. UU ini menegaskan pentingnya perlindungan ekosistem laut dan memandatkan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan.

Namun, meskipun UU No. 32/2014 mengatur pengelolaan laut secara komprehensif, undang-undang ini tidak memberikan sanksi pidana terhadap pelanggaran. Ini menimbulkan kekosongan dalam penegakan hukum yang efektif. Oleh karena itu, PSDKP, dengan kewenangannya sebagai penyidik di bawah UU No. 45 Tahun 2009, memegang peranan penting untuk menindak pelanggaran pengelolaan laut.

 

3. Mengapa PSDKP Memerlukan Satuan Intelijen?

Untuk menjalankan tugas pengawasannya secara efektif, PSDKP memerlukan dukungan satuan intelijen yang mampu mendeteksi ancaman lebih awal dan memberikan informasi strategis yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan preventif. Berikut beberapa alasan mengapa satuan intelijen diperlukan:

 

a. Deteksi Dini dan Pencegahan

Intelijen akan membantu PSDKP mendeteksi ancaman lebih awal, seperti aktivitas illegal fishing, penggunaan alat tangkap ilegal, serta perusakan terumbu karang. Intelijen juga dapat memberikan informasi strategis tentang pergerakan kapal-kapal pelaku illegal fishing atau pihak-pihak yang terlibat dalam eksploitasi sumber daya laut secara ilegal.

 

b. Pengawasan Pulau-Pulau Kecil dan Terumbu Karang yang Terpencil

Wilayah-wilayah terpencil seperti pulau-pulau kecil dan terumbu karang sering kali sulit dijangkau oleh pengawasan konvensional. Intelijen dapat melakukan pemantauan jarak jauh melalui teknologi, mengidentifikasi pelaku kejahatan yang beroperasi di wilayah tersebut, dan memberikan informasi yang tepat waktu kepada PSDKP.

 

c. Optimalisasi Penegakan Hukum

Informasi dari intelijen akan membantu PSDKP mengoptimalkan penegakan hukum dengan menyediakan bukti yang mendukung penanganan kasus illegal fishing, penggunaan alat tangkap ilegal, atau kerusakan lingkungan. Hal ini akan memperkuat proses penyelidikan dan memastikan pelanggar dikenakan sanksi yang tepat.

 

4. Keterbatasan Bakamla Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014

Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang dibentuk berdasarkan UU No. 32/2014 memiliki tugas utama menjaga keamanan dan keselamatan perairan Indonesia. Namun, Bakamla tidak memiliki kewenangan penyidikan dan undang-undang ini tidak mengatur sanksi pidana untuk berbagai pelanggaran terhadap pengelolaan sumber daya kelautan, seperti pencemaran atau perusakan terumbu karang.

Dengan demikian, penegakan hukum terhadap pelanggaran sumber daya kelautan, seperti illegal fishing atau perusakan terumbu karang, tidak dapat dilakukan oleh Bakamla. Sebaliknya, PSDKP yang memiliki kewenangan sebagai penyidik di bawah UU No. 45/2009 lebih tepat untuk menangani penegakan hukum dalam konteks pelanggaran sumber daya laut.

 

5. Contoh Penegakan Hukum Berbasis Intelijen

Sebagai contoh, misalkan, PSDKP menerima laporan intelijen tentang aktivitas illegal fishing menggunakan bahan peledak di wilayah terumbu karang yang dilindungi. Informasi ini menunjukkan adanya operasi terorganisir oleh jaringan nelayan yang beroperasi di perairan Indonesia. Berdasarkan laporan ini, PSDKP dapat merencanakan operasi penindakan yang lebih efektif, dengan memantau pergerakan kapal dan mengidentifikasi titik-titik rawan.

Penindakan terhadap pelaku illegal fishing ini dapat dilakukan berdasarkan Pasal 84 UU No. 45 Tahun 2009, yang mengatur sanksi pidana bagi penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan. Intelijen memungkinkan PSDKP untuk bertindak cepat dan efektif, memastikan bahwa pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

 

6. Kesimpulan: Intelijen sebagai Pilar Penting dalam Pengawasan PSDKP.

Intelijen memainkan peran kunci dalam mendukung pengawasan yang efektif oleh PSDKP terhadap pelanggaran yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 dan ditindaklanjuti melalui UU No. 45 Tahun 2009. Bakamla, meskipun memiliki tugas dalam menjaga keamanan laut, tidak memiliki kewenangan penyidikan dan tidak dapat menegakkan hukum dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Oleh karena itu, PSDKP yang memiliki kewenangan penyidikan sangat memerlukan dukungan intelijen untuk mengawasi wilayah perairan yang luas dan mendeteksi pelanggaran sejak dini.

Dengan adanya satuan intelijen, PSDKP dapat melakukan tindakan preventif, menindak pelanggaran sesuai ketentuan hukum, dan melindungi ekosistem laut Indonesia dari kerusakan yang tidak hanya mengancam keberlanjutan perikanan tetapi juga keseimbangan lingkungan secara keseluruhan.

 

Pentingnya Pembentukan Satuan Intelijen di Bawah PSDKP Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk Melindungi Sumber Daya Laut

Pentingnya Pembentukan Satuan Intelijen di Bawah PSDKP Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk Melindungi Sumber Daya Laut

 

Jakarta 24 Oktober 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv. Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.

 

1. Pengantar.

Indonesia, sebagai negara maritim terbesar di dunia, memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar, termasuk perikanan, terumbu karang, minyak dan gas, hingga pasir laut. Potensi ini tidak hanya membawa keuntungan ekonomi, tetapi juga menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai target pencurian oleh kapal-kapal asing yang beroperasi secara ilegal. Dalam rangka melindungi kekayaan laut Indonesia, artikel ini mengelaborasi perlunya pembentukan satuan intelijen di bawah Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk meningkatkan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Wilayah laut Indonesia sangat luas, mencakup lebih dari 3,25 juta km² dengan garis pantai sepanjang lebih dari 81.000 km. Wilayah ini tidak hanya menyediakan berbagai sumber daya alam yang berharga, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai target empuk bagi aktivitas ilegal, seperti pencurian ikan (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing), penyelundupan, dan pencurian pasir laut. Aktivitas ilegal ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas ekosistem dan keamanan nasional.

PSDKP, sebagai lembaga yang bertugas melakukan pengawasan di wilayah laut Indonesia, menghadapi tantangan besar mengingat luasnya area yang harus diawasi dan tingginya frekuensi aktivitas ilegal. Oleh karena itu, integrasi fungsi intelijen di bawah PSDKP menjadi solusi strategis untuk memaksimalkan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum.

Melalui kajian mendalam mengenai peran intelijen dalam penegakan hukum, artikel ini memberikan rekomendasi tentang bagaimana satuan intelijen dapat mendukung upaya perlindungan sumber daya laut, khususnya melalui studi kasus penangkapan kapal pencuri pasir.

 

2. Intelijen : Pilar Pengawasan Efektif

Intelijen memainkan peran penting dalam mengumpulkan dan menganalisis informasi terkait ancaman dan aktivitas ilegal di perairan. Beberapa alasan utama mengapa satuan intelijen maritim di bawah PSDKP diperlukan adalah:

  • Deteksi Dini dan Pencegahan: Intelijen memungkinkan deteksi dini terhadap aktivitas mencurigakan di wilayah perairan. Dengan informasi yang akurat dan tepat waktu, PSDKP dapat merencanakan tindakan pencegahan sebelum aktivitas ilegal terjadi.
  • Efisiensi Operasional: Tanpa dukungan intelijen, operasi patroli PSDKP sering kali bersifat reaktif, yang berarti mereka hanya merespons setelah aktivitas ilegal terjadi. Dengan adanya intelijen, operasi patroli dapat dilakukan secara proaktif dan berbasis informasi, menghemat waktu dan sumber daya.
  • Analisis Risiko: Intelijen membantu menganalisis pola dan modus operandi dari aktivitas kriminal di laut. Analisis ini memberikan panduan dalam menentukan prioritas area pengawasan dan metode operasi yang paling efektif.

 

3. Peran Satuan Intelijen di Bawah PSDKP

Satuan intelijen yang diusulkan di bawah PSDKP memiliki beberapa fungsi kritis, yang meliputi:

  1. Pengumpulan Informasi dan Data:
    • Melalui penggunaan teknologi seperti satelit, drone, dan sistem pelacakan otomatis (AIS - Automatic Identification System), intelijen dapat mengumpulkan data real-time tentang pergerakan kapal dan aktivitas di wilayah laut Indonesia.
    • Peningkatan koordinasi dengan komunitas lokal dan nelayan untuk mendapatkan informasi langsung dari lapangan, yang dapat memperkaya data intelijen.
  2. Analisis Intelijen:
    • Setelah data dikumpulkan, tim intelijen menganalisis informasi untuk mengidentifikasi pola-pola kriminal dan menentukan area dengan risiko tinggi pencurian.
    • Analisis ini juga mencakup pemetaan jaringan kriminal maritim yang beroperasi di perairan Indonesia, sehingga memudahkan PSDKP untuk mengidentifikasi dan menindak kelompok yang beroperasi.
  3. Dukungan Operasional:
    • Intelijen akan memberikan informasi yang diperlukan kepada unit patroli dan penegak hukum untuk merencanakan dan melaksanakan operasi secara efektif.
    • Operasi berbasis intelijen akan meningkatkan peluang keberhasilan penangkapan kapal-kapal ilegal dan mengurangi kerugian ekonomi akibat eksploitasi ilegal.

 

4. Studi Kasus: Penangkapan Kapal Pencuri Pasir

Pencurian pasir laut menjadi salah satu masalah signifikan di perairan Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah seperti Kepulauan Riau dan Laut Natuna. Pasir laut, yang digunakan dalam berbagai proyek konstruksi, sering kali menjadi target kapal-kapal asing yang beroperasi secara ilegal. Kasus penangkapan kapal pencuri pasir laut mengilustrasikan perlunya intelijen dalam pengawasan laut:

  • Modus Operandi: Kapal-kapal ini sering kali beroperasi pada malam hari atau menggunakan jalur-jalur yang sulit terjangkau oleh patroli reguler PSDKP. Mereka juga memanfaatkan perubahan cuaca atau jalur perdagangan internasional untuk menyamarkan aktivitas ilegal mereka.
  • Peran Intelijen: Dengan adanya satuan intelijen, pergerakan kapal-kapal ini dapat dipantau melalui data satelit dan informasi dari nelayan setempat. Intelijen juga dapat mengidentifikasi kapal-kapal yang tidak melaporkan keberadaan mereka atau yang mematikan AIS untuk menyembunyikan identitas.
  • Efektivitas Penangkapan: Berdasarkan informasi yang diperoleh, unit patroli PSDKP dapat menargetkan area-area dengan risiko tinggi dan melakukan operasi penangkapan dengan dukungan alat navigasi dan radar canggih. Dalam kasus ini, intelijen berperan penting dalam memberikan informasi akurat yang memungkinkan operasi berlangsung cepat dan efektif.

 

5. Implementasi dan Tantangan

Untuk merealisasikan satuan intelijen di bawah PSDKP, beberapa langkah dan dukungan diperlukan:

  • Penguatan Infrastruktur Teknologi: Penggunaan satelit, drone, dan sistem pemantauan berbasis teknologi perlu ditingkatkan. Pengembangan pusat komando yang dapat mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber juga menjadi kunci keberhasilan.
  • Pelatihan Personel Intelijen: Sumber daya manusia yang kompeten diperlukan untuk menjalankan operasi intelijen. Pelatihan khusus dalam analisis intelijen maritim, penggunaan teknologi pemantauan, dan koordinasi dengan unit patroli harus diutamakan.
  • Kerja Sama Internasional: Mengingat karakter lintas negara dari aktivitas ilegal di laut, kerja sama dengan negara-negara tetangga dan lembaga internasional seperti Interpol dan FAO juga diperlukan untuk berbagi informasi dan melaksanakan operasi bersama.

 

6. Kesimpulan

Pembentukan satuan intelijen di bawah PSDKP sangat penting untuk meningkatkan efektivitas perlindungan sumber daya laut Indonesia. Dengan adanya intelijen yang terintegrasi, PSDKP dapat lebih proaktif dan efisien dalam mencegah dan menindak aktivitas ilegal. Studi kasus pencurian pasir laut menunjukkan bagaimana satuan intelijen mampu memberikan informasi yang krusial dalam operasi penegakan hukum. Dengan dukungan teknologi, pelatihan personel, dan kerja sama internasional, satuan intelijen ini dapat menjadi pilar utama dalam memastikan keberlanjutan dan keamanan sumber daya laut Indonesia.

 

BAHAYA PANDEMIC AGREEMENT TERHADAP KEDAULATAN NEGARA: KAJIAN HUKUM DAN KEDAULATAN NEGARA

BAHAYA PANDEMIC AGREEMENT TERHADAP KEDAULATAN NEGARA: KAJIAN HUKUM DAN KEDAULATAN NEGARA

 

Jakarta 24 Oktober 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, Cpm, CParb.*)

 

Pengantar.

Pandemic Agreement merupakan instrumen hukum internasional yang bertujuan untuk memperkuat kolaborasi global dalam menghadapi pandemi. Meskipun memiliki tujuan baik dalam meningkatkan respons dan kesiapsiagaan global terhadap pandemi, perjanjian ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait kedaulatan negara. 

 

1. Pendahuluan

Pandemi global, seperti pandemi COVID-19, menegaskan pentingnya kerjasama internasional dalam menangani penyebaran penyakit menular. Untuk tujuan tersebut, badan internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan pengembangan Pandemic Agreement guna memperkuat sistem kesehatan global melalui pendekatan kolektif. Namun, keberadaan perjanjian ini menimbulkan dilema bagi kedaulatan negara, mengingat negara diharuskan untuk mematuhi aturan dan protokol internasional yang mungkin tidak selaras dengan kepentingan atau kondisi lokal. 

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dampak dan potensi bahaya yang ditimbulkan Pandemic Agreement terhadap kedaulatan negara, khususnya dalam konteks hukum internasional dan hukum domestik. Dengan menggunakan pendekatan normatif dan analisis hukum kritis, tulisan ini mengkaji pembatasan kedaulatan negara, intervensi kebijakan, monopoli sumber daya, dan ancaman terhadap sistem hukum dan privasi.

Tulisan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis bahaya yang mungkin timbul dari implementasi Pandemic Agreement terhadap kedaulatan negara.

 

2. Pembatasan Kedaulatan dalam Pengambilan Keputusan

Pandemic Agreement berpotensi membatasi kedaulatan negara melalui penetapan standar dan protokol global yang harus dipatuhi oleh negara-negara pihak. Hal ini dapat dilihat pada aturan yang mengharuskan negara untuk menyerahkan sebagian wewenang dalam pengambilan keputusan kebijakan kesehatan kepada otoritas internasional, seperti WHO. Dalam konteks ini, negara tidak memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan kebijakan kesehatan dengan kebutuhan nasionalnya karena dibatasi oleh ketentuan perjanjian.

Sebagai contoh, jika suatu negara ingin menerapkan kebijakan yang lebih ketat atau lebih longgar dalam penanganan pandemi, ia mungkin terhambat oleh ketentuan Pandemic Agreement yang mengharuskan keseragaman tindakan. Ini menimbulkan risiko di mana negara kehilangan kemampuan untuk merespons secara independen dan adaptif sesuai dengan kebutuhan spesifik rakyatnya.

 

3. Intervensi Asing dalam Kebijakan Nasional

Salah satu aspek kontroversial dari Pandemic Agreement adalah potensi intervensi asing dalam kebijakan domestik negara. Ketika negara dianggap tidak mematuhi atau gagal menerapkan ketentuan perjanjian, badan internasional atau negara lain dapat menggunakan instrumen diplomatik atau ekonomi untuk menekan negara tersebut agar mematuhi protokol internasional. Hal ini merusak kedaulatan negara dan menciptakan ketergantungan pada entitas eksternal dalam menentukan kebijakan nasional.

Contoh nyata dapat dilihat pada sanksi atau tekanan internasional terhadap negara-negara yang dianggap tidak kooperatif selama pandemi COVID-19, yang mengindikasikan bagaimana pengaruh eksternal dapat membatasi kebebasan negara dalam menentukan kebijakan kesehatan nasional.

 

4. Ancaman terhadap Sistem Hukum dan Regulasi Lokal

Pandemic Agreement berpotensi bertentangan dengan sistem hukum dan peraturan domestik suatu negara. Dalam beberapa kasus, negara mungkin diwajibkan untuk menyesuaikan atau mengubah undang-undang dan peraturan untuk memenuhi standar internasional yang ditetapkan dalam perjanjian. Ini menimbulkan tantangan serius terhadap integritas hukum nasional, terutama jika ketentuan internasional tersebut bertentangan dengan konstitusi atau nilai-nilai hukum lokal.

Sebagai ilustrasi, negara yang menganut sistem hukum berbasis syariah mungkin menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan kebijakan kesehatan yang diatur oleh perjanjian internasional yang tidak mempertimbangkan norma agama. Selain itu, beberapa negara yang memiliki otonomi hukum yang kuat dalam menangani kesehatan masyarakat dapat terancam dengan adanya ketentuan yang mengikat secara internasional, yang memaksa mereka mengubah kebijakan yang telah lama diakui secara konstitusional.

 

5. Potensi Monopoli dan Penguasaan Sumber Daya

Pandemic Agreement juga dapat mengarah pada monopoli penguasaan atas sumber daya kesehatan, seperti vaksin dan alat medis, oleh entitas internasional atau negara-negara tertentu. Hal ini mengurangi kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya kesehatannya sendiri dan dapat menyebabkan ketergantungan pada pasokan medis yang dikendalikan oleh negara maju atau perusahaan farmasi multinasional.

Ketika negara tidak memiliki kendali penuh atas distribusi vaksin atau obat-obatan, hal ini tidak hanya mengancam kemandirian dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap perawatan kesehatan di tingkat global. Negara-negara berkembang dapat menjadi korban ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, yang memperburuk ketergantungan mereka pada negara atau entitas eksternal.

 

6. Risiko Terhadap Keamanan dan Privasi Data

Pandemic Agreement sering kali mencakup ketentuan mengenai pertukaran data antarnegara, termasuk data kesehatan pribadi. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pemantauan dan respons terhadap penyakit, ada risiko bahwa data tersebut dapat disalahgunakan atau bocor ke pihak ketiga yang tidak berwenang. Ini mengancam privasi individu serta kedaulatan negara dalam melindungi data warganya.

Selain itu, penggunaan data oleh badan internasional tanpa pengawasan yang memadai dari negara asal data dapat memicu pelanggaran hukum domestik terkait perlindungan data dan privasi. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun Pandemic Agreement dapat meningkatkan koordinasi internasional, ia juga mengandung risiko yang memerlukan perlindungan tambahan untuk menjaga hak dan kedaulatan negara.

 

7. Kesimpulan

Pandemic Agreement dapat memberikan kontribusi positif dalam penanganan pandemi global melalui mekanisme kolaboratif dan protokol standar. Namun, perjanjian ini juga mengandung risiko serius terhadap kedaulatan negara, mulai dari pembatasan dalam pengambilan keputusan hingga ancaman terhadap sistem hukum domestik. Negara-negara harus hati-hati dalam meratifikasi perjanjian ini dan memastikan bahwa kepentingan nasional tetap dilindungi. Diperlukan pendekatan yang seimbang antara kerjasama internasional dan perlindungan kedaulatan negara agar pandemi dapat ditangani tanpa mengorbankan kemandirian negara dalam menetapkan kebijakan kesehatan.

Untuk itu disarankan agar Indonesia tidak ikut menanda tangani Pandemic Agreement ini.

 

Daftar Pustaka

  1. World Health Organization. (2024). Draft Pandemic Agreement: Building Global Health Resilience.
  2. United Nations. (2023). International Health Regulations: Challenges and Future Directions.
  3. Budiarto, T. (2022). Kedaulatan Negara dan Tantangan Globalisasi dalam Hukum Kesehatan. Jakarta: Pustaka Nusantara.
  4. Kartini, A. (2023). Intervensi Asing dalam Kebijakan Kesehatan Nasional: Sebuah Tinjauan Kritis. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

 

*) Kabais TNI 2011-2013

22 Oktober 2024

Tinjauan Hukum: Kesalahan Bakamla dalam Menafsirkan Pelanggaran di Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS dan Implikasinya Terhadap Citra Indonesia

Tinjauan Hukum: Kesalahan Bakamla dalam Menafsirkan Pelanggaran di Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS dan Implikasinya Terhadap Citra Indonesia

 

Jakarta 22 Oktober 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb.*)

 

Pada tanggal 21/10 2024, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI menggunakan KN Tanjung Datu 301 mengusir kapal Coast Guard China (CCG) yang menurut Bakamla masuk serta mengganggu kegiatan survei dan pengolahan data seismik 3D Arwana di Laut Natuna Utara[1].

Tindakan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dalam mengusir kapal Coast Guard China (CCG) di Laut Natuna Utara baru-baru ini menjadi perhatian internasional. Langkah tersebut menunjukkan kekeliruan dalam penerapan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. 

Kesalahan ini tidak hanya mencerminkan ketidaktahuan tentang hukum laut internasional, tetapi juga berpotensi mempermalukan Indonesia di mata dunia. Artikel ini mengurai secara sistematis kesalahan yang dilakukan Bakamla dalam menafsirkan pelanggaran di landas kontinen dan dampaknya terhadap reputasi Indonesia.

 

1. Kekeliruan dalam Memahami Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Kebebasan Navigasi

Menurut UNCLOS, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah wilayah sejauh 200 mil laut dari garis pangkal pantai negara pantai, di mana negara tersebut memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Namun, di ZEE, kapal asing tetap memiliki hak kebebasan navigasi (freedom of navigation) selama mereka tidak terlibat dalam kegiatan yang mengganggu atau mengancam keamanan dan ketertiban negara pantai.

Dalam kasus di Laut Natuna Utara, Bakamla mengklaim bahwa kehadiran kapal CCG merupakan pelanggaran di landas kontinen Indonesia. Namun, jika kapal CCG hanya berada di ZEE tanpa melakukan aktivitas eksploitasi atau operasi militer yang mengancam, mereka sebenarnya masih berada dalam hak freedom of navigation yang diatur oleh UNCLOS. Tindakan Bakamla yang mengusir kapal CCG tanpa alasan yang jelas merupakan kekeliruan karena mengabaikan hak kebebasan navigasi yang diatur untuk kapal asing di ZEE. Kesalahan ini menunjukkan kurangnya pemahaman Bakamla terhadap aturan internasional dan dapat dilihat sebagai tindakan sewenang-wenang di mata dunia.

 

2. Keliru dalam Mengaitkan Innocent Passage dengan ZEE

Salah satu kesalahan signifikan yang dilakukan Bakamla adalah menganggap bahwa prinsip innocent passage berlaku di ZEE. Dalam UNCLOS, innocent passage hanya berlaku di laut teritorial, yaitu wilayah perairan sejauh 12 mil laut dari garis pangkal pantai negara pantai. Innocent passage memberikan hak bagi kapal asing untuk melintas secara damai di perairan laut teritorial, selama tidak melakukan aktivitas yang mengganggu keamanan atau ketertiban negara pantai.

ZEE bukanlah laut teritorial, dan oleh karena itu, prinsip innocent passage tidak dapat diterapkan di sana. Sebaliknya, ZEE memberikan kebebasan bagi kapal asing untuk melakukan navigasi dan penerbangan sesuai dengan hak freedom of navigation. Bakamla keliru dengan menganggap bahwa kapal CCG melanggar prinsip innocent passage di ZEE, padahal hak tersebut tidak relevan di wilayah tersebut. Kesalahan interpretasi ini dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap profesionalisme aparat keamanan Indonesia di tingkat internasional.

 

3. Ketidaktepatan dalam Menilai Pelanggaran di Landas Kontinen

Bakamla juga menyebut bahwa kapal CCG melanggar landas kontinen Indonesia di Laut Natuna Utara. Dalam UNCLOS, landas kontinen adalah perpanjangan alami dari daratan di bawah laut yang dapat melampaui 200 mil laut. Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di landas kontinen, tetapi ini tidak berarti negara tersebut memiliki kedaulatan penuh atas permukaan air di atasnya. Hak kebebasan navigasi tetap berlaku di atas landas kontinen.

Jika kapal asing tidak terlibat dalam aktivitas eksploitasi atau gangguan terhadap hak berdaulat negara pantai atas sumber daya alam di landas kontinen, kehadiran kapal tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran. Bakamla seharusnya membedakan antara hak atas eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen dan hak kebebasan navigasi di perairan di atasnya. Tindakan pengusiran kapal asing tanpa adanya bukti eksploitasi atau pelanggaran hak berdaulat di landas kontinen merupakan kesalahan dalam penegakan hukum laut. Tindakan ini memperlihatkan Indonesia sebagai negara yang kurang memahami hukum internasional, yang bisa mencoreng citra bangsa di mata komunitas internasional.

 

4. Mengabaikan Pendekatan Diplomasi dan Resolusi Damai

Kesalahan lainnya adalah Bakamla tidak menggunakan pendekatan diplomatik sebelum melakukan tindakan pengusiran. UNCLOS menganjurkan negara-negara untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hak dan aktivitas di ZEE dan landas kontinen melalui jalur diplomatik dan mekanisme resolusi damai. Mengusir kapal asing tanpa klarifikasi atau negosiasi awal dapat meningkatkan ketegangan diplomatik dan menciptakan preseden yang merugikan Indonesia di masa mendatang.

Dengan tidak memanfaatkan mekanisme resolusi yang ada, Bakamla menunjukkan kurangnya pemahaman akan pendekatan yang diamanatkan UNCLOS untuk menjaga ketertiban dan keamanan di perairan internasional. Pendekatan agresif seperti ini, yang tidak sesuai dengan prinsip hukum laut internasional, dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang menghormati hukum internasional dan menjaga stabilitas di wilayahnya.

 

5. Citra Indonesia di Mata Internasional

Seluruh tindakan yang diambil oleh Bakamla dalam mengusir kapal CCG tanpa alasan yang jelas mencerminkan kesalahan dalam pemahaman hukum laut internasional. Kesalahan ini tidak hanya menciptakan ketegangan dengan negara lain, tetapi juga dapat mempermalukan Indonesia di tingkat internasional. Komunitas global yang berpatokan pada UNCLOS dapat melihat Indonesia sebagai negara yang tidak konsisten dan kurang profesional dalam mengelola dan mengawasi wilayah lautnya.

Tindakan Bakamla, jika tidak segera dikoreksi, berisiko memperkuat persepsi negatif ini dan melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi internasional, terutama dalam konteks sengketa maritim. Sebagai negara yang sering menekankan pentingnya menghormati hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa, Indonesia perlu memastikan bahwa aparatnya bertindak sesuai dengan standar internasional. Gagal melakukannya hanya akan merugikan kepentingan nasional dan mempermalukan Indonesia sebagai bangsa.

 

Kesimpulan

Tindakan Bakamla dalam mengusir kapal Coast Guard China di Laut Natuna Utara tidak sesuai dengan ketentuan UNCLOS mengenai freedom of navigation dan innocent passage. Pengusiran kapal asing tanpa bukti pelanggaran nyata atau aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang melanggar hak berdaulat Indonesia menunjukkan adanya kesalahan dalam menafsirkan hukum laut. Kesalahan ini tidak hanya berdampak negatif pada hubungan diplomatik dengan negara lain, tetapi juga berpotensi mempermalukan Indonesia di mata dunia, menimbulkan persepsi bahwa aparat keamanan Indonesia kurang memahami dan tidak mampu menegakkan hukum laut internasional secara profesional. Untuk menghindari hal tersebut, Bakamla perlu meningkatkan pemahaman dan kapabilitasnya dalam menerapkan UNCLOS secara tepat agar dapat melindungi kepentingan nasional tanpa melanggar prinsip hukum internasional serta menjaga citra dan reputasi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen pada stabilitas dan hukum internasional.

*) Kabais TNI 2011-2013



[1]https://oceanweek.co.id/bakamla-usir-kapal-coast-guard-china-di-natuna/

21 Oktober 2024

Kemajuan Signifikan di Dunia Pelayaran: Perlindungan Hukum dan Kepastian Bagi Kapal Niaga di Indonesia

Kemajuan Signifikan di Dunia Pelayaran: Perlindungan Hukum dan Kepastian Bagi Kapal Niaga di Indonesia

 

Jakarta 21 Oktober 2024

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv. Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb

 

Perkembangan hukum di dunia pelayaran Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan, khususnya dengan adanya revisi terhadap Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Revisi ini, yang mencakup Pasal 276, 277, 278, dan 281, memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih kuat bagi kapal-kapal niaga yang berlayar di perairan Indonesia. Perubahan ini mencegah penangkapan kapal secara sembarangan oleh berbagai instansi, sebuah masalah yang sebelumnya sering terjadi dan merugikan dunia pelayaran.

 

Kewenangan Tunggal KPLP dalam Pemeriksaan Kapal

Revisi undang-undang ini menetapkan bahwa Kementerian Perhubungan melalui Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) adalah satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan penegakan hukum terhadap kapal yang berlayar. Kewenangan tunggal ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih dan penyalahgunaan kekuasaan oleh instansi lain yang sebelumnya sering terjadi. Dengan adanya aturan ini, hanya KPLP yang dapat memeriksa dan menghentikan kapal yang berlayar, serta mengambil tindakan hukum yang diperlukan.

 

Pasal 276-281: Perlindungan Hukum Terhadap Kapal Niaga

  • Pasal 276 memberikan kewenangan penuh kepada Menteri Perhubungan, melalui KPLP, untuk mengawasi dan menegakkan hukum terkait keselamatan dan keamanan pelayaran.
  • Pasal 277 menegaskan tugas KPLP dalam melakukan pengawasan atas keselamatan dan keamanan pelayaran, termasuk memastikan kelayakan kapal dan pencegahan pencemaran di laut.
  • Pasal 278 menegaskan bahwa penyidikan di bidang pelayaran merupakan kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian Perhubungan, yaitu KPLP.
  • Pasal 281 menegaskan bahwa Menteri Perhubungan wajib mengeluarkan peraturan menteri yang memastikan implementasi dari ketentuan-ketentuan ini secara efektif.

 

Konsekuensi Hukum bagi Instansi yang Melanggar

Salah satu konsekuensi penting dari revisi undang-undang ini adalah bahwa instansi lain seperti TNI AL, Polri, atau Bakamla tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa kapal niaga yang berlayar, kecuali ada pelanggaran pidana di luar ketentuan pelayaran yang jelas dan nyata. Setiap tindakan penghentian dan pemeriksaan kapal yang dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan di luar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang ini dapat diajukan ke pra peradilan.

 

Pra Peradilan sebagai Mekanisme Perlindungan Hukum

Perusahaan pelayaran kini memiliki hak untuk mengajukan pra peradilan jika kapal mereka dihentikan atau diperiksa oleh instansi yang tidak memiliki kewenangan sesuai dengan revisi UU No. 17/2008. Pra peradilan ini bertujuan untuk mengevaluasi keabsahan tindakan penangkapan atau pemeriksaan tersebut dan memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan. Jika pengadilan memutuskan bahwa tindakan tersebut tidak sah, maka instansi yang melakukan tindakan tanpa kewenangan akan diminta untuk memberikan ganti rugi atau sanksi lainnya.

 

Pentingnya Peran Perusahaan Pelayaran dalam Melindungi Hak Mereka.

Dengan adanya peraturan yang jelas ini, perusahaan pelayaran harus lebih proaktif dalam melindungi hak-hak mereka. Jika terjadi penghentian atau penangkapan yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 17/2008, perusahaan pelayaran harus segera mengajukan pra peradilan untuk membela diri. Hal ini tidak hanya penting untuk melindungi operasional mereka tetapi juga untuk memastikan bahwa instansi pemerintah menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

 

Kesimpulan

Revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah membawa kemajuan signifikan dalam dunia pelayaran Indonesia. Kewenangan tunggal yang diberikan kepada KPLP memastikan bahwa penegakan hukum di laut dilakukan dengan cara yang profesional dan sesuai dengan aturan. Dengan adanya mekanisme pra peradilan, perusahaan pelayaran memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat dan dapat menentang tindakan yang tidak sah oleh instansi lain, sehingga operasional pelayaran dapat berjalan lebih lancar dan efisien, tanpa gangguan yang tidak perlu.

 

14 Oktober 2024

Pentingnya Prosedur Pemeriksaan Kapal oleh Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) untuk menghindari Pra peradilan oleh kapal yang diberhentikan.