TNI dan Penanggulangan Narkotik: Realita yang Tak Bisa Dihindari
Jakarta 26 Maret 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)
Peredaran narkotik di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan yang signifikan. Alih-alih mereda, kejahatan narkoba justru makin brutal dan menyusup ke segala lini, termasuk lembaga penegak hukum itu sendiri. Fakta-fakta di pengadilan dan investigasi internal kepolisian telah membuktikan: mulai dari oknum Kapolsek, Kasat Narkoba, hingga perwira tinggi Polri berpangkat jenderal bintang dua, terjerat kasus narkoba, baik sebagai pengguna maupun pelindung sindikat.
Kenyataan ini menggugah pertanyaan besar: apakah lembaga negara yang selama ini diberi kewenangan penuh, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri, telah benar-benar mampu memberantas narkoba hingga ke akar-akarnya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab dengan teori. Data dan fakta sudah bicara sendiri. Peredaran narkotik di Indonesia tetap marak, bahkan kian tak terkendali. Dalam situasi darurat seperti ini, semestinya negara merangkul semua kekuatan nasional—termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)—untuk ambil bagian dalam perang melawan narkoba. Namun ironisnya, setiap kali TNI menunjukkan keseriusannya untuk ikut serta dalam pemberantasan narkotik, respons yang diterima justru penolakan mentah-mentah. Alasannya? TNI dianggap tidak memiliki kewenangan formal.
Padahal, TNI memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk menjaga ketahanan internalnya dari ancaman narkoba. Jika ada prajurit yang terindikasi sebagai pengguna atau pengedar, TNI tidak akan tinggal diam. Operasi internal dilakukan secara tegas. Dan perlu dicatat: tidak ada satu pun institusi negara yang dapat melarang TNI untuk menertibkan anggotanya dari bahaya narkotik.
Namun di sinilah titik rawan yang harus dipahami negara: ketika TNI melakukan operasi internal, tidak tertutup kemungkinan jejak peredaran narkoba yang ditelusuri oleh TNI merambah ke luar institusi militer. Narkoba tidak mengenal batas sipil-militer. Jaringan distribusinya menyebar lintas institusi, wilayah, dan bahkan lintas negara. Maka, operasi TNI pun bisa meluas keluar, mengikuti arus peredaran narkoba yang sebenarnya.
Inilah potensi konflik yang rawan. Ketika TNI bertindak karena kebutuhan menyelamatkan anggota dan institusinya, namun negara tidak memberikan payung hukum yang jelas, maka benturan kewenangan antar-lembaga menjadi tak terhindarkan. Padahal, niat TNI adalah murni untuk menyelamatkan generasi bangsa—termasuk anggotanya sendiri—dari kerusakan akibat narkoba.
Narkoba adalah ancaman nasional. Ia menyasar siapa saja: sipil, polisi, tentara, pelajar, pejabat, hingga rakyat jelata. Jika ancamannya menyeluruh, maka respons negara pun harus menyeluruh. Sudah waktunya negara mengakhiri ego sektoral dalam perang melawan narkoba. Jangan sampai karena persoalan administratif kewenangan, kita justru menutup pintu bagi kekuatan negara yang sebenarnya sanggup membantu.
Memberi ruang formal bagi TNI untuk ambil bagian dalam penanggulangan narkoba bukanlah bentuk militerisasi, melainkan tindakan realistis dalam menghadapi krisis. Negara yang kuat adalah negara yang mampu mengerahkan seluruh elemen kekuatannya untuk menghadapi ancaman besar.
Jika narkoba sudah menyasar jantung pertahanan dan penegakan hukum, maka sudah saatnya kita berkata: cukup. Dan cukup hanya bisa diakhiri jika semua kekuatan bangsa—termasuk TNI—ikut terlibat aktif dan diberi mandat penuh dalam perang melawan narkoba.
*)Kabais TNI 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar