Angkatan Laut dan Si Bakamla: Perebutan Kursi di Samudra
Pantai Jakarta 18 Maret 2025
Lamunan dari Soleman B Ponto, Detektif Romantika
Di sebuah ruang rapat megah di atas kapal perang KRI Garuda Jaya, Angkatan Laut, Mayor Baharudin duduk dengan gagah, memandangi tumpukan dokumen revisi UU TNI. Di seberangnya, Kolonel Bakamla Sudiro duduk dengan penuh percaya diri, sambil membetulkan kerah bajunya yang mulai terasa semakin ketat karena debat yang makin panas.
"Jadi begini, Kapten Bahar," kata Sudiro, sambil mengetuk meja. "Kami di Bakamla merasa sudah waktunya masuk ke dalam sistem keamanan laut sebagai unsur militer. Toh, kami juga sering patroli, punya kapal, dan pakai seragam. Jadi ya, kenapa tidak sekalian jadi bagian militer?"
Mayor Baharudin mengangkat alisnya. "Begini, Kolonel," katanya dengan nada hati-hati, "Masalahnya, keamanan laut itu sudah jelas ada dalam sistem pertahanan negara. Dan sesuai UU No. 3/2002, kalau ada ancaman militer di laut, yang bertanggung jawab ya TNI AL. Kalau Bakamla masuk sebagai militer juga, nanti siapa yang pegang komando? Masa kita bertarung dulu siapa yang lebih berhak jaga laut?"
Kolonel Sudiro tertawa kecil, "Halah, itu kan cuma masalah teknis. Yang penting, Bakamla bisa ikut-ikutan jadi unsur militer juga. Kita kan sama-sama jaga laut. Bukankah semakin banyak yang jaga, semakin aman?"
"Oh, jadi kalau di satu rumah sudah ada satu kepala keluarga, terus ada yang mau jadi kepala keluarga lagi, itu bagus?" balas Mayor Baharudin dengan senyum tipis.
Sudiro terdiam sejenak. "Eh... Maksudnya?"
"Maksudnya," kata Baharudin, "Kalau Bakamla masuk sebagai unsur militer, lalu TNI AL juga unsur militer, berarti nanti ada dua institusi militer yang sama-sama ingin mengamankan laut. Lah, kalau terjadi ancaman militer beneran, siapa yang komando? Apa kita malah ribut sendiri di tengah laut?"
Sudiro mulai menggaruk kepala. "Tapi... Tapi kita kan punya kapal sendiri!"
Mayor Baharudin mendengus. "Kami juga punya kapal, bahkan kapal perang. Kalau tiba-tiba ada kapal asing masuk perairan kita tanpa izin, siapa yang harus bertindak? TNI AL atau Bakamla?"
Sudiro makin bingung. "Ya... Kita diskusi dulu mungkin?"
Baharudin terkekeh. "Diskusi? Kalau ada kapal perang asing masuk perairan kita, kita tidak punya waktu buat rapat dulu, Kolonel. Tugas kami sebagai bagian dari sistem pertahanan laut itu sudah jelas: kami harus bergerak. Kalau Bakamla ikut-ikutan jadi militer, nanti kita malah ribut di internal sendiri sebelum bertindak."
Sudiro mencoba mencari argumen lain. "Tapi, kalau kita tidak jadi militer, kita nggak bisa melakukan tindakan yang lebih tegas!"
"Kalau ingin lebih tegas, lebih baik Bakamla dibubarkan saja dan kembali masuk ke TNI AL. Simpel, kan?"Baharudin tersenyum puas.
Kolonel Sudiro kaget. "Eh, kok malah bubar?"
"Lho, iya," kata Baharudin. "Tidak mungkin ada dua institusi militer sejajar dalam sistem pertahanan laut. Kalau Bakamla ingin menjadi bagian dari militer, ya berarti harus bergabung dengan TNI AL. Kalau tetap ingin berdiri sendiri, ya tidak bisa menjadi unsur militer. Tidak mungkin kita punya dua kepala dalam satu kapal, nanti malah oleng sendiri sebelum menghadapi musuh."
Sudiro termenung. Di kepalanya, ia mulai membayangkan kapal perang TNI AL dan kapal Bakamla yang berpapasan di lautan, saling melotot, menunggu perintah siapa yang harus bertindak dulu. "Wah, bisa ribet juga kalau begini..."gumamnya.
Mayor Baharudin tersenyum sambil menepuk bahu Sudiro. "Sudahlah, Kolonel. Daripada kita berdebat siapa yang lebih pantas di laut, lebih baik kita fokus bagaimana meningkatkan koordinasi. Keamanan laut itu penting, tapi harus jelas siapa yang bertanggung jawab di mana. Kalau ada ancaman militer, ya TNI AL. Tidak perlu ada tambahan militer lain yang malah bikin pusing sendiri."
Sudiro akhirnya mengangguk pasrah. "Ya sudah, kalau begitu, revisi ini memang perlu dipikirkan ulang..."
"Betul," kata Mayor Baharudin sambil tersenyum lebar. "Dan sementara itu, mari kita makan siang dulu. Soal keamanan laut, kita bahas lagi setelah perut aman!"
Keduanya pun tertawa, dan untuk sementara, lautan Indonesia tetap aman dari ancaman... kecuali mungkin dari perut yang mulai keroncongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar