TANGGAPAN TERHADAP DIPERTAHANKANNYA NORMA “POLRI SEBAGAI PENYIDIK UTAMA” DALAM RKUHAP BESERTA AKIBATNYA BAGI PPNS DAN KEJAKSAAN
Jakarta 14 November 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
I. Pendahuluan
Pernyataan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman bahwa ketentuan “Polri sebagai penyidik utama” dalam Pasal 6 RKUHAP tidak dihapus dan tetap dipertahankan karena dianggap sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi merupakan isu yang sangat penting dalam arsitektur hukum acara pidana Indonesia.
Meskipun benar bahwa MK pernah menegaskan keberadaan Polri sebagai penyidik, MK tidak pernah memerintahkanmodel hierarkis berupa “penyidik utama—penyidik khusus” apalagi menjadikan Polri sebagai otoritas sentralpenyidikan bagi seluruh penyidik di Indonesia.
Karena itu, mempertahankan norma “Polri penyidik utama” dalam RKUHAP memiliki dampak besar:
➡ terhadap sistem penyidikan,
➡ terhadap PPNS,
➡ terhadap Kejaksaan,
➡ terhadap asas due process of law,
➡ dan terhadap konstitusi (UUD 1945).
II. Pemaknaan Konsep “Penyidik Utama” dalam RKUHAP
RKUHAP memaknai “penyidik utama” sebagai:
- penyidik yang memimpin, mengendalikan, mengkoordinasikan penyidikan,
- menjadi satu-satunya pintu masuk berkas penyidikan ke kejaksaan,
- berlaku untuk seluruh jenis tindak pidana,
- meletakkan PPNS di bawah tanggung jawab koordinasi Polri.
Model ini menciptakan sentralisasi penyidikan dan menjadikan Polri sebagai pengendali tunggal proses perkara, kecuali instansi yang secara tegas dikecualikan (KPK, POM, dll).
Ini berbeda secara fundamental dari konsep MK yang hanya menegaskan bahwa Polri adalah penyidik, bukan penyidik utama yang memonopoli penyidikan.
III. Akibat Konstitusional
1. Potensi Pelanggaran Pasal 30 UUD 1945
UUD 1945 hanya memberi Polri tugas:
- memelihara Kamtibmas,
- menegakkan hukum,
- memberikan perlindungan dan pelayanan.
UUD tidak memberikan status “penyidik utama” atau “superior investigator”.
RKUHAP justru mengangkat Polri ke posisi yang melebihi atribusi konstitusi.
2. Bertentangan dengan prinsip checks and balances
Sentralisasi penyidikan hanya pada satu badan (Polri) melanggar:
- prinsip pembagian kewenangan,
- prinsip kontrol,
- dan prinsip pencegahan konsentrasi kekuasaan.
Model negara demokratis modern (AS, Inggris, Jepang, Australia, Singapura) tidak ada yang memusatkan penyidikan pada satu lembaga.
3. Mengingkari asas lex specialis
PPNS memiliki dasar UU sektor (Pelayaran, Perikanan, Lingkungan, Kehutanan, Bea Cukai, Imigrasi, dll).
Jika semua harus tunduk pada Polri, maka lex specialis hilang makna.
IV. Akibat terhadap PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)
Norma “Penyidik Utama” otomatis memosisikan PPNS sebagai subordinat Polri.
1. PPNS menjadi tidak efektif
PPNS harus:
- melapor ke Polri,
- meminta asistensi Polri,
- menyerahkan berkas melalui Polri.
Padahal UU sektor justru memberi PPNS penyidikan langsung.
Contoh:
- PSDKP dalam illegal fishing,
- KPLP dalam kecelakaan kapal dan pelanggaran pelayaran,
- Imigrasi dalam keimigrasian,
- Bea Cukai dalam penyelundupan,
- Kehutanan dalam illegal logging,
- Karantina dalam pelanggaran biosecurity.
Jika semua diarahkan ke Polri, maka:
➡ proses penyidikan lambat,
➡ tumpang-tindih kewenangan muncul,
➡ efektivitas penegakan sektor melemah.
V. Akibat Sangat Serius terhadap Kejaksaan
Bagian ini adalah inti persoalan karena Kejaksaan adalah dominus litis.
Norma “Polri penyidik utama” mengubah struktur hukum acara pidana dan menurunkan kewenangan jaksa secara sistemik.
1. Hilangnya Akses Langsung Jaksa terhadap PPNS
Saat ini KUHAP dan UU Kejaksaan memberi wewenang pada Jaksa untuk menerima berkas:
- dari Polri, atau
- dari PPNS.
RKUHAP (dengan Polri sebagai penyidik utama) membuat semua berkas PPNS harus melewati Polri terlebih dahulu.
Akibatnya:
- Jaksa tidak dapat menerima berkas langsung dari PPNS.
- Kontrol Jaksa terhadap penyidikan sektor terputus.
- Hubungan penyidik–penuntut menjadi tidak langsung, bahkan tersumbat.
Ini merusak keseluruhan sistem pra-penuntutan.
2. Melemahnya Fungsi Pra-Penuntutan (Pra-Prosecution)
Pra-penuntutan bertujuan:
- memperbaiki berkas,
- mengarahkan pemeriksaan tambahan,
- menjamin kecukupan bukti sejak dini.
Jika berkas PPNS harus melalui Polri:
Alurnya menjadi:
PPNS → Polri → Jaksa → Polri → PPNS → Polri → Jaksa
Ini membuat:
- petunjuk jaksa tidak langsung diterima PPNS,
- risiko penundaan tinggi,
- risiko petunjuk hilang atau berubah,
- koordinasi menjadi birokratis.
Pra-penuntutan menjadi tidak efektif dan tidak efisien.
3. Mengurangi Independensi Kejaksaan
Norma ini menjadikan penyidikan bersifat police-led investigation, bukan prosecution-led investigation.
Akibatnya:
- arah penyidikan tidak lagi dikendalikan jaksa,
- kualitas BAP tidak mencerminkan kebutuhan pembuktian,
- jaksa hanya “menerima” hasil kerja penyidik utama, bukan mengarahkan.
Padahal menurut asas dominus litis, penuntut publik harus mengendalikan penyidikan.
4. Memunculkan Konflik Kepentingan Polri–Kejaksaan
Karena Polri menjadi pintu satu-satunya:
- Polri berpotensi menyaring perkara sebelum sampai ke Kejaksaan,
- menunda berkas,
- atau memperlambat pemenuhan petunjuk jaksa.
Kejaksaan pada akhirnya bergantung pada Polri, bukan menjadi lembaga yang berdiri sendiri.
5. Menghambat Manajemen Perkara oleh Jaksa
Kejaksaan bertanggung jawab:
- memastikan batas waktu penyidikan,
- mencegah pelanggaran HAM tersangka,
- memastikan efektivitas pengumpulan alat bukti.
Jika semua penyidikan PPNS harus melalui Polri:
➡ Kejaksaan tidak bisa mengendalikan tahapan penyidikan,
➡ tidak bisa mempercepat pelengkapan berkas,
➡ tidak bisa memastikan integritas BAP sektor khusus,
➡ tidak bisa memastikan barang bukti aman.
6. Potensi Pelanggaran UUD 1945 oleh Norma “Penyidik Utama”
a. Pasal 24 (Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka)
Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan tidak boleh tunduk pada lembaga lain.
Jika Polri memonopoli penyidikan, Kejaksaan kehilangan kemandirian struktural.
b. Pasal 30 ayat (1) – fungsi penuntutan
Kejaksaan adalah:
➡ pemegang tunggal kekuasaan penuntutan,
➡ pengendali perkara (dominus litis).
Jika berkas perkara harus melalui Polri terlebih dahulu, maka ini adalah:
intervensi terhadap domain konstitusional Kejaksaan.
VI. Akibat Praktis dalam Perkara Nyata
1. Illegal Fishing — PSDKP
Sebelum:
PPNS PSDKP → Jaksa
Dalam RKUHAP:
PPNS PSDKP → Polri → Jaksa → Polri → PPNS → Polri → Jaksa
Hasilnya:
- lambat,
- barang bukti mudah rusak,
- tersangka bisa kabur,
- timbul konflik kewenangan di laut.
2. Bea Cukai, Imigrasi, Karantina
Saat ini cepat karena langsung ke Jaksa.
Dalam RKUHAP menjadi:
➡ masuk Polri dulu → jenuh → kasus mandek.
VII. Kesimpulan Umum.
Norma “Polri penyidik utama” secara struktural, konstitusional, dan operasional bermasalah.
- Norma ini menciptakan monopoli penyidikan, yang bertentangan dengan sistem modern multi-investigator.
- PPNS kehilangan efektivitas dan kemandirian sektoral.
- Yang paling terkena dampak adalah kejaksaan, karena:
- kehilangan akses langsung,
- pra-penuntutan lumpuh,
- dominus litis terganggu,
- penuntutan menjadi lemah dan bergantung pada Polri.
- Norma ini rawan gugatan uji materi ke MK.
- Norma ini berpotensi memperburuk penegakan hukum dan menghambat due process of law.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar