“Hentikan Kebingungan Hukum: Penjelasan Sudah Dibatalkan MK—Mengapa Margarito Masih Menghidupkan Norma yang Sudah Mati?”
Jakarta 15 November 2025
Oleh : Soleman B Ponto.
PENDAHULUAN.
Pernyataan Guru Besar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-XXIII/2025 tampak seperti upaya “menghidupkan mantan norma” yang sudah jelas-jelas dinyatakan tidak berlaku. MK sudah membatalkan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, tetapi Margarito masih mencoba meniupkan napas baru ke dalam penjelasan yang sudah resmi diputuskan “tidak berfungsi lagi”. Dalam hukum, ini bukan dinamika intelektual; ini murni kekeliruan fatal dalam membaca hirarki norma.
Sebagai akademisi senior, Margarito semestinya menjadi mercusuar logika hukum, bukan pemicu kabut tafsir. Bukannya memperjelas posisi hukum Polri sebagai alat negara (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945), beliau malah menarik-narik UU ASN dan PP Manajemen PNS seolah-olah aturan umum boleh menabrak aturan khusus. Ini seperti berusaha membuka pintu dengan kunci motor—tetap tidak akan nyala sekalipun Anda sangat meyakininya.
Untuk memastikan publik tidak tersesat oleh opini yang membingungkan, berikut adalah tanggapan point-to-point, masing-masing dengan tiga paragraf bantahan, ditulis dengan gaya yang sama: logis, menusuk, dan meluruskan kekacauan interpretasi yang tidak perlu.
1. Pernyataan Margarito Kamis:
“Putusan MK tidak otomatis membatalkan seluruh penempatan anggota Polri di jabatan sipil.”
Tanggapan.
Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap karakter Putusan MK sebagai norma konstitusional. Putusan MK tidak menunggu aba-aba, tidak memerlukan SK tambahan, dan tidak menunggu “aturan teknis”. Begitu palu diketuk, keadaan hukum berubah seketika. Jika dasar hukum penempatan Polri aktif di jabatan sipil berasal dari Penjelasan Pasal 28 ayat (3), lalu penjelasan itu dibatalkan MK, maka seluruh praktik yang bertumpu padanya ikut runtuh. Tidak ada yang berdiri di atas fondasi yang ambruk.
Margarito juga tampaknya lupa bahwa dalam hukum administrasi, ketika dasar hukum suatu tindakan hilang, tindakan tersebut otomatis kehilangan legalitas. Tidak ada konsep “legal sampai ada aturan pelaksana”. Itu bukan hukum; itu keinginan. Norma berubah dari atas, bukan dari bawah. Putusan MK itu “hard reset” sistem hukum, bukan popup notifikasi yang bisa di-dismiss.
Pernyataan seperti ini berbahaya jika dibiarkan, karena mengirim pesan palsu seolah pejabat masih boleh nyaman duduk di jabatan sipil sambil menunggu juknis. Padahal dengan hilangnya dasar hukum, keberlanjutan penempatan itu menjadi batal demi hukum, bukan “tetap berlaku sampai ada aturan baru”. Negara hukum tidak boleh berjalan berdasarkan asumsi nyaman; ia berjalan berdasarkan norma yang sedang berlaku.
2. Pernyataan Margarito Kamis:
“UU ASN tetap mengizinkan anggota Polri menduduki jabatan sipil tertentu.”
Tanggapan :
Perlu diingatkan kembali bahwa UU ASN adalah lex generalis, sedangkan UU Polri adalah lex specialis. Dalam hukum, aturan khusus selalu mengalahkan aturan umum. Jadi ketika UU Polri mengatakan “untuk menduduki jabatan di luar kepolisian, anggota Polri harus mengundurkan diri atau pensiun”, maka norma itu mengunci semua pintu lain. Tidak ada jalan tikus melalui UU ASN. Jika tetap memaksa, itu bukan kreativitas hukum—itu murni membelokkan asas.
Lebih parah lagi, yang selama ini dipakai sebagai justifikasi bukan UU ASN, tetapi Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Dan penjelasan itu sudah dicabut MK. Setelah penjelasan hilang, argumen yang menyandarkan diri pada UU ASN menjadi seperti orang berusaha membangun rumah dengan fondasi melayang—tidak ada pegangan, hanya tekad. Hukum tidak bekerja berdasarkan tekad; hukum bekerja berdasarkan hirarki norma.
Kalau logika Margarito diterima, kita akan tiba di situasi absurd: aturan umum tiba-tiba bisa menabrak aturan khusus. Itu bukan negara hukum; itu negara selera. Untuk menjaga bangunan hukum tetap tegak, UU Polri harus menjadi rujukan utama, dan UU ASN tidak dapat lagi dipakai untuk membiarkan Polri aktif duduk di jabatan sipil.
3. Pernyataan Margarito Kamis:
“Polisi tetap boleh berada di lembaga sipil selama tugasnya berkaitan dengan kepolisian, misalnya di BNN atau KPK.”
Tanggapan.
Pernyataan ini jelas merupakan kelanjutan dari penjelasan pasal yang sudah dibatalkan MK. Frasa “berkaitan dengan kepolisian” asalnya dari Penjelasan Pasal 28 ayat (3). Begitu penjelasan itu gugur, frasa itu ikut hilang dari jagat hukum. Menghidupkan kembali frasa itu sama seperti mencoba menghidupkan telepon genggam yang sudah pecah layarnya dengan niat kuat dan doa—tidak akan berfungsi.
UU Polri bicara struktur organisasi, bukan “kesesuaian tema”. BNN, BNPT, KPK, PPATK, LPSK, semuanya lembaga sipil. Tidak peduli tugasnya “mirip” atau “berkaitan”, secara struktur tetap di luar kepolisian. UU tidak melarang fungsi, tetapi melarang struktur. Karena itulah MK menegaskan bahwa penempatan Polri aktif hanya sah setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Ini bukan sekadar debat teknis; ini soal menjaga integritas sistem pemerintahan. Kalau polisi aktif boleh masuk ke mana saja dengan alasan “berkaitan”, maka tidak lama lagi semua lembaga sipil bisa diisi alat negara. Itu bukan demokrasi; itu jalan pintas menuju police state. Dan MK sudah menutup pintu itu. Sangat disayangkan Margarito justru mencoba membukanya kembali.
4. Pernyataan Margarito Kamis:
“Tidak perlu buru-buru menarik polisi dari jabatan sipil; tunggu aturan teknis.”
Tanggapan.
Ini adalah pernyataan yang paling tidak sesuai dengan sifat Putusan MK. Putusan MK tidak menunggu juknis. Juknis-lah yang menyesuaikan putusan MK. Kalau menunggu aturan teknis dulu, sama saja dengan mengatakan: “Kami akan patuh setelah kami siap, bukan ketika hukum memerintahkan.” Itu bukan disiplin hukum; itu drama birokrasi yang tidak punya tempat dalam negara hukum.
Dengan dasar hukum yang sudah hilang, status Polri aktif di jabatan sipil menjadi tidak sah sejak hari itu juga. Tugas administrasi negara bukan menunda efek putusan MK, tetapi menjalankan konsekuensinya. Menunggu aturan teknis justru memperpanjang keadaan melanggar hukum. Kalau SIM dicabut polisi hari ini, Anda tidak boleh nyetir besok sambil menunggu “aturan teknis”. Hukum tidak bekerja seperti itu.
Pernyataan semacam ini berpotensi menjadi dalih untuk mempertahankan situasi ilegal. Negara hukum tidak boleh dijalankan dengan mekanisme “tunggu nyaman dulu kemudian taat”. Ketika norma berubah, pejabat negara wajib menyesuaikan, bukan meminta norma menyesuaikan kehendak mereka. Karena itu, argumen Margarito ini berlawanan dengan esensi konstitusionalitas Putusan MK.
KESIMPULAN
Semua pernyataan Margarito Kamis mengenai Putusan MK dan posisi Polri di jabatan sipil bukan hanya keliru, tetapi menghidupkan norma yang sudah mati, bertentangan dengan UUD 1945, bertabrakan dengan UU Polri, dan melawan logika hukum paling fundamental. Putusan MK berlaku serta-merta, penjelasan pasal sudah dicabut, dan satu-satunya aturan yang tersisa adalah Pasal 28 ayat (3) yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun.
Karena itu:
Seluruh anggota Polri aktif yang berada di luar struktur Kepolisian, saat ini berada dalam posisi tanpa dasar hukum dan wajib segera ditarik ke organisasi Polri. Tanpa menunggu satu pun aturan tambahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar