“Di Bawah Langit Republik, Polri Berdiri sebagai Alat Negara”
Bandung 16 Nopember 2025
Oleh : Penyair tua, penjaga republic.
Di bawah langit Republik yang luas,
tempat merah-putih berkibar tanpa letih,
terdapat satu penjaga yang bukan sembarang penjaga,
satu pilar yang bukan sekadar lembaga:
POLRI adalah ALAT NEGARA.
Ia tidak lahir untuk diseret ke sana kemari.
Ia tidak diciptakan untuk dipinjam sesuka tafsir.
Ia tidak pernah dimaksudkan menjadi pengembara jabatan.
Ia adalah alat negara,
ditempatkan oleh konstitusi,
bukan oleh opini sesaat.
Namun sayangnya, di ufuk yang sama,
ada suara-suara yang muncul dengan logika yang miring,
yang berbicara seolah-olah Polri dapat digeser seperti berkas kantor,
seolah status alat negara bisa dilonggarkan oleh kata “terkait”,
seolah alat negara bisa dibaca semaunya.
Maka izinkan Republik menegur,
bukan manusianya,
tetapi logika yang mereka bawa.
Kepada sang Dosen yang terhotmat, DR Muhamad Rullyandi
Jangan sesatkan arah Polri yang adalah ALAT NEGARA,
dengan menyamakannya sebagai ASN.
ASN tidak memegang kekuasaan paksa.
ASN tidak berdiri pada komando negara.
Mengatakan Polri bisa tunduk pada UU ASN
adalah seperti berkata baja sekeras itu dapat diperlakukan seperti plastik.
Ini bukan perendahan Polri—ini adalah perendahan logika.
Kepada teman akarab saya, Margarito Kamis
Jangan kaburkan Polri yang adalah ALAT NEGARA
dengan membuka “ruang tafsir” yang ditutup MK dengan jelas.
Ketika MK berkata “tidak bisa”,
itu bukan undangan untuk mencari celah lain.
Logika yang menentang MK bukan keberanian;
itu kekeliruan yang merusak kejelasan negara.
Kepada pengawas Polisi, Choirul Anam (Kompolnas)
Jangan goyahkan Polri yang adalah ALAT NEGARA
dengan kalimat lunak seperti “asal terkait tugas”.
Keterkaitan bukan norma,
keterkaitan bukan komando,
keterkaitan bukan konstitusi.
Logika seperti ini membuat alat negara tampak seperti lampu jalan
yang boleh dipindah asal masih “terkait penerangan”.
Kepada tuan Julius Ibrani (PBHI)
Jangan bingungkan Polri yang adalah ALAT NEGARA
dengan menganggap jabatan lama tetap sah.
Alat negara tidak hidup dari masa lalu—
ia hidup dari norma yang berlaku hari ini.
Putusan MK tidak menunggu perasaan;
ia berlaku seketika.
Logika yang berhenti pada “dulu begini”
adalah logika yang tertinggal di persimpangan sejarah.
Kepada tuan Fatkhul Muin
Jangan meraba Polri yang adalah ALAT NEGARA
dengan frasa “asal terkait penegakan hukum”.
Penegakan hukum bukan izin untuk memindahkan alat negara.
Ini bukan tagline; ini negara.
Polri tidak berjalan dengan asumsi—
Polri berjalan dengan konstitusi.
Kepada yang mulia anggota DPR, bpk Nasir Djamil
Jangan kecilkan Polri yang adalah ALAT NEGARA
dengan menyederhanakan makna “sipil”.
Ya, Polri sipil struktural,
tetapi ia memegang kekuatan koersif—
kekuatan yang tidak dimiliki lembaga sipil mana pun.
Menyamakan Polri dengan sipil umum
adalah seperti menyamakan singa dengan kucing rumahan
karena sama-sama berkumis.
MK, Sang Penjaga Kejernihan
Di tengah kesesatan logika itu,
Mahkamah Konstitusi berdiri sebagai penuntun pulang,
menarik Polri kembali dari belokan-belokan tafsir,
dari kabut pendapat yang memaksa alat negara keluar rumahnya.
MK tidak sekadar memutus.
MK berkata dengan suara negara:
**POLRI adalah ALAT NEGARA.
Tempatnya adalah dalam struktur negara.
Bukan di tangan tafsir yang keliru.**
Dengan putusan itu,
Republik kembali utuh.
Karena alat negaranya telah kembali ke orbit yang benar.
Suara Republik
Maka biarlah suara ini menggema:
**Polri adalah ALAT NEGARA.
Bukan alat penjelasan.
Bukan alat pendapat.
Bukan alat tafsir.
Hanya alat Republik.**
Dan setiap logika yang mencoba menurunkan martabat itu
pantas disebut sebagaimana adanya:
logika yang sesat arah,
yang harus diluruskan
agar langit Republik tetap terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar