15 November 2025

“Ketika Doktrin Hukum Dibelokkan: Membongkar Kekeliruan Konstitusional Dr. Mohamad Rullyandi tentang Penempatan Anggota Polri”

 “Ketika Doktrin Hukum Dibelokkan: Membongkar Kekeliruan Konstitusional Dr. Mohamad Rullyandi tentang Penempatan Anggota Polri”

Jakarta 15 November 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto. ST, SH, MH, CPM, CPARB


PENDAHULUAN.

Pernyataan Dr. Mohamad Rullyandi yang beredar di ruang publik mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tentang pelarangan anggota Polri menduduki jabatan sipil bukan sekadar keliru, tetapi menabrak fondasi keilmuan hukum tata negara. Seorang doktor hukum yang mestinya menjadi penjaga ketelitian ilmiah justru mengajukan argumentasi yang bertentangan dengan asas konstitusional, melanggar hierarki norma, dan mengabaikan prinsip dasar pemisahan fungsi aparat bersenjata dari birokrasi sipil. Kekeliruan ini bukan kesalahan kecil; ini adalah kesalahan konseptual yang, apabila dibiarkan, berpotensi merusak pemahaman publik dan menyesatkan generasi mahasiswa hukum.

Apa yang disampaikan Rullyandi bertentangan langsung dengan sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menafsirkan kembali norma yang sudah dibatalkan MK, seolah-olah dapat dihidupkan ulang melalui UU ASN atau mekanisme administratif lainnya. Ini adalah bentuk academic irresponsibility karena mengabaikan doktrin paling elementer dalam hukum tata negara: bahwa putusan MK adalah norma konstitusi yang tidak dapat diganggu gugat. Pandangan seperti ini tidak hanya merendahkan standar akademik seorang doktor, tetapi juga mengaburkan garis batas yang telah ditegaskan reformasi 1998.

Naskah ini disusun bukan untuk menyerang pribadi, melainkan untuk menegakkan integritas ilmu hukum. Karena ketika seorang doktor menggunakan otoritas akademiknya untuk membela praktik inkonstitusional, maka kewajiban akademik adalah meluruskan, mengoreksi, dan — bila diperlukan — mengkritik dengan keras. Negara hukum tidak boleh dibangun di atas logika bengkok, dan ruang akademik tidak boleh dibiarkan menjadi tempat lahirnya penyesatan publik yang dibungkus gelar akademis.

1. Klaim: “Putusan MK tidak otomatis membatalkan kewenangan Polri menugaskan personelnya di kementerian/lembaga.”

Tanggapan:
Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman mendasar mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam doktrin konstitusional Indonesia, putusan MK memiliki sifat final and binding, yang artinya berlaku langsung sejak diucapkan dan mengikat seluruh lembaga negara tanpa kecuali. Ketika MK membatalkan sebuah penjelasan pasal, maka tidak ada mekanisme lain yang diperlukan untuk menghilangkan akibat hukumnya; pembatalan tersebut bekerja otomatis. Seorang doktor hukum seharusnya memahami prinsip dasar ini, karena sifat putusan MK adalah bagian dari pengetahuan paling fundamental dalam hukum tata negara.

Lebih jauh, MK tidak hanya membatalkan penjelasan pasal, tetapi juga menegaskan bahwa penempatan anggota Polri di luar struktur kepolisian adalah bentuk penyimpangan terhadap prinsip pemisahan fungsi aparat bersenjata dari institusi sipil. Dengan demikian, putusan MK tidak hanya menghapus norma, tetapi sekaligus menghapus legitimasi praktik yang bertentangan dengan konstitusi. Menyangkal efek otomatis putusan MK berarti menolak posisi MK sebagai guardian of the constitution, sesuatu yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang akademisi dengan gelar doktor.

Karena itu, klaim Rullyandi tidak hanya salah secara normatif tetapi juga secara epistemologis. Ia mencerminkan pemahaman yang tidak sejalan dengan teori konstitusional modern dan menyesatkan publik. Kesalahan seperti ini sangat serius karena berasal dari seseorang bergelar doktor, yang seharusnya memiliki standar intelektual lebih tinggi dalam membaca dan menafsirkan putusan pengadilan konstitusi.

2. Klaim: “UU Polri tidak melarang penugasan di luar institusi selama sesuai dengan UU ASN.”

Tanggapan:
Pernyataan ini merupakan kekeliruan besar dalam memahami hubungan antar-norma. UU ASN adalah lex generalis, sedangkan UU Polri adalah lex specialis yang mengatur aparat bersenjata. Menempatkan norma umum untuk mengalahkan norma khusus adalah pelanggaran metodologis yang tidak dapat diterima dalam disiplin hukum. Seorang doktor wajib memahami urutan normatif ini. Menggunakan UU ASN untuk membenarkan penugasan Polri aktif ke jabatan sipil adalah pembalikan logika yang tidak memiliki landasan ilmiah.

Selain itu, anggota Polri bukan ASN dan tidak berada dalam rezim manajemen ASN. Mereka tunduk pada aturan internal kepolisian dan membawa kewenangan koersif: penangkapan, penyidikan, penyitaan, penggunaan kekuatan. Kewenangan ini tidak dapat dipadukan dengan jabatan sipil apa pun tanpa penghilangan status hukum sebagai aparat bersenjata. Inilah inti mengapa alih status diwajibkan oleh MK. Jika seorang doktor tetap memaksakan bahwa Polri aktif dapat masuk ke jabatan ASN, maka ia sedang menabrak teori administrasi publik sekaligus teori negara hukum.

Secara akademis, klaim tersebut tidak memiliki bobot argumen dan justru mengancam prinsip sipilisasi birokrasi pasca-reformasi. Mengaburkan batas antara aparat bersenjata dan birokrasi sipil adalah kemunduran besar bagi demokrasi dan rule of law. Pandangan seperti ini tidak hanya salah, tetapi membahayakan tatanan konstitusi jika dibiarkan berkembang tanpa koreksi akademis yang tegas.

3. Klaim: “Penyetaraan jabatan ASN dapat digunakan untuk menempatkan anggota Polri di kementerian/lembaga.”

Tanggapan:
Ini adalah kesalahan metodologis yang sulit diterima dari seorang doktor hukum. Penyetaraan jabatan hanya berlaku untuk ASN dan tidak dapat dipaksakan untuk anggota Polri aktif. Penyidik, perwira, atau pejabat Polri tidak dapat “disetarakan” menjadi pejabat sipil tanpa melalui alih status ASN terlebih dahulu. Jika penyetaraan jabatan digunakan untuk meloloskan anggota Polri ke jabatan sipil, maka itu adalah bentuk rekayasa hukum yang bertentangan dengan asas legalitas dan tak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Dari sudut pandang administrasi publik, penyetaraan jabatan memerlukan subjek yang berada pada sistem merit ASN. Polri berada pada rezim yang berbeda, dengan jalur karier, penggajian, komando, dan kewenangan yang berbeda. Memaksakan mekanisme ASN untuk memperlakukan anggota Polri sama seperti ASN adalah kekeliruan fundamental. Seorang doktor hukum administrasi seharusnya mampu membedakan dua rezim ini secara tegas.

Jika argumentasi seperti ini diterima, maka seluruh batas profesional antara aparat bersenjata dan birokrasi sipil akan runtuh. Itulah sebabnya MK menutup celah tersebut melalui pembatalan penjelasan pasal. Pandangan Rullyandi tidak hanya salah, tetapi juga menunjukkan ketidaktepatan dalam menerapkan metode analisis hukum pada objek norma yang berbeda karakteristiknya.

4. Klaim: “Tidak ada masalah bila anggota Polri ditugaskan ke kementerian/lembaga sepanjang sesuai koridor ASN.”

Tanggapan:
Pernyataan ini berbahaya karena menggunakan kerangka yang salah sejak awal: anggota Polri tidak berada dalam koridor ASN. Tidak peduli berapa kali kata “ASN” diulang, status Polri tidak berubah. Koridor ASN sama sekali bukan ruang bagi aparat bersenjata. Menempatkan polisi aktif di bawah aturan ASN melanggar prinsip konstitusional netralitas birokrasi dan menciptakan risiko tumpang tindih kewenangan koersif di ruang sipil. Seorang doktor harus memahami bahwa birokrasi sipil dan aparat bersenjata tidak dapat dicampur dalam satu jalur administrasi.

Secara akademis, pernyataan ini mengabaikan prinsip pemisahan fungsi yang menjadi dasar reformasi kepolisian. Indonesia memutuskan sejak 1998 bahwa TNI dan Polri tidak boleh lagi mengisi jabatan sipil untuk memastikan demokrasi berjalan sehat. Mengatakan “tidak ada masalah” sama sekali bertentangan dengan sejarah perubahan politik Indonesia dan doktrin negara hukum. Doktor hukum tata negara seharusnya menjadi penjaga prinsip ini, bukan pelanggarnya.

Dengan demikian, pernyataan ini tidak berdiri di atas ilmu, tetapi di atas kekeliruan logika normatif. Menyatakan tidak ada masalah padahal MK telah menghapus celah hukumnya menunjukkan ketidakkonsistenan akademik. Ini bukan hanya salah baca norma, tetapi salah baca sistem ketatanegaraan itu sendiri.

5. Klaim: “Yang dilarang MK hanya jabatan politik, bukan jabatan administratif atau fungsional.”

Tanggapan:
Ini adalah salah satu kekeliruan paling fatal karena muncul dari salah baca terhadap objek putusan MK. MK tidak sedang membahas jenis jabatan; MK membahas status keanggotaan. MK menyatakan anggota Polri aktif tidak boleh keluar struktur dalam bentuk apa pun tanpa alih status. Ini bersifat struktural, bukan fungsional. Menyempitkan putusan MK menjadi larangan “jabatan politik” adalah misinformasi akademik yang menyesatkan publik. Seorang doktor seharusnya berhati-hati mempertahankan argumentasi seperti ini.

Selain itu, membedakan jabatan politik dan non-politik dalam konteks ini adalah distorsi. Larangan MK berlaku untuk semua jabatan sipil, termasuk jabatan teknis, administratif, dan struktural. Dengan demikian, klaim Rullyandi tidak hanya salah secara normatif tetapi juga tidak jujur secara akademik karena mengabaikan inti putusan MK. Tidak ada dasar ilmiah yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan seperti itu.

Jika seorang doktor tetap mempertahankan argumen yang bertentangan langsung dengan substansi putusan MK, maka integritas akademiknya harus dipertanyakan. Kesalahan membaca putusan pengadilan konstitusi adalah bentuk kegagalan epistemik yang tidak boleh dibiarkan berkembang dalam lingkungan ilmiah.

6. Klaim: “Dasar hukum penugasan Polri tidak hilang, karena UU Polri masih berlaku.”

Tanggapan:
Pernyataan ini mengabaikan prinsip bahwa putusan MK dapat menghilangkan bagian tertentu dari UU tanpa harus mencabut seluruh UU. Ketika penjelasan pasal dibatalkan MK, maka seluruh praktik yang bergantung pada penjelasan itu menjadi tidak sah. Konsep partial annulment ini wajib dipahami seorang doktor hukum. Mengatakan bahwa dasar hukum masih ada menunjukkan kesalahpahaman serius terhadap struktur norma yang dibangun MK.

Secara akademis, setiap praktik hukum yang bersandar pada pasal yang telah dibatalkan MK kehilangan legitimasi dan tidak boleh dilanjutkan. MK telah menegaskan bahwa penjelasan pasal tidak boleh digunakan untuk melegitimasi penyimpangan fungsi. Dengan demikian, dasar hukum penugasan Polri memang “hilang”, bukan karena UU Polri dicabut, tetapi karena bagian yang selama ini dijadikan celah telah dibatalkan.

Jika seorang doktor tidak memahami mekanisme ini, maka ia gagal memahami alat paling dasar dalam hukum tata negara. Kesalahan ini tidak hanya merusak logika ilmiah, tetapi juga menyesatkan masyarakat yang menganggap pendapatnya sebagai kebenaran.

7. Klaim: “Penugasan Polri tetap konstitusional selama bukan jabatan politik.”

Tanggapan:
Ini merupakan penyimpangan logika yang mengarah pada reduksi berbahaya terhadap putusan MK. Konstitusionalitas penugasan anggota Polri tidak ditentukan oleh jenis jabatan, tetapi ditentukan oleh status anggota tersebut. Seorang doktor hukum tata negara harus memahami bahwa MK berbicara tentang status keanggotaan aparat bersenjata yang tidak boleh keluar struktur tanpa alih status.

Selain itu, menempatkan jabatan administratif sebagai “aman” bagi anggota Polri aktif bertentangan dengan prinsip sipilisasi birokrasi. Kewenangan koersif yang dimiliki polisi tidak memiliki tempat dalam jabatan sipil apa pun tanpa mekanisme alih status. Dengan demikian, klaim bahwa penugasan tetap konstitusional adalah bentuk penyederhanaan yang tidak memiliki dasar ilmiah.

Dalam perspektif akademis, argumentasi ini gagal melewati uji metodologis, uji konstitusional, dan uji etis. Seorang doktor hukum semestinya menjelaskan batas-batas kekuasaan aparat bersenjata, bukan membuka celah-celah baru yang telah ditutup oleh putusan MK.

PENUTUP.

Semua klaim Mohamad Rullyandi runtuh secara:

 konstitusional
 normatif
 metodologis
 epistemologis
 administratif
 etis akademik

Tidak ada satu pun argumen yang bertahan ketika diuji dengan teori dasar hukum tata negara.
Sebagai doktor, ia seharusnya membimbing publik pada kebenaran ilmu, bukan pada kekeliruan logika yang membahayakan negara hukum.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar