15 November 2025

**POLRI DILARANG KELUAR DARI STRUKTUR POLRI:

 **POLRI DILARANG KELUAR DARI STRUKTUR POLRI:

Meluruskan Kekacauan Logika Publik Soal Putusan MK**

Jakarta 15 November 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.

Polemik mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memicu reaksi keras dari sejumlah tokoh dan kelompok masyarakat. Nama-nama seperti Emrus SihombingFernando Emas, dan Nasir Djamil muncul sebagai pihak yang mempertanyakan atau bahkan menolak putusan MK tersebut. Di berbagai platform media sosial, ribuan komentar bernada keberatan juga bermunculan.

Namun terdapat satu persoalan mendasar yang nyaris tak disentuh oleh para pengkritik: larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar Polri bukanlah ciptaan MK, melainkan perintah langsung dari UU Polri sejak tahun 2002.
Kesalahan membaca norma inilah yang menyebabkan kegaduhan publik saat ini.

1. Polri adalah Alat Negara, Bukan ASN Biasa.

Konstitusi dengan tegas menyatakan:

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat…”

UU No. 2 Tahun 2002 mengulang dengan nada yang sama:

Pasal 5 ayat (1):

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara…”

Artinya jelas:
Polri adalah alat negara pemegang kekuasaan koersif—kekuatan memaksa negara (coercive power) yang memungkinkan pembatasan hak-hak warga melalui:

  • penangkapan,
  • penahanan,
  • penyitaan,
  • tindakan represif,
  • dan tindakan atas penilaian sendiri (discretion).

Kewenangan sebesar ini tidak pernah dimiliki ASN, dan tidak boleh dibawa keluar dari institusi pemegangnya.

2. Norma Utama: Anggota Polri Aktif Dilarang Keluar dari Struktur Polri

Pasal 28 ayat (3) UU Polri berbunyi:

“Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Normanya sangat jelas:

  1. Anggota Polri aktif wajib berada dalam struktur Polri.
  2. Keluar struktur hanya boleh dilakukan setelah mundur atau pensiun.
  3. Tidak ada opsi “ditugaskan”, “dipinjamkan”, atau “dipekerjakan” di instansi sipil.

Dengan demikian, penempatan polisi aktif pada jabatan sipil yang selama ini terjadi adalah penyimpangan, bukan kewenangan.

Putusan MK hanya menghapus penjelasan yang selama 20 tahun disalahgunakan untuk membenarkan praktik yang bertentangan dengan pasal utama.

3. Mengapa Polri Tidak Boleh Keluar dari Struktur Polri?

Karena Polri membawa kekuatan koersif yang hanya boleh digunakan dalam satu konteks:

 Keamanan dan ketertiban masyarakat,
 di bawah satu rantai komando,
 berdasarkan UU Polri,
 dalam sistem hukum dan ketatanegaraan yang jelas.

Jika polisi aktif ditempatkan di kementerian atau pemerintah daerah:

  • lembaga sipil akan berubah menjadi lembaga koersif,
  • terjadi dual chain of command,
  • dan dapat timbul Polri melawan Polri apabila terjadi konflik kepentingan.

Desain negara hukum tidak pernah memberi kewenangan koersif kepada pejabat sipil seperti menteri, gubernur, kepala daerah, atau kepala lembaga.

Menempatkan polisi aktif pada jabatan sipil berarti membawa senjata konstitusional ke tempat yang salah.

4. Salah Baca Para Pengkritik: Dari Emrus, Fernando, Hingga Nasir Djamil

1. Emrus Sihombing

Mengatakan MK “setengah hati” dan Polri harusnya bebas masuk jabatan sipil.
Ini keliru. Emrus mengabaikan Pasal 28 ayat (3) yang sudah melarang sejak awal.

2. Fernando Emas

Menilai putusan MK “tidak tepat” dan menyebut Polri sebagai institusi sipil biasa.
Padahal status “sipil” Polri tidak menghapus sifatnya sebagai alat negara pemegang kekuatan koersif.

3. Nasir Djamil

Keberatan karena Kapolri tidak lagi bisa menugaskan polisi aktif ke jabatan sipil.
Padahal UU tidak pernah memberi wewenang itu.
Penugasan tersebut hanyalah penyimpangan birokratis yang dibungkus oleh penjelasan UU yang kabur.

Ketiganya terjebak dalam kekeliruan fundamental karena tidak membaca norma utama, hanya membaca penjelasan.

5. MK Tidak Menciptakan Larangan Baru—MK Mengembalikan Hukum ke Jalur yang Benar

Mari tegaskan sekali lagi:

  • Putusan MK tidak membatasi Polri.
  • Putusan MK tidak mencabut hak polisi.
  • Putusan MK tidak melarang lebih jauh daripada UU.

MK hanya menghapus penjelasan yang menyesatkan agar kembali kepada bunyi Pasal 28 ayat (3).

Artinya:

 Jika ingin keluar dari struktur kepolisian dan masuk jabatan sipil diluar struktur kepolisian, maka polisi harus mengundurkan diri atau pensiun.
 Itulah hukum sejak 2002, bukan sejak putusan MK.

6. Penutup: Kembalikan Polri ke Marwahnya sebagai Alat Negara

Sangat keliru jika ada anggapan bahwa polisi aktif harus bebas menduduki jabatan sipil.
Larangan itu bukan soal kepegawaian, bukan soal mobilitas jabatan, dan bukan soal administrasi.

Larangan itu adalah desain ketatanegaraan:

  • agar kekuasaan koersif tidak disalahgunakan,
  • agar lembaga sipil tetap sipil,
  • agar tidak ada “polisi sipil bayangan” di kementerian,
  • agar tidak terjadi Polri melawan Polri,
  • dan agar Polri tetap utuh sebagai alat negara.

Putusan MK justru kembali menegakkan arsitektur hukum ini.

Jika ada pihak yang masih keberatan, mungkin masalahnya sederhana:

Mereka belum membaca pasal utamanya.
Atau mereka tidak memahami apa itu alat negara.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar