9 November 2025

Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci: Dampak Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej Tentang Polri

 Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci: Dampak Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej Tentang Polri

Jakarta 09 Novenber 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
KABAIS TNI 2011-2013

Dalam sebuah pernyataannya yang dimuat di Tribratanews Polri dan JPNN.com,
Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, menyampaikan bahwa:

“Polri ini sebagai penyidik utama dalam segala tindak pidana. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, berkas perkara hanya diterima oleh jaksa dari penyidik Polri, bukan dari pihak lain. Sudah tepat karena penyidik adalah Polri, penuntut adalah jaksa, dan yang memutus perkara adalah hakim.”

Pernyataan tersebut menimbulkan gelombang keprihatinan di kalangan akademisi dan praktisi hukum, sebab secara tersirat mengandung konsep pemusatan kekuasaan penyidikan pada satu lembaga — Polri.
Sekilas, kalimat itu tampak sederhana dan sistematis. Namun jika dibaca dengan kaca mata hukum acara dan konstitusi, gagasan itu menabrak tatanan sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP dan UUD 1945.

Polri Bukan Penyidik Tunggal.

Benar bahwa Polri adalah penyidik, tetapi Polri hanyalah penyidik umum, bukan penyidik tunggal.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebut dua kategori penyidik:

  1. Penyidik umum, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
  2. Penyidik khusus, yaitu pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

Artinya, Polri berbagi ruang penyidikan dengan lembaga lain seperti PPNSKPKBNN, dan POM TNI, masing-masing diatur dalam undang-undang sektoral (lex specialis).
Misalnya:

  • UU No. 17 Tahun 2008 jo. UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran memberi kewenangan PPNS Hubla untuk menyidik pelanggaran di laut.
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup memberi kewenangan PPNS Lingkungan.
  • UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan memberi kewenangan PPNS Perikanan.
  • UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberi kewenangan penyidikan kepada BNN.

Semua lembaga itu memiliki yurisdiksi penyidikan yang sah dan diakui oleh KUHAP.

Pertentangan dengan UUD 1945.

1. Melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 – Prinsip Negara Hukum.

Pasal ini menegaskan Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum menuntut kekuasaan dipisahkan dan saling mengawasi (checks and balances).
Jika seluruh perkara hanya dapat disidik dan dilimpahkan oleh Polri, maka Polri menjadi pemegang kendali tunggal atas keadilan pidana — sebuah bentuk rule by institution, bukan rule of law.

2. Melanggar Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 – Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandaikan Hakim bebas menilai kebenaran dari berbagai sumber penyidikan yang sah.
Namun bila seluruh perkara bersumber dari Polri, maka Hakim kehilangan pluralitas sumber fakta hukum.
Kemerdekaan Hakim berubah menjadi formalitas belaka, karena fakta hukum dikonstruksi oleh satu lembaga eksekutif.

3. Melanggar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 – Pembatasan Tugas Polri.

Pasal ini menyatakan Polri bertugas memelihara keamanan, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Namun tidak memberi mandat bagi Polri untuk menguasai seluruh rantai proses peradilan pidana.
Menjadikan Polri satu-satunya penyidik berarti memperluas tafsir pasal ini melebihi batas konstitusionalnya.

4. Menyimpangi Prinsip Pemisahan Kekuasaan.

Kejaksaan merupakan lembaga penuntut umum independen, sementara peradilan adalah kekuasaan yudikatif yang merdeka.
Bila Jaksa hanya menerima berkas dari Polri, maka fungsi Kejaksaan sebagai pengendali perkara (dominus litis) hilang, dan Hakim pun terkunci, karena hanya memeriksa perkara hasil satu lembaga.
Terjadi pemusatan kekuasaan hukum — situasi yang konstitusi justru hendak hindari.

Jaksa Terpasung, Hakim Terkunci.

Dari sinilah lahir istilah Jaksa terpasung dan Hakim terkunci.
Jaksa terpasung karena kehilangan hak menerima berkas dari penyidik khusus (PPNS, KPK, BNN, POM TNI).
Padahal Pasal 110 KUHAP tidak membedakan sumber berkas perkara.
Hakim terkunci karena seluruh perkara yang masuk ke pengadilan bersumber dari hasil penyidikan Polri, sehingga Hakim tidak lagi memiliki variasi sumber fakta hukum.
Ini melahirkan epistemic monopoly — monopoli atas kebenaran hukum — yang berbahaya bagi keadilan substantif.

Dampak Sistemik: Polri Mengendalikan Perkara, Polri jadi superbody.

Jika konsep ini diterapkan dalam RUU KUHAP, maka:

  • PPNS dan lembaga khusus kehilangan yurisdiksi penyidikan.
  • Jaksa kehilangan otonomi penuntutan.
  • Hakim hanya menilai perkara versi Polri.
    Keadilan pun kehilangan keseimbangan, karena Polri mengendalikan perkara dari hulu hingga ke hilir.

Jalan Keluarnya

1. Kembalikan Polri ke Fungsi Asalnya sebagai Penyidik Umum.

Polri adalah penyidik umum, bukan penyidik utama. Dengan demikian PPNS, Penyidik KPK, BNN, POM TNI  dapat disebut sebagai penyidik khusus. PPNS tetap tidak boleh dinegasikan. 
Hubungan antarpenyidik harus bersifat koordinatif, bukan subordinatif.

2. Tegaskan Peran Jaksa sebagai Dominus Litis.

Jaksa harus tetap menjadi pengendali perkara.
RUU KUHAP perlu menegaskan bahwa penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik umum dan/atau penyidik khusus sesuai peraturan perundang-undangan.
Ini untuk mencegah monopoli perkara di tingkat penyidikan.

3. Bangun Sistem Koordinatif Horizontal.

Sistem peradilan pidana harus kembali ke semangat integrated but balanced — terintegrasi, tetapi seimbang.
Polri, Jaksa, PPNS, dan Hakim masing-masing menjalankan fungsi secara koordinatif tanpa saling menguasai.

4. Perkuat Prinsip Checks and Balances

Dalam revisi hukum acara, perlu ditegaskan mekanisme pengawasan antar lembaga penegak hukum untuk mencegah lahirnya superbody baru dalam bentuk lembaga penyidik tunggal.

Penutup.

Pernyataan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej bahwa “berkas perkara hanya diterima oleh Jaksa dari penyidik Polri”bukan sekadar pandangan hukum,
tetapi gagasan yang jika diterapkan akan mengubah wajah sistem peradilan pidana Indonesia.
Ia menyalahi KUHAP, bertentangan dengan UUD 1945, dan mengancam asas pemisahan kekuasaan.

Polri memang penting — tetapi bukan satu-satunya penjaga kebenaran.
Jaksa, Hakim, dan penyidik khusus harus tetap berdiri sejajar.
Sebab dalam negara hukum, keadilan bukan hasil komando, melainkan hasil keseimbangan.

“Negara hukum yang adil bukan tentang siapa yang berkuasa,
melainkan tentang bagaimana kekuasaan itu saling mengawasi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar