**Putusan MK Sudah Final, Tapi Kenapa Masih Ada yang Ngotot?**
**Catatan untuk Dr. Rullyandi**
Jakarta 15 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Pendahuluan.
Dalam negara hukum modern, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah otoritas tertinggi di bawah UUD 1945. Satu kali diketuk, ia berlaku untuk seluruh warga negara, seluruh lembaga negara, dan seluruh bentuk relasi kekuasaan. Karena itu, ketika MK membatalkan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, maknanya jelas: celah hukum yang selama 20 tahun dipakai untuk menempatkan anggota Polri aktif ke jabatan sipil resmi ditutup.
Namun di tengah kejelasan tersebut, muncul pernyataan publik dari seorang doktor hukum tata negara—Dr. Muhamad Rullyandi—yang menyatakan bahwa putusan MK “tidak membatalkan dasar hukum penugasan polisi ke kementerian/lembaga sepanjang melalui mekanisme ASN.”
Pernyataan ini bukan sekadar salah baca putusan.
Ini adalah kekeliruan metodologis yang dapat menyesatkan publik, membingungkan pembuat kebijakan, dan merusak disiplin ilmu hukum tata negara itu sendiri—apalagi pernyataan tersebut datang dari seseorang yang memiliki gelar doktor, mengajar banyak murid, dan memegang tanggung jawab akademik yang besar.
Karena itu, tulisan ini merupakan catatan kritis—sebuah pukulan akademik—yang diperlukan untuk meluruskan kekeliruan tersebut.
1. Putusan MK itu final, mengikat, berlaku umum. Tidak ada ruang untuk “ngotot”.
Saudara Rullyandi menyampaikan bahwa penugasan Polri aktif ke lembaga sipil masih sah selama mengikuti mekanisme ASN.
Pertanyaannya sederhana:
Bagaimana mungkin putusan MK yang sudah menghapus dasar hukumnya masih dianggap membolehkan praktik tersebut?
Penjelasan Pasal 28 ayat (3) yang dibatalkan MK adalah:
• satu-satunya landasan praktik penempatan Polri aktif ke jabatan sipil,
• dasar yang selama ini disalahgunakan untuk “penyetaraan jabatan”,
• alasan legal yang dipakai puluhan kementerian untuk menarik anggota Polri ke struktur sipil.
Ketika MK mencabut penjelasan itu, maka:
• celah hukum hilang,
• landasan normatif gugur,
• praktik penugasan jatuh seketika.
Maka posisi hukumnya jelas:
Tidak ada lagi dasar untuk penugasan Polri aktif ke jabatan sipil.
Jika ini masih dipertahankan, itu bukan interpretasi— itu perlawanan terhadap putusan MK.
2. Menyamakan Polri dengan ASN adalah kekeliruan fundamental.
Pernyataan bahwa Polri bisa tetap ditempatkan ke lembaga sipil “asal mengikuti mekanisme ASN” adalah keliru karena:
• Polri bukan ASN.
Polri adalah alat negara (mohon di baca pakai kaca pembesar pasal 30 ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 1 UU 2/2002 ttg Kepolisian Negara Republik Indonesia), aparat keamanan bersenjata dengan kewenangan koersif, yang diberikan kewenangan bertindak atas penilaian sendiri.
• ASN adalah birokrasi sipil.
Ia diatur untuk menjaga netralitas birokrasi dari pengaruh kekuasaan bersenjata.
Keduanya tidak bisa disilangkan tanpa alih status, dan MK menegaskan hal ini berkali-kali.
Menggunakan mekanisme ASN untuk menempatkan polisi aktif adalah bentuk:
• penyelundupan kewenangan,
• manipulasi struktur jabatan,
• dan penyelewengan prinsip sipil–keamanan.
Seorang doktor hukum tata negara semestinya menjadi penjaga batas ini.
Justru pernyataan yang disampaikan mengaburkan batas tersebut.
3. Mengabaikan alasan MK berarti mengabaikan konstitusi itu sendiri.
MK bukan hanya mencabut norma—MK menjelaskan alasan pencabutannya:
• penempatan Polri aktif menimbulkan conflict of interest
• menciptakan ketimpangan kekuasaan dalam birokrasi sipil
• mengaburkan peran dan fungsi lembaga sipil
• membuka ruang dominasi aparat keamanan
• bertentangan dengan prinsip Demokrasi Konstitusional
Yang disasar MK bukan hanya “jabatan politik”—
tetapi seluruh bentuk jabatan sipil yang tidak layak diisi oleh aparat keamanan aktif.
Dengan mengabaikan alasan MK, pernyataan Saudara justru mendorong publik untuk:
• mempertahankan penyimpangan,
• menyepelekan supremasi sipil,
• dan menambah kerancuan dalam sistem ketatanegaraan.
Ini sangat berbahaya.
4. Ketika seorang doktor keliru, dampaknya sistemik.
Kesalahan akademik Anda bukan kesalahan biasa, Saudara.
Anda adalah:
• seorang doktor
• dosen tata negara
• pembimbing puluhan (bahkan ratusan) mahasiswa
• figur akademik yang diikuti murid-murid Anda
Karena itu, setiap pernyataan Anda membawa bobot:
Jika seorang doktor keliru di ruang publik, maka satu generasi murid berpotensi ikut tersesat.
Ini bukan lagi soal pribadi.
Ini tanggung jawab akademik.
Pernyataan Anda tidak hanya keliru secara hukum—tetapi juga memberi contoh buruk tentang cara:
• membaca putusan MK,
• memahami asas negara hukum,
• dan menghormati batas sipil–keamanan.
Kekeliruan semacam ini tidak boleh dibiarkan.
5. Putusan MK tidak dapat diakali “jalur administratif”.
Pernyataan bahwa penempatan Polri tetap sah “asal melalui mekanisme ASN” adalah bentuk:
• relativisme konstitusi,
• subordinasi putusan MK kepada birokrasi,
• dan upaya memutar arah hukum negara.
Padahal prinsipnya jelas:
**Putusan MK mengikat birokrasi.
Birokrasi tidak dapat mengakali putusan MK.**
Dengan demikian, pernyataan Anda menempatkan mekanisme administratif di atas putusan yudisial.
Ini adalah pelanggaran logika negara hukum.
Kesimpulan: Sudah Final, Tidak Perlu Ngotot.
Saudara Rullyandi,
dalam ilmu hukum tata negara, kita diajarkan bahwa:
• putusan MK adalah otoritas tertinggi di bawah UUD,
• norma yang dibatalkan MK tidak dapat hidup kembali,
• batas sipil–keamanan adalah prinsip sakral demokrasi modern,
• birokrasi sipil tidak boleh diisi aparat bersenjata aktif.
Pernyataan Anda bertentangan dengan semuanya.
Karena itu, catatan ini perlu ditegaskan:
**Putusan MK sudah final.
Celanya sudah ditutup.
Tidak ada lagi ruang untuk “ngotot”.**
Jika publik butuh kejelasan, maka yang harus dibela adalah konstitusi, bukan status quo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar