“Jangan Sesatkan Publik: Polri Alat Negara, Bukan Pegawai Lepas—Putusan MK Harus Dilaksanakan Sekarang!”
Jakarta 15 November 2025
Oleh : Soleman B Ponto
PENDAHULUAN
Pernyataan Komisioner Kompolnas Mohammad Choirul Anam dalam Republika.co.id (15 November 2025) mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-XXIII/2025 menunjukkan kekeliruan hukum yang serius dan berpotensi menyesatkan publik. Anam berusaha mempertahankan keberadaan anggota Polri aktif di jabatan sipil dengan merujuk pada dalil-dalil yang telah kehilangan kekuatan hukum setelah MK secara tegas membatalkan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Sebagai pejabat yang seharusnya memahami dan menjaga tertib hukum, argumen yang ia sampaikan justru membuka peluang pembangkangan terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Karena itu, seluruh pendapat Anam harus diluruskan agar publik tidak terjebak pada tafsir keliru yang melanggar konstitusi.
PENDAPAT & TANGGAPAN
1. Pendapat Choirul Anam:
“Putusan MK tidak serta-merta mengharuskan seluruh anggota Polri yang menduduki jabatan sipil agar ditarik.”
Tanggapan:
Pernyataan ini bertentangan dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sejak diucapkan. Dengan dicabutnya Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, dasar hukum yang selama ini dipakai untuk membenarkan penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil hilang secara otomatis. MK tidak memberikan jeda waktu, masa transisi, atau bentuk penundaan apa pun. Artinya, seluruh penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil langsung berubah status menjadi tanpa dasar hukum pada hari putusan dibacakan.
Selain itu, Pasal 28 ayat (3) UU Polri adalah norma imperatif, yang mewajibkan pengunduran diri atau pensiun bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian. Tanpa penjelasan pasal yang kini sudah dihapus, ketentuan ini tidak lagi memiliki pengecualian. Karena itu, pendapat Anam yang mencoba mengurangi atau menunda akibat hukum dari putusan MK merupakan bentuk pengabaian terhadap larangan yang bersifat mutlak.
Pernyataan Anam bahkan lebih berbahaya karena menyesatkan publik dan instansi pemerintah, seolah jabatan sipil yang diduduki polisi aktif masih sah. Faktanya, setelah dasar hukumnya hilang, semua tindakan administrasi yang melibatkan polisi aktif di jabatan sipil menjadi batal demi hukum. Oleh sebab itu, bukan hanya dapat, tetapi wajib segera seluruh anggota Polri aktif ditarik dari jabatan sipil demi memulihkan tertib legal dan konstitusional.
2. Pendapat Choirul Anam:
“UU ASN dan PP Manajemen PNS masih memperbolehkan anggota Polri mengisi jabatan sipil tertentu.”
Tanggapan :
Pendapat ini mengabaikan asas fundamental hukum, yaitu lex specialis derogat legi generali. UU ASN adalah aturan umum (lex generalis), sedangkan UU Polri adalah aturan khusus (lex specialis) yang secara tegas membatasi ruang gerak dan kedudukan anggota Polri. Karena itu, meskipun UU ASN memberikan kemungkinan pengisian jabatan oleh anggota Polri, ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan ketika bertentangan dengan UU Polri. Dalam sistem hukum mana pun, aturan khusus selalu mengesampingkan aturan umum.
Kesalahan utama Anam adalah menempatkan UU ASN sebagai “pelindung” agar anggota Polri aktif tetap dapat menduduki jabatan sipil. Padahal PP Manajemen PNS bahkan berada pada tingkat paling rendah dalam hierarki norma. Tidak mungkin PP dapat menabrak UU Polri, apalagi meniadakan efek putusan MK. Frasa “dapat diisi” dalam UU ASN bukan perintah wajib, tetapi pilihan yang tetap tunduk pada ketentuan UU sektoral. Setelah penjelasan Pasal 28 ayat (3) dicabut MK, maka pilihan tersebut otomatis gugur.
Oleh karena itu, pendapat Anam bukan hanya keliru, tetapi juga menyesatkan karena memberi kesan bahwa ada jalan hukum lain untuk menghindari larangan dalam UU Polri. Faktanya, tidak ada satu pun peraturan yang dapat menggeser larangan imperatif dalam Pasal 28 ayat (3). Segala upaya untuk membenarkan penempatan Polri aktif di jabatan sipil setelah putusan MK adalah tindakan yang bertentangan dengan tertib hukum nasional.
3. Pendapat Choirul Anam:
“Polisi masih bisa menduduki jabatan sipil selama jabatan itu berkaitan dengan tugas kepolisian, seperti BNN, BNPT, atau KPK.”
Tanggapan :
Pernyataan ini didasarkan pada penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Karena penjelasan itu sudah tidak berlaku, maka semua argumen tentang “keterkaitan tugas” otomatis gugur. MK secara eksplisit menghapus penjelasan tersebut karena membuka celah penyimpangan yang membuat anggota Polri aktif bebas berada di jabatan sipil. Setelah penjelasan dihapus, yang tersisa adalah norma asli yang sangat tegas: untuk menduduki jabatan di luar kepolisian, anggota Polri harus mengundurkan diri atau pensiun.
Lebih dari itu, Anam salah memahami makna “jabatan di luar kepolisian”. Makna yang benar adalah jabatan di luar struktur organisasi Polri, bukan “jabatan yang tidak berkaitan dengan fungsi kepolisian”. BNN, BNPT, dan KPK adalah lembaga sipil, bukan bagian dari struktur Polri. Karena itu, jabatan apa pun di lembaga tersebut termasuk kategori “di luar kepolisian” dan anggota Polri aktif harus alih status sebelum mendudukinya.
Dengan menghidupkan kembali frasa yang sudah dibatalkan MK, Anam secara tidak langsung menganjurkan pembangkangan terhadap putusan MK. Pandangan seperti ini tidak hanya salah, tetapi juga sangat berbahaya karena membuka jalan bagi dualisme komando dan konflik kewenangan di lembaga-lembaga penegakan hukum. Negara hukum tidak dapat dijalankan berdasarkan penjelasan pasal yang sudah mati.
4. Pendapat Choirul Anam:
“Polri adalah institusi sipil, jadi wajar menduduki jabatan sipil.”
Tanggapan :
Argumen ini menunjukkan ketidakpahaman mendalam terhadap konsepsi Polri dalam UUD 1945 dan UU Polri. Polri memang berstatus sipil, tetapi Polri adalah sipil bersenjata, bukan ASN. Polri adalah alat negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UU Polri. Sebagai alat negara, anggota Polri wajib menjalankan fungsi dalam struktur organisasi Polri, bukan menyebar ke lembaga-lembaga sipil sambil tetap menyandang status polisi aktif.
Pernyataan Anam yang menyamakan Polri dengan ASN adalah bentuk penyederhanaan yang keliru dan berbahaya. ASN bekerja dalam kerangka birokrasi sipil netral, sedangkan Polri menjalankan fungsi penegakan hukum dan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pembatasan melalui Pasal 28 ayat (3) UU Polri dibuat justru untuk mencegah dominasi alat negara dalam struktur sipil. Dengan kata lain, pembatasan ini sengaja dirancang untuk menjaga demokrasi.
Jika logika Anam diterima, maka tidak akan ada lagi pembatasan antara alat negara dan lembaga sipil. Hal ini berpotensi menciptakan police state, di mana lembaga kepolisian merembes masuk ke semua struktur pemerintahan. Karena itu, pendapat Anam bukan hanya keliru secara hukum, tetapi juga bertentangan dengan prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
KESIMPULAN
Seluruh pendapat Choirul Anam terbukti keliru, tidak berdasar hukum, dan bertentangan dengan UUD 1945, UU Polri, serta Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025. Kesalahan utamanya adalah menggunakan penjelasan pasal yang sudah dibatalkan MK, mengabaikan status Polri sebagai alat negara, dan salah menempatkan UU ASN sebagai dasar untuk menabrak UU Polri.
Dengan dicabutnya penjelasan Pasal 28 ayat (3), satu-satunya norma yang berlaku adalah larangan tegas bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan di luar organisasi Polri, kecuali mengundurkan diri atau pensiun. Karena putusan MK berlaku serta-merta, seluruh polisi aktif yang kini menduduki jabatan sipil berada dalam posisi tanpa dasar hukum. Oleh karena itu, pemerintah wajib segera menarik seluruh anggota Polri dari jabatan sipil tanpa menunggu aturan turunan apa pun.
Negara hukum menuntut kepatuhan.
Putusan MK wajib dilaksanakan sekarang—tanpa tawar-menawar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar