8 November 2025

TANGGAPAN AKADEMIK: JAKSA WAJAR ALERGI TERHADAP ISTILAH PENYIDIK UTAMA DAN KEKELIRUAN KONSEP KOORDINASI POLRI TERHADAP PPNS

TANGGAPAN AKADEMIK: JAKSA WAJAR ALERGI TERHADAP ISTILAH PENYIDIK UTAMA DAN KEKELIRUAN KONSEP KOORDINASI POLRI TERHADAP PPNS

Jakarta 8 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Kabais TNI 2011-2013


1. Pernyataan Prof. Omar Syarif Hieraj dan Permasalahan Pokok.

Dalam salah satu pernyataan publiknya, Prof. Omar Syarif Hieraj menyebut bahwa Jaksa tidak perlu alergi terhadap istilah “penyidik utama,” karena hal itu telah diatur oleh Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa Polri adalah penegak hukum. Menurutnya, frasa “menegakkan hukum” berarti menjalankan fungsi penyidikan, sehingga Polri sah disebut sebagai primary investigator atau penyidik utama.

Pernyataan tersebut tampak sederhana, tetapi secara konstitusional, yuridis, dan konseptual adalah keliru.
Penegakan hukum adalah konsep luas yang mencakup penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, hingga pelaksanaan putusan.
Penyidikan hanyalah salah satu tahap dari penegakan hukum, dan tidak dapat dipahami sebagai keseluruhan fungsi “menegakkan hukum.”
Dengan demikian, frasa “penegak hukum” dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat dimaknai sebagai “penyidik utama”, karena menyalahi makna konstitusional dan struktur sistem peradilan pidana.

2. Menegakkan Hukum Bukan Berarti Menjadi Penyidik Utama.

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 berbunyi:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Pasal ini bersifat deklaratif, bukan atributif.
Artinya, ia menyebut fungsi umum Polri, bukan pemberian kewenangan konstitusional khusus untuk menjadi satu-satunya lembaga penyidik.
Frasa “menegakkan hukum” di sini bermakna fungsi sosial dan administratif untuk menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat, bukan tindakan hukum acara berupa penyidikan pidana.

Dalam konteks sistem hukum civil law seperti Indonesia, “menegakkan hukum” berarti melaksanakan keseluruhan sistem hukum: mulai dari penyusunan norma, penerapan oleh aparat, penuntutan oleh jaksa, hingga pemutusan oleh hakim.
Sementara itu, penyidikan hanyalah salah satu tahap dari penegakan hukum pidana, yang tunduk pada pengawasan yuridis oleh Kejaksaan dan pengujian oleh pengadilan.

Dengan demikian, Polri memang berfungsi sebagai penegak hukum, tetapi tidak berarti Polri menjadi penyidik utama.

3. Kesalahan Penafsiran atas Istilah “Primary Investigator”

Istilah primary investigator dalam sistem hukum internasional bukanlah jabatan struktural atau kedudukan hierarkis, melainkan fungsi koordinatif dalam suatu kasus.
Di Amerika Serikat, misalnya, FBI bisa menjadi primary investigator dalam kasus federal, tetapi tetap berada di bawah kendali Jaksa Federal (U.S. Attorney).
Di Inggris, lead investigator tetap tunduk pada Crown Prosecution Service (CPS).

Dalam konteks ini, primary investigator berarti penanggung jawab penyidikan atas kasus tertentu, bukan penyidik tunggal yang berkuasa atas semua lembaga.

Apabila diterjemahkan sebagai “penyidik utama,” maka tafsir tersebut menjadi salah kaprah, karena:

  1. Mengubah makna koordinasi menjadi hierarki,
  2. Menempatkan Polri di atas Kejaksaan dan lembaga lain,
  3. Menghapus prinsip keseimbangan dan pengawasan yudisial, dan
  4. Menyimpang dari sistem due process of law yang dianut KUHAP.

4. Jaksa Wajar “Alergi” terhadap Frasa “Penyidik Utama”

Sikap “alergi” Kejaksaan terhadap istilah “penyidik utama” bukan karena rivalitas antar lembaga, melainkan karena tanggung jawab konstitusional.
Kejaksaan berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 berfungsi sebagai pengendali perkara pidana (dominus litis) — yaitu pihak yang mengawasi seluruh proses penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan.
Sementara Polri, melalui Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002, memang diberi kewenangan menyidik tindak pidana umum, tetapi tetap di bawah pengawasan yuridis Kejaksaan.

Jika Polri dianggap “penyidik utama,” maka fungsi pengawasan yuridis Kejaksaan akan hilang.
Penyidikan menjadi tindakan yang menentukan sendiri hasilnya, tanpa mekanisme koreksi atau pengujian.
Inilah alasan fundamental mengapa Jaksa pantas “alergi” terhadap istilah penyidik utama — karena konsep itu menghapus keseimbangan konstitusional dalam sistem peradilan pidana.

5. Kesalahan Tafsir “Menegakkan Hukum” sebagai Penyidikan

Pernyataan Prof. Omar bahwa “menegakkan hukum berarti melakukan penyidikan” menunjukkan kesalahan konseptual.
Dalam teori hukum publik, law enforcement meliputi berbagai fungsi: administratif, preventif, represif, dan yudisial.
Penyidikan hanyalah tindakan represif untuk mengungkap tindak pidana, sedangkan “menegakkan hukum” adalah prinsip konstitusional yang berlaku bagi seluruh penegak hukum — termasuk jaksa dan hakim.

Dengan demikian, menegakkan hukum bukanlah monopoli Polri, melainkan fungsi bersama seluruh lembaga hukum dalam rantai sistem peradilan pidana.
Menafsirkan sebaliknya berarti menjadikan Polri lembaga tunggal penegak hukum, yang bertentangan dengan prinsip checks and balances dan semangat reformasi 1998.

6. TAP MPR VII/MPR/2000 Menolak Polri yang Dominan

TAP MPR VII/MPR/2000 menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang:

“… berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta bersikap profesional dan netral.”

Kata “netral” di sini sangat penting.
Netralitas berarti Polri tidak boleh menjadi lembaga dominan dalam sistem penegakan hukum.
Penegakan hukum harus bersifat kolaboratif dan koordinatif, bukan hierarkis atau komando tunggal.
Maka, konsep “penyidik utama” dan “koordinasi Polri atas PPNS” jelas berlawanan dengan TAP MPR ini.

7. Polri Tidak Berwenang Mengkoordinasikan PPNS.

Pasal 7 ayat (2) KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No. 2 Tahun 2002 memang menyebut Polri melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS.
Namun, pengertian “koordinasi” di sini bersifat administratif, bukan yuridis atau struktural.

Dalam praktik modern, PPNS memiliki kedudukan sejajar, bukan di bawah Polri.
PPNS dibentuk oleh berbagai undang-undang sektoral, antara lain:

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup,
  • UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
  • UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan sebagainya.

Setiap PPNS mendapatkan kewenangan penyidikan yang otonom berdasarkan undang-undangnya masing-masing.
PPNS tidak tunduk secara struktural kepada Polri, karena pembinaan teknisnya dilakukan oleh kementerian atau lembaga induknya.

Dengan demikian, Polri tidak memiliki dasar hukum untuk mengkoordinasikan PPNS secara substantif.
Koordinasi yang sah hanyalah dalam bentuk pertukaran data, pelimpahan perkara, atau kerja sama administratif, bukan komando penyidikan.

8. PPNS Setara dengan KPK dan POM TNI

Secara prinsip, PPNS, KPK, dan POM TNI sama-sama lembaga penyidik yang dibentuk dengan undang-undang.
Ketiganya melaksanakan penyidikan yang bersifat lex specialis, sesuai bidangnya masing-masing:

  • KPK berwenang menyidik tindak pidana korupsi (UU No. 19 Tahun 2019),
  • POM TNI menyidik tindak pidana militer (UU No. 31 Tahun 1997),
  • PPNS menyidik pelanggaran administratif sektoral sesuai undang-undang sektornya.

Ketiganya tidak memerlukan koordinasi substantif dari Polri karena setara dalam hierarki hukum.
Masing-masing lembaga berdiri di atas dasar hukum mandiri, bukan subordinat.
Jika Polri dianggap berhak mengkoordinasikan PPNS, maka logika yang sama harus berlaku untuk KPK dan POM TNI — padahal kedua lembaga itu tegas tidak berada di bawah koordinasi Polri.

Oleh karena itu, koordinasi Polri terhadap PPNS adalah tafsir keliru, dan secara hukum bertentangan dengan asas kesetaraan lembaga penegak hukum.

9. Koordinasi Bukan Komando.

Dalam hukum administrasi, koordinasi tidak berarti komando.
Koordinasi hanya mencakup hubungan fungsional dan pertukaran informasi antarlembaga, bukan kewenangan instruktif atau perintah operasional.
Namun, praktik selama ini menempatkan Polri seolah-olah berwenang memberikan perintah kepada PPNS, padahal tidak ada dasar hukum yang memberi kewenangan tersebut.

Tafsir yang salah terhadap kata “koordinasi” ini telah:

  1. Menimbulkan kesan Polri sebagai super-body penyidik,
  2. Melemahkan independensi PPNS di bawah kementerian, dan
  3. Melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dalam penegakan hukum.

Konsep yang benar adalah koordinasi horizontal antar lembaga penyidik, bukan koordinasi vertikal yang bersifat subordinatif.

10. Perspektif Konstitusional dan Reformasi.

Reformasi 1998 dan TAP MPR VI dan VII/MPR/2000 secara tegas menghapus konsep komando tunggal dalam penegakan hukum.
Pemutusan hubungan TNI–Polri dimaksudkan agar tidak ada lembaga yang memonopoli fungsi pertahanan, keamanan, maupun hukum.
Jika Polri mengklaim berhak mengkoordinasikan PPNS, maka itu sama saja menghidupkan kembali pola sentralisasi kekuasaan ala ABRI sebelum reformasi.

Dalam paradigma rule of lawtidak boleh ada satu lembaga pun yang mengendalikan seluruh proses penegakan hukum.
Kekuasaan harus tersebar, saling mengontrol, dan berada dalam keseimbangan.
Itulah makna hakiki dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Indonesia adalah negara hukum.”

11. Kesimpulan Akademik.

  1. Jaksa wajar alergi terhadap istilah “penyidik utama”, karena istilah itu secara konseptual menyalahi sistem peradilan pidana dan menghapus fungsi kontrol Kejaksaan.
  2. Frasa “menegakkan hukum” dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat dimaknai sebagai “penyidikan.”Ia bersifat fungsional, bukan atribusi kewenangan.
  3. Polri tidak dapat menjadi penyidik utama maupun pengkoordinasi PPNS, karena tidak memiliki dasar konstitusional maupun legal.
  4. PPNS memiliki kedudukan setara dengan KPK dan POM TNI, karena sama-sama dibentuk oleh undang-undang yang bersifat lex specialis.
  5. Koordinasi Polri terhadap PPNS hanya bersifat administratif, bukan hierarkis.
  6. Penegakan hukum di Indonesia bersifat horizontal, bukan vertikal. Semua lembaga penegak hukum memiliki kedudukan setara dalam sistem hukum terpadu.
  7. Menjadikan Polri sebagai penyidik utama atau pengendali PPNS akan melanggar prinsip reformasi dan TAP MPR VII/MPR/2000.

12. Penutup.

Dengan demikian, pernyataan bahwa “menegakkan hukum berarti menjadi penyidik utama” adalah kesalahan konseptual yang berpotensi membahayakan struktur hukum nasional.
Sikap “alergi” Kejaksaan terhadap istilah itu justru merupakan bentuk tanggung jawab konstitusional untuk menjaga keseimbangan antar lembaga penegak hukum.

Polri tetaplah penegak hukum penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, namun bukan penyidik tunggal atau pengendali penyidikan nasional.
Dalam semangat reformasi, semua lembaga penegak hukum berdiri sejajar dan saling mengawasi — bukan saling mendominasi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar