Siapa yang keliru? MK—atau mereka yang tak pernah membaca Pasal 28 ayat (3)?
Jakarta 15 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
Pendahuluan.
Perdebatan mengenai larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil kembali mengemuka setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian. Putusan ini seharusnya menjadi momentum pemurnian norma agar kembali pada hukum yang benar, namun justru memunculkan gelombang penolakan dari sejumlah tokoh publik. Di antara mereka terdapat Nasir Djamil, Emrus Sihombing, dan Fernando Emas, yang masing-masing menyampaikan pandangan bahwa polisi aktif tetap dapat ditempatkan pada jabatan sipil apabila “dibutuhkan” atau apabila Kapolri menugaskannya. Pandangan-pandangan tersebut bukan hanya keliru, tetapi juga mengabaikan kedudukan Polri sebagai alat negara, yaitu pemegang kekuasaan koersif yang tidak dimiliki lembaga sipil mana pun.
Sebagian besar kekacauan opini publik muncul karena banyak pihak hanya memahami Polri dari sudut pandang birokrasi, bukan dari sudut pandang konstitusi. Padahal Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara tegas menetapkan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), melindungi, mengayomi, serta melayani masyarakat. UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 5 ayat (1) menegaskan ulang kedudukan ini. Sebagai alat negara, Polri diberi kewenangan memaksa, kewenangan represif, dan kewenangan mengambil tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri (diskresi) sebagaimana Pasal 18. Karena itu, anggota Polri aktif hanya dapat menjalankan kekuasaan tersebut di dalam struktur Polri, di bawah satu garis komando, satu sistem etik, dan satu mekanisme disiplin. Kekuasaan koersif tidak boleh dibawa ke lembaga sipil mana pun, karena lembaga sipil tidak memiliki legitimasi konstitusional untuk mengelola kekuatan memaksa negara.
Sumber kegaduhan saat ini sebenarnya bukan terletak pada putusan MK, tetapi pada praktik penafsiran yang salah selama lebih dari 20 tahun. Penjelasan Pasal 28 ayat (3) pernah dipelintir untuk membenarkan penempatan polisi aktif di berbagai jabatan sipil, padahal bunyi pasal utamanya sangat jelas: anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun. Putusan MK hanya menghapus penjelasan yang sesat, bukan menciptakan norma baru. Namun karena penyimpangan ini telah berlangsung lama, sebagian tokoh dan masyarakat justru mengira bahwa MK sedang membuat aturan baru yang membatasi ruang gerak Polri.
Pendahuluan ini disusun untuk menempatkan diskursus kembali pada jalur yang benar. Bagian selanjutnya akan memberikan tanggapan sistematis dan argumentatif terhadap pandangan-pandangan keliru dari para tokoh publik, termasuk Nasir Djamil, Emrus Sihombing, Fernando Emas, serta kelompok masyarakat yang terjebak dalam kesalahpahaman serupa. Tujuan utama dari penjelasan ini adalah memastikan bahwa pemahaman mengenai Polri sebagai alat negara pemegang kekuasaan koersif kembali ditegakkan sesuai amanat UUD 1945 dan UU Polri.
1. Tanggapan terhadap Nasir Djamil.
Pernyataan Nasir Djamil yang menyebut bahwa Kapolri seharusnya tetap dapat menugaskan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil menunjukkan kekeliruan membaca konsep dasar ketatanegaraan Indonesia. Kapolri memang memiliki kewenangan pembinaan, pemberian tugas, dan mutasi, tetapi seluruh kewenangan itu hanya berlaku di dalam struktur Polri, bukan di luar. Kapolri tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk mengalihkan alat negara pemegang kekuasaan koersif—yaitu Polri—ke jabatan sipil di luar institusinya. Hal ini bukan sekadar batasan administratif, melainkan batasan konstitusional yang berfungsi menjaga agar kekuatan koersif negara tidak berpindah ke lembaga sipil yang tidak memiliki legitimasi untuk menggunakannya.
Nasir Djamil tampak mengabaikan bahwa Pasal 28 ayat (3) UU Polri telah menetapkan norma yang sangat jelas: anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun. Tidak ada ruang penafsiran lain. Kata “setelah” adalah norma limitatif, bukan fleksibel. Karena itu, apa yang disebut sebagai “penugasan Kapolri ke jabatan sipil” sesungguhnya tidak pernah memiliki dasar hukum sejak 2002. Praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil selama dua dekade terakhir adalah penyimpangan yang berlindung di balik penjelasan pasal yang kabur—dan kini telah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun kekeliruan Nasir Djamil bukan hanya soal membaca norma, melainkan juga gagal memahami bahaya dual command. Bila polisi aktif ditempatkan di jabatan sipil, ia akan berada di bawah dua perintah sekaligus: satu dari Kapolri sebagai pimpinan alat negara, dan satu dari pejabat sipil sebagai atasan struktural di jabatan yang ia tempati. Dual command ini menciptakan situasi di mana polisi harus memilih mengikuti komando siapa, dan pada titik ekstrem dapat menimbulkan kondisi “Polri melawan Polri”. Ketika dua kepentingan atau dua perintah bertentangan, alat negara dapat bertindak tidak sinkron dan kehilangan integritas komandonya. Ini adalah risiko yang sangat berbahaya bagi stabilitas kamtibmas dan sistem negara.
Selain itu, Nasir Djamil tampak mengabaikan bahwa polisi aktif membawa serta kewenangan koersif dan kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi) sebagaimana diatur Pasal 18 UU Polri. Kewenangan ini melekat pada jabatan kepolisian, bukan pada pribadi. Artinya, ketika seorang polisi aktif memasuki jabatan sipil, kekuasaan koersif Polri secara otomatis ikut terbawa masuk ke lembaga sipil tersebut. Ini menciptakan lembaga sipil yang tiba-tiba memiliki kekuatan memaksa negara secara ilegal. Konsekuensi konstitusionalnya sangat serius: lembaga sipil berubah menjadi lembaga koersif terselubung, hal yang sama sekali tidak diperbolehkan dalam negara hukum demokratis.
Karena itu, pandangan Nasir Djamil tidak hanya bertentangan dengan UU Polri dan putusan MK, tetapi juga mengancam arsitektur ketatanegaraan yang mengatur pembagian fungsi sipil dan fungsi alat negara. Sebagai anggota DPR yang bertanggung jawab pada penyusunan legislasi, seharusnya Nasir Djamil memahami bahwa kewenangan koersif tidak boleh berpindah keluar dari institusi yang dipercaya konstitusi untuk mengelolanya. Putusan MK bukanlah pembatasan, melainkan koreksi terhadap praktik menyimpang yang selama ini dibiarkan. Meluruskan hal ini bukan sekadar soal tekstualitas pasal, tetapi soal menjaga integritas Polri sebagai alat negara dan memastikan lembaga sipil tetap bersifat sipil.
2. Tanggapan terhadap Emrus Sihombing.
Pernyataan Emrus Sihombing yang bersikukuh bahwa anggota Polri aktif dapat menduduki jabatan sipil apabila “dibutuhkan negara” menunjukkan kekeliruan mendasar dalam memahami kedudukan Polri sebagai alat negara, bukan ASN, bukan birokrat, dan bukan pegawai administratif. Argumen Emrus menggunakan pola pikir bahwa Polri adalah pekerja pemerintahan biasa yang dapat ditempatkan secara fleksibel di jabatan mana pun. Padahal Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UU Polri menegaskan bahwa Polri adalah alat negara dengan kewenangan memelihara kamtibmas, sebuah fungsi yang sepenuhnya berbeda dari fungsi lembaga sipil. Alat negara tidak dapat diperlakukan seperti ASN karena alat negara bekerja menggunakan kekuasaan koersif, bukan kekuasaan administratif.
Kelemahan terfatal dari argumen Emrus adalah mengabaikan substansi diskresi kepolisian dalam Pasal 18 UU Polri. Dalam hukum publik, diskresi polisi tidak sama dengan diskresi ASN. Diskresi polisi adalah kewenangan untuk melakukan tindakan paksa berdasarkan penilaian sendiri demi kamtibmas, termasuk: menangkap, menahan, menggeledah, membubarkan massa, menyita, menggunakan senjata, hingga membatasi hak seseorang dalam situasi tertentu. Kewenangan ini melekat pada jabatan kepolisian, bukan perorangan. Jika polisi aktif ditempatkan pada jabatan sipil, kewenangan koersif itu terbawa masuk ke jabatan sipil. Ini menghasilkan fenomena berbahaya: jabatan sipil tiba-tiba berubah menjadi jabatan koersif ilegal, karena lembaga sipil tidak memiliki legitimasi konstitusional untuk memegang kekuatan memaksa.
Emrus juga keliru ketika berargumen bahwa “negara membutuhkan keahlian polisi” di jabatan sipil tertentu. Yang dibutuhkan negara bukan keahlian individual polisi aktif, tetapi sistem profesionalitas Polri yang utuh di dalam struktur kepolisian. Jika seseorang memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh lembaga sipil, mekanisme yang benar sudah diatur UU Polri: mengundurkan diri atau pensiun, baru kemudian menduduki jabatan sipil. Prinsip ini bukan membatasi kapasitas individu, tetapi menjaga agar kekuasaan koersif Polri tidak dipindahkan ke institusi lain, yang akan merusak pemisahan fungsi negara sipil dan fungsi alat negara.
Pandangan Emrus juga berbahaya karena dapat menormalkan penyimpangan. Bila diterima, argumen ini akan membuka pintu bagi kementerian, lembaga pemerintah, BUMN, dan bahkan posisi-posisi politik untuk mengisi struktur mereka dengan polisi aktif. Lembaga sipil yang semestinya bekerja dengan pendekatan pelayanan publik (service), otomatis berubah menjadi lembaga yang memiliki akses tidak sah terhadap kekuatan koersif. Ini memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan, intimidasi administratif, kriminalisasi kebijakan, dan hancurnya netralitas Polri.
Kesalahan Emrus bukan sekadar akademis; ia merusak fondasi sistem ketatanegaraan yang mengatur keseimbangan antara alat negara dan lembaga sipil. Indonesia bukan negara yang boleh mencampur fungsi. Bila alat negara disusupkan ke jabatan sipil, negara akan berubah menjadi pemerintahan koersif yang tidak demokratis. Oleh karena itu, pandangan Emrus tidak hanya bertentangan dengan UU Polri dan UUD 1945, tetapi juga membahayakan arsitektur negara hukum.
3. Tanggapan terhadap Fernando Emas.
Pernyataan Fernando Emas yang menyatakan bahwa kementerian dan lembaga sipil membutuhkan “tenaga polisi aktif” untuk mengisi berbagai jabatan sipil menunjukkan ketidakpahaman yang sangat mendasar mengenai pemisahan fungsi negara antara alat negara dan lembaga sipil. Argumen ini salah total sejak asumsi awalnya, sebab lembaga sipil tidak boleh diisi oleh alat negara pemegang kewenangan koersif. Lembaga sipil bekerja berdasarkan otoritas administratif, pelayanan publik, dan pengelolaan kebijakan. Sementara Polri bekerja berdasarkan kewenangan koersif, termasuk kewenangan membatasi hak warga melalui tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pembubaran massa, hingga penggunaan kekuatan berdasarkan penilaian sendiri (diskresi). Dua domain ini tidak dapat dicampur, dan setiap upaya mencampurkannya akan merusak struktur ketatanegaraan secara serius.
Kesalahan utama Fernando adalah menganggap bahwa kehadiran polisi aktif di jabatan sipil semata-mata soal "keahlian individu" yang dibutuhkan oleh instansi. Padahal masalah utamanya bukan soal individu atau keahlian personal, tetapi soal kewenangan koersif yang melekat pada status polisi aktif. Ketika seorang polisi tetap berstatus aktif, maka kewenangan koersif ikut melekat ke mana pun ia ditempatkan. Jika polisi aktif ditempatkan di kementerian, lembaga negara, BUMN, atau jabatan sipil lainnya, maka instansi tersebut otomatis memiliki akses terhadap kekuatan memaksa negara yang tidak sah secara konstitusional. Dengan kata lain, jabatan sipil itu berubah menjadi jabatan koersif ilegal yang tidak diatur oleh UUD 1945.
Argumentasi Fernando juga sesat karena menormalisasi penyimpangan yang telah terjadi selama dua dekade. Ia menganggap penyimpangan sebagai hal wajar hanya karena “sudah biasa dilakukan”. Ini argumen yang cacat secara logika dan melanggar prinsip negara hukum. Praktik keliru selama 20 tahun tidak bisa dijadikan dasar pembenar. justru hal itu adalah bukti bahwa penyimpangan dibiarkan begitu lama sampai masyarakat menganggapnya benar. Putusan MK hadir untuk mengoreksi penyimpangan itu – bukan untuk membatasi Polri, melainkan mengembalikan Polri ke posisinya sebagai alat negara yang profesional.
Lebih jauh, pandangan Fernando berbahaya karena dapat membuka pintu abu-abu dalam birokrasi. Bila setiap instansi sipil merasa “perlu polisi aktif”, maka aparat kepolisian dapat disebar ke berbagai jabatan sipil, sehingga kementerian dan lembaga sipil berubah menjadi entitas koersif. Implikasinya mengerikan: pejabat sipil dapat menggunakan polisi aktif untuk menekan bawahan, mengkriminalisasi pihak yang tidak disukai, mengamankan kepentingan politik, atau mengendalikan kebijakan publik melalui kewenangan koersif. Ini bertentangan dengan seluruh prinsip demokrasi dan memunculkan risiko “pemerintahan sipil yang bersenjata secara struktural”.
Pandangan Fernando juga keliru karena mengabaikan mekanisme hukum yang sudah tersedia. Jika ada anggota Polri yang memang ingin mengabdi dalam jabatan sipil atau keahlian tertentu dibutuhkan oleh kementerian, UU Polri sudah menyediakan jalan: mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu. Dengan cara itu, ia melepas status sebagai alat negara dan melepas kewenangan koersif yang melekat padanya. Prinsip ini menjaga agar kekuasaan koersif tetap berada dalam institusi yang diberi mandat oleh konstitusi untuk menggunakannya, yaitu Polri. Tidak boleh ada lembaga sipil yang secara diam-diam berubah menjadi lembaga pemegang kekuasaan koersif.
Kesimpulannya, argumen Fernando Emas tidak hanya salah dari sisi hukum positif, tetapi juga menyesatkan dari sisi ketatanegaraan, dan membahayakan tatanan demokrasi. Kewenangan koersif hanya boleh berada di dalam institusi Polri. Putusan MK bukan pembatasan, melainkan pengamanan terhadap struktur negara hukum. Pandangan Fernando harus diluruskan agar publik tidak tertipu oleh narasi keliru yang justru mendorong bercampurnya fungsi sipil dan fungsi alat negara.
4. Tanggapan terhadap Kelompok Warganet dan Masyarakat yang Keliru Memahami Putusan MK.
Reaksi sebagian masyarakat di media sosial yang menuduh bahwa Mahkamah Konstitusi “membuat aturan baru” atau “menghambat penempatan personel Polri” mencerminkan ketidakpahaman terhadap isi norma yang sebenarnya. Banyak warganet beranggapan bahwa sebelum putusan MK, polisi aktif bebas menduduki jabatan sipil, lalu MK tiba-tiba melarangnya. Anggapan ini sepenuhnya keliru. Larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil sudah berlaku sejak tahun 2002, sejak lahirnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pasal 28 ayat (3) UU tersebut dengan sangat tegas menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun. Kata “setelah” itu normatif, formal, dan limitatif. Artinya, selama masih berstatus polisi aktif, ia dilarang menduduki jabatan sipil apa pun.
Kesalahpahaman warganet muncul karena selama dua dekade terjadi penyimpangan yang kemudian diterima sebagai kebiasaan. Penjelasan Pasal 28 ayat (3) pernah disalahgunakan untuk membenarkan penempatan polisi aktif di jabatan sipil, padahal penjelasan tidak boleh mengubah atau memperluas bunyi norma dalam pasal. Banyak orang terbiasa melihat polisi aktif masuk kementerian, menjadi staf ahli, direktur BUMN, pejabat di lembaga nonstruktural, bahkan menduduki jabatan sipil tingkat tinggi. Karena penyimpangan ini berlangsung lama, sebagian masyarakat mengira praktik itu benar. Ketika MK menghapus penjelasan yang sesat itu, publik yang tidak memahami sejarah normanya mengira MK membuat larangan baru.
Padahal yang dilakukan MK adalah mengembalikan hukum ke rel yang benar, bukan menciptakan larangan baru. MK tidak melarang; MK menjelaskan bahwa yang berlaku adalah bunyi pasalnya, bukan penafsiran menyimpang dari penjelasan. Oleh karena itu, menganggap MK yang salah adalah bentuk kekeliruan informasi dan ketidaktahuan sejarah pembentukan undang-undang. Putusan MK justru mengoreksi kesalahan tafsir selama dua dekade dan memastikan agar kekuasaan koersif Polri tidak dibawa keluar struktur ke lembaga-lembaga yang tidak berhak memegangnya.
Kesalahpahaman warganet juga diperparah oleh asumsi bahwa polisi dapat bekerja seperti ASN. Ini salah total. Polisi adalah alat negara, bukan aparatur sipil. Polisi membawa kekuasaan koersif dan kewenangan diskresi yang sangat berbahaya jika dibawa keluar struktur. Bila polisi aktif ditempatkan di jabatan sipil, maka jabatan sipil tersebut berubah menjadi jabatan koersif ilegal—dan ini melanggar prinsip demokrasi. Banyak warganet tidak memahami bahwa lembaga sipil tidak boleh memiliki kekuatan memaksa negara melalui polisi yang disisipkan ke dalam struktur mereka. Inilah alasan mengapa hukum melarangnya dan mengapa MK harus menghapus penjelasan yang menyesatkan.
Dengan demikian, kritik warganet yang menyatakan MK bertindak keliru justru lahir dari ketidaktahuan terhadap hukum dan sejarah UU Polri. Putusan MK seharusnya dipahami sebagai langkah penting untuk menjaga profesionalitas Polri, memperkuat demokrasi sipil, dan mencegah lembaga sipil memiliki kekuasaan koersif secara terselubung. Polri hanya bisa tetap kuat, profesional, dan netral apabila kekuasaan koersifnya tetap berada di dalam struktur, bukan disebarkan ke lembaga sipil melalui penyimpangan hukum.
5. Tanggapan terhadap Politisi dan Pejabat yang Menuduh Putusan MK “Mengganggu Kinerja Pemerintah”
Pernyataan sejumlah politisi dan pejabat yang menyebut putusan Mahkamah Konstitusi berpotensi "mengganggu kinerja pemerintah" atau "mengurangi fleksibilitas penempatan sumber daya manusia" menunjukkan kesalahpahaman serius terhadap arsitektur ketatanegaraan Indonesia. Putusan MK tidak menghambat pemerintah; justru sebaliknya, MK mengembalikan batasan konstitusional agar pemerintah tidak menggunakan kekuasaan koersif di luar tempat yang seharusnya. Birokrasi sipil bukanlah tempat bagi alat negara pemegang kekuasaan memaksa. Pemerintah yang menjalankan prinsip demokrasi tidak boleh memobilisasi polisi aktif ke jabatan sipil, karena hal itu akan menjadikan lembaga sipil sebagai lembaga koersif—sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945.
Pandangan para politisi dan pejabat tersebut salah dari dasar asumsi. Mereka menganggap bahwa keberadaan polisi aktif di jabatan sipil akan membuat koordinasi pemerintahan lebih mudah, karena membawa “disiplin” dan “kemampuan operasional”. Namun mereka lupa bahwa polisi aktif bukan sekadar individu dengan keahlian tertentu; polisi aktif adalah alat negara yang membawa kewenangan koersif, yaitu kekuatan untuk menangkap, menahan, menggeledah, membubarkan massa, dan bertindak berdasarkan penilaian sendiri (diskresi). Bila polisi aktif dibawa keluar struktur Polri dan ditempatkan pada jabatan sipil, maka kementerian, lembaga negara, atau BUMN tersebut otomatis memiliki akses terhadap kekuatan memaksa negara secara terselubung. Itulah yang sebenarnya mengancam pemerintahan yang demokratis, bukan putusan MK.
Kesalahan para pejabat ini menjadi lebih serius karena mereka mengabaikan risiko pemerintahan koersif administratif. Bila kementerian atau lembaga sipil memiliki polisi aktif di dalam struktur mereka, pejabat sipil dapat memanfaatkan kewenangan kepolisian untuk menekan bawahan, mempengaruhi kebijakan, menyingkirkan lawan politik, atau melakukan kriminalisasi kebijakan. Dampak jangka panjangnya adalah runtuhnya prinsip pemerintahan sipil yang netral, bergeser menjadi pemerintahan koersif yang memanfaatkan alat negara secara tidak sah. MK justru memberi rem untuk mencegah situasi ini.
Argumen bahwa pemerintah membutuhkan “fleksibilitas” dalam menempatkan polisi aktif juga keliru, karena mekanisme hukum sudah tersedia dan sangat sederhana: jika seorang anggota Polri memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian atau lembaga sipil, maka ia harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu. Dengan demikian, ia melepas status sebagai alat negara, termasuk melepaskan kewenangan koersif yang melekat padanya. Ini bukan menghambat pemerintah, tetapi melindungi pemerintah dari penyalahgunaan kekuasaan koersif.
Para pejabat yang menolak putusan MK juga tampak mengabaikan satu prinsip penting: pemerintah tidak boleh menggunakan aparat aktif sebagai "perpanjangan tangan" dalam jabatan yang tidak dirancang untuk menampung kekuasaan memaksa. Lembaga sipil harus tetap sipil. Polri harus tetap menjadi alat negara yang profesional. Bila keduanya dicampur, struktur ketatanegaraan akan kabur dan otoritarianisme administratif dapat muncul tanpa disadari.
Karena itu, tudingan bahwa putusan MK menghambat pemerintah adalah tudingan yang salah arah. Justru putusan MK melindungi pemerintah dari jebakan penyimpangan kekuasaan dan melindungi masyarakat dari kemungkinan lahirnya lembaga negara yang bersifat koersif tanpa dasar konstitusional. Putusan MK bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga penting secara demokratis, karena menjaga agar kekuasaan koersif tetap berada pada jalurnya: di dalam struktur Polri sebagai alat negara, bukan di tangan pejabat sipil.
Penutup
Perdebatan mengenai putusan MK pada dasarnya bukan perdebatan hukum, tetapi perdebatan antara mereka yang membaca pasal dan mereka yang hanya membaca penjelasan. MK tidak membuat aturan baru. MK mengembalikan norma pada bunyinya. Pasal 28 ayat (3) sudah lama menegaskan bahwa polisi aktif dilarang menduduki jabatan sipil. Polri adalah alat negara pemegang kekuasaan koersif, bukan ASN yang bisa dipindahkan sesuka pejabat sipil.
Mereka yang menentang putusan MK sebenarnya sedang menentang bunyi pasalnya sendiri.
Karena itu, pertanyaannya jelas:
Siapa yang keliru? MK—atau mereka yang tak pernah membaca Pasal 28 ayat (3)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar