20 November 2025

NASKAH AKADEMIS — KONFLIK RUU KUHAP TERHADAP UUD 1945 DAN UU SEKTORAL

NASKAH AKADEMIS — KONFLIK RUU KUHAP TERHADAP UUD 1945 DAN UU SEKTORAL

(Versi Lengkap untuk Bahan Legislasi & Judicial Review)


Jakarta 20 Novembero 2025

Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH


I. LATAR BELAKANG

Pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) merupakan langkah strategis untuk memperbaharui KUHAP 1981. Namun, hasil pengkajian terhadap naskah RUU menunjukkan adanya sejumlah ketentuan yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang sektoral, serta prinsip-prinsip peradilan pidana modern.

Masalah utama yang timbul adalah:

Dominasi berlebihan Penyidik Polri sebagai penyidik utama.

Pelemahan kewenangan Penuntut Umum (Jaksa) sebagai dominus litis.

Pengurangan independensi lembaga lain (KPK, Kejaksaan, POM TNI, PPNS).

Komersialisasi penyidikan & penuntutan melalui mekanisme denda damai.

Tidak adanya integrasi sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Apabila dibiarkan, RUU KUHAP dalam bentuk saat ini berpotensi inkonstitusional, menimbulkan konflik horizontal antar penegak hukum, serta memperdalam ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN

Permasalahan pokok yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:

Apakah RUU KUHAP menempatkan Polri sebagai penyidik utama secara inkonstitusional?

Apakah RUU KUHAP menurunkan kedudukan jaksa sebagai dominus litis?

Apakah RUU KUHAP mengabaikan keberadaan penyidik khusus (PPNS, KPK, POM TNI)?

Apakah mekanisme penghentian penyidikan & penuntutan karena “denda tertentu” sesuai asas keadilan?

Apakah RUU KUHAP melemahkan prinsip due process of law dan fair trial?

Apakah RUU KUHAP kompatibel dengan sistem peradilan pidana terpadu?

III. KAJIAN FILOSOFIS

1. Kedaulatan Hukum & Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945)

Negara hukum menuntut pembatasan kekuasaan, kepastian hukum, dan keadilan prosedural.

Model RUU KUHAP yang mengonsentrasikan kekuasaan penyidikan pada satu institusi bertentangan dengan prinsip pemisahan kewenangan.

2. Hak Asasi Manusia (Pasal 27, 28D, 28G)

RUU KUHAP kurang menjamin:

– perlindungan privasi,

– perlindungan dari paksaan penyidikan,

– akses terhadap pembelaan,

– kesetaraan di hadapan hukum.

3. Prinsip Due Process

KUHAP modern harus menempatkan:

– penyidik,

– penuntut umum,

– penasihat hukum,

– hakim

dalam sistem yang saling mengontrol.

RUU saat ini cenderung crime control model, bukan due process model.

IV. KAJIAN YURIDIS

Kajian ini membandingkan pasal-pasal RUU KUHAP dengan:

1. UUD 1945

– Pasal 1 ayat (3): Negara hukum

– Pasal 27 ayat (1): Persamaan di hadapan hukum

– Pasal 28D ayat (1): Kepastian hukum

– Pasal 28G ayat (1): Perlindungan diri

– Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman

– Pasal 30 ayat (4): Fungsi kepolisian

2. Undang-Undang Sectral

– UU Kejaksaan (11/2021) — jaksa pengendali perkara

– UU Polri (2/2002) — polri pemelihara kamtibmas

– UU KPK (19/2019) — penyidik independen

– UU TNI (34/2004) — POM TNI penyidik militer

– UU PPNS masing-masing sektor — kewenangan khusus

3. Hukum Internasional

– ICCPR (fair trial, proportionality, equality before the law)

V. KAJIAN SOSIOLOGIS

Temuan empiris dalam sistem peradilan Indonesia:

Tingginya angka salah tangkap menunjukkan perlunya kontrol jaksa terhadap penyidikan.

Banyaknya kasus praperadilan dikabulkan membuktikan kelemahan penyidikan.

Konflik antar institusi (Polri–KPK, Polri–Jaksa, PPNS–Polri) sering terjadi akibat tidak jelasnya batas kewenangan.

Ketidakpuasan publik terhadap proses hukum yang dianggap tidak adil.

RUU KUHAP semestinya memperkuat independensi, bukan memusatkan kewenangan.

VI. ANALISIS KONFLIK PER PASAL

(Analisis telah disederhanakan agar mudah digunakan untuk DIM.)

1. Pasal 6 ayat (2) – Polri sebagai penyidik utama

Konflik:

Bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 — Polri fungsi kamtibmas, bukan penyidikan tunggal.

Menurunkan status Kejaksaan, KPK, POM TNI, PPNS.

Bertentangan dengan UU Kejaksaan.

Kesimpulan: Inkonstitusional.

2. Pasal 7 ayat (3–5) – PPNS di bawah koordinasi Polri

Konflik:

– Bertentangan dengan UU sektoral PPNS.

– Menghilangkan prinsip negara hukum.

3. Pasal 8 ayat (3) – Penyerahan berkas PPNS melalui Polri

Konflik:

– Menghalangi fungsi jaksa dalam SPDP dan P-21.

– Bertentangan dengan UU Kejaksaan.

4. Pasal 20 – Penyelidikan oleh Polri

Konflik:

– Menghilangkan kewenangan penyelidikan Kejaksaan, KPK, POM TNI.

5. Pasal 22 – Saksi mahkota & pengakuan bersalah

Konflik:

– Bertentangan asas non self-incrimination (ICCPR).

– Rawan kriminalisasi.

6. Pasal 25 ayat (2) huruf i–j – Tersangka dapat menebus perkara dengan denda

Konflik:

– Merusak asas persamaan di hadapan hukum.

– Transformasi pidana menjadi transaksi.

– Tidak dikenal dalam sistem hukum pidana Indonesia.

7. Pasal 31–35 – Rekaman pemeriksaan hanya untuk penyidik

Konflik:

– Melanggar hak pembelaan (UU Advokat).

– Bertentangan Pasal 28G.

8. Pasal 43–49 – Penggeledahan & penyitaan

Konflik:

– Lemahnya perlindungan privasi.

– Tidak ada sanksi bila geledah ilegal.

9. Pasal 59A–59F – Hubungan Penyidik–Jaksa

Konflik:

– Menempatkan Polri di atas Penuntut Umum.

– Menghilangkan asas dominus litis.

10. Pasal 61 huruf i & Pasal 67 – Penuntutan gugur karena denda

Konflik:

– Criminal justice for sale.

– Melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

VII. ARAH PEMBARUAN & USULAN PERBAIKAN

Pengembalian kewenangan penyidik secara proporsional:

– Polri: tindak pidana umum

– PPNS: tindak pidana sektoral

– KPK, Kejaksaan, POM TNI: independen sesuai UU

Memperkuat jaksa sebagai dominus litis:

– Petunjuk jaksa bersifat mengikat

– Penyidik wajib mengikuti P-19

– Integrasi SPDP wajib diterima jaksa sejak awal

Menghapus pasal yang bernuansa transaksi pidana:

– Hapus Pasal 25 (denda penyidikan)

– Hapus Pasal 61 & 67 (penuntutan ditebus)

Menegaskan perlindungan HAM:

– CCTV & audio tersedia bagi advokat dan hakim

– Batasan geledah & sita lebih ketat

– Sanksi administratif & pidana bagi penyidik pelanggar

Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT):

– Penyidikan, penuntutan, peradilan berjalan seimbang

– Tidak ada lembaga superbody

VIII. PENUTUP

RUU KUHAP merupakan tonggak penting pembaruan sistem peradilan pidana Indonesia. Namun, dalam bentuknya sekarang, banyak pasal bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang sektoral, dan prinsip-prinsip peradilan pidana modern.

Diperlukan penyelarasan mendalam agar KUHAP yang baru benar-benar konstitusional, adil, dan efektif. Naskah akademis ini memberikan pijakan komprehensif untuk melakukan pembenahan dimaksud.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar