**PANDEMI TAFSIR SESAT PARA PAKAR:
Analisis Komprehensif, Definitif, dan Tuntas atas Pasal 28 ayat (3) UU Polri, Penjelasan yang Dicabut MK, dan Kekacauan Tafsir Rullyandi–Margarito**
Jakarta 15 Novenber 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
**PENDAHULUAN
Ketika Para “Pakar” Membaca Hukum Secara Serampangan**
Fenomena terbaru dalam diskursus hukum publik menunjukkan sesuatu yang menggelikan sekaligus mengkhawatirkan: para pakar hukum tata negara tampak berlari mendahului logikanya sendiri.
Alih-alih menerangkan, mereka justru menggelapkan norma.
Alih-alih meluruskan, mereka justru memelintir putusan MK.
Alih-alih mendidik publik, mereka justru menyesatkan publik dengan percaya diri.
Dua nama paling vokal dan paling keliru adalah:
- Dr. Muhamad Rullyandi
- Margarito Kamis
Keduanya mengklaim bahwa:
- penugasan Polri aktif ke jabatan di luar kepolisian masih sah,
- UU ASN dapat menjadi dasar bypass pasal larangan UU Polri,
- dan yang terbaru: putusan MK tidak berlaku surut, sehingga jabatan itu “tetap aman.”
Masalahnya:
ketiga klaim itu keliru secara total dari hulu sampai hilir.
Kesalahan yang mereka lakukan bukan sekadar beda interpretasi,
tetapi kekeliruan metodologis tingkat fundamental yang dapat dijadikan contoh buruk dalam perkuliahan hukum tata negara.
Karena itu, tulisan ini dibuat untuk:
- memaparkan pasal,
- menjelaskan penjelasan,
- membedah putusan MK,
- menghancurkan tafsir keliru,
- dan memberikan pegangan akademik tegas agar publik tidak ikut terseret ke jurang logika yang salah.
**BAGIAN 1
BUNYI PASAL 28 AYAT (3): NORMA LURUS TANPA BELAK-BELIT**
Mari kita mulai dari dasar yang paling sederhana namun paling sering diselewengkan:
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Norma ini mengandung elemen penting:
A. Subjek: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”
→ Polisi aktif, polisi karier, yang masih berdinas.
B. Objek: “jabatan di luar Kepolisian Negara Republik Indonesia”
→ Jabatan apa pun yang bukan bagian dari struktur Polri.
C. Syarat mutlak: “setelah mengundurkan diri atau pensiun”
→ Pengunduran diri/pensiun adalah prasyarat absolut.
Dengan demikian, konstruksi hukumnya:
Larangan absolut bagi polisi aktif menduduki jabatan di luar kepolisian.
Tidak ada syarat tambahan.
Tidak ada frasa “kecuali jika…”
Tidak ada delegasi ke Kapolri.
Tidak ada alternatif lain.
**BAGIAN 2
PENJELASAN (SEBELUM DICABUT): SUMBER PENYIMPANGAN STRUKTURAL 20 TAHUN**
Penjelasan pasal berbunyi:
“…jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan Kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Frasa kunci yang bikin masalah:
“...atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
Kesalahan besar selama 20 tahun:
Penjelasan dianggap menciptakan norma baru
Padahal penjelasan hanya boleh menguraikan, bukan menambah aturan.
Penugasan Kapolri dianggap dapat membatalkan syarat “mengundurkan diri”
Ini kesalahan logika hukum.
Penjelasan diubah menjadi pengecualian
Ini tindakan manipulatif terhadap metode perundang-undangan.
Akibat modifikasi liar selama 20 tahun, timbul persepsi:
“Kalau ditugaskan Kapolri, polisi boleh menduduki jabatan di luar kepolisian tanpa harus mundur.”
Padahal, itu bukan makna pasal, tetapi produk penyimpangan penafsiran administratif.
**BAGIAN 3
PUTUSAN MK: PEMBONGKARAN TOTAL TERHADAP CELAH PENUGASAN**
Mahkamah Konstitusi menyadari bahwa penjelasan ini:
- membuka jalan penyelewengan,
- melanggar asas kepastian hukum,
- menciptakan dualisme komando,
- menempatkan aparat bersenjata dalam struktur sipil,
- dan bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional.
Karena itu, MK mencabut penjelasan tersebut.
Dampaknya:
A. Celah hilang
B. Penugasan Kapolri kehilangan dasar hukum
C. Pasal kembali pada makna murni
D. Larangan berlaku penuh
E. Semua penugasan otomatis “tak berdasar”
Dengan demikian:
Sejak putusan MK dibacakan, tidak ada lagi satu pun dasar hukum penugasan Polri aktif ke jabatan di luar kepolisian.
**BAGIAN 4
PENTING: MELURUSKAN KEKELIRUAN BARU
“PUTUSAN MK TIDAK BERLAKU SURUT = BOLEH TETAP MENJABAT”**
Tafsir ini sedang ramai digunakan oleh beberapa pakar untuk menyelamatkan praktik lama.
Sayangnya, mereka salah baca.
Benar: Putusan MK tidak berlaku surut untuk menghukum tindakan masa lalu.
Salah: Putusan MK boleh diabaikan untuk praktik masa kini.
Cara kerja judicial review:
- Tidak retroaktif → tidak membatalkan tindakan masa lalu.
- Prospektif → menghapus legalitas mulai hari putusan.
Implikasinya:
Seluruh penugasan Polri aktif kehilangan dasar hukum sejak putusan dibacakan
Bukan “tetap sah”.
Melanjutkan jabatan = tindakan tanpa dasar hukum
Dalam administrasi negara, pejabat tanpa dasar adalah:
unlawful office holder.
Penugasan itu harus dihentikan segera,
Bukan dilanjutkan sambil menunggu pemutihan.
Negara wajib menarik seluruh Polri aktif dari jabatan di luar kepolisian
Karena tidak boleh lagi ada pejabat yang basis legalitasnya sudah hilang.
**BAGIAN 5
MENGHANCURKAN LOGIKA RULLYANDI:
“Meskipun UU Polri melarang, UU ASN mengizinkan.”**
Terdengar akademik, tetapi sesungguhnya:
Ini logika hukum yang rusak total.
Penjelasannya:
1. UU Polri adalah lex specialis.
Larangan dalam UU Polri mengalahkan ketentuan umum dalam UU ASN.
2. Anggota Polri bukan ASN.
Tidak tunduk pada sistem ASN kecuali setelah alih status.
3. UU ASN tidak pernah mengatur penugasan Polri aktif.
Ini fiksi hukum yang diciptakan oleh tafsir sesat.
4. Penjelasan celah sudah dicabut
Sehingga tidak ada lagi norma pendukung.
5. Menggunakan UU ASN untuk mem-bypass larangan UU Polri adalah violation of statutory hierarchy
Melawan prinsip dasar teori peraturan perundang-undangan.
Konklusi metodologis:
Pendapat Rullyandi layak dijadikan contoh kesalahan bacaan norma dalam kelas teori perundang-undangan.
**BAGIAN 6
MENGURAI KEKELIRUAN MARGARITO KAMIS:
“UU Polri masih berlaku, jadi penugasan masih sah.”**
Kesalahan Margarito:
1. Ia membaca pasal, tetapi mengabaikan putusan MK.
Padahal putusan MK mengubah MAKNA pasal.
2. Ia mengira yang mengatur penugasan adalah pasalnya.
Padahal penugasannya bermula dari penjelasan yang sudah dicabut.
3. Ia menganggap pasal masih berlaku sepenuhnya
Padahal norma khusus sudah bersih dari celah.
4. Ia menghidupkan kembali pintu hukum yang sudah ditutup MK
Ini pelanggaran asas final and binding.
Singkatnya:
Margarito benar membaca UU-nya, tapi salah membaca hubungan pasal dan putusan MK.
**BAGIAN 7
DAMPAK HUKUM BESAR YANG TIDAK DISADARI PARA “PAKAR”**
Setelah putusan MK:
✔ Semua Polri aktif di jabatan luar kepolisian = ilegal
✔ Setiap keputusan yang ditandatangani mereka potensial cacat hukum
✔ Negara harus menarik mereka segera
✔ Presiden dan Kapolri wajib melaksanakan putusan MK
✔ UU ASN tidak dapat menolong
✔ Penugasan lama maupun baru tidak punya dasar hukum
✔ Melanjutkan praktik = pelanggaran konstitusi
**KESIMPULAN AKHIR:
NORMA JELAS — TAFSIR PARA PAKAR YANG KABUR**
Setelah kita uraikan:
- teks pasal,
- penjelasan sebelum dicabut,
- putusan MK,
- asas lex specialis,
- asas tidak berlaku surut,
- hubungan norma,
- metode interpretasi,
- dan dampak hukum—
maka kesimpulannya hanya satu:
Bukan Pasal 28 ayat (3) yang sulit.
Bukan putusan MK yang membingungkan.
Yang membingungkan adalah beberapa pakar yang memelintir hukum demi mempertahankan tafsir keliru.
Hukum sudah sangat jelas.
Yang kabur hanyalah kaca mata pembacanya.
Selesai.
Hukum sudah sangat jelas.
BalasHapusYang kabur hanyalah kaca mata pembacanya...... statement penutup ini yang saya suka .....