19 November 2025

TANGGAPAN ATAS PERNYATAAN MENKUM SUPRATMAN ANDI AGLAS

 TANGGAPAN ATAS PERNYATAAN MENKUM SUPRATMAN ANDI AGLAS


Jogyakarta 19 November 2025
Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH

“Putusan MK Tidak Berlaku Surut” BUKAN ALASAN Untuk Melanggengkan Pelanggaran Konstitusi

1. Soal “Putusan MK Tidak Berlaku Surut”

Pernyataan Menkum:
Putusan bersifat final–mengikat tetapi tidak berlaku surut.

Tanggapan :
Pernyataan ini benar secara teori namun salah besar dalam penerapan.
Non-retroaktif berarti tindakan masa lalu tidak dihukum hari inibukan berarti “pejabat yang pada hari ini masihmelanggar norma yang dibatalkan MK boleh terus melanggar.”

Kesalahannya ada di sini:
→ Putusan MK menghapus Penjelasan Pasal 28 ayat (3).
→ Sejak hari putusan dibacakan, norma yang membolehkan penempatan Polri pada jabatan di luar struktur Kepolisian otomatis tidak ada.
→ Jika ada anggota Polri yang hari ini masih duduk pada jabatan diluar struktur Polri, misalnya KPK, itu bukan ‘masa lalu’, tetapi pelanggaran yang sedang berlangsung saat ini.

Itu bukan retroaktif — itu aktual.
Menkum sedang menyamakan “masa lalu” dengan “pelanggaran yang sedang berlangsung.”
Ini kekeliruan fatal.

2. Soal “Polisi yang Sudah Menjabat Tidak Perlu Mundur/Pensiun”

Pernyataan Menkumham:
Mereka yang sudah menduduki jabatan diluar struktur Polri tidak wajib mundur.

Tanggapan Keras:
Ini adalah logika yang membahayakan konstitusi.
Jika struktur norma sudah berubah, maka status jabatan yang bertentangan dengan norma baru tidak boleh dipertahankan.

Contoh analoginya sangat sederhana:

  • Ketika UU baru melarang rangkap jabatan,
  • Tidak ada pejabat yang boleh berkata: “Saya rangkap jabatan sebelum aturan baru, jadi saya tidak perlu tunduk.”

Dalam hukum administrasi negara, jabatan adalah kewenangan publik yang tunduk pada hukum saat ini, bukan pada hukum masa lalu.

Jabatan itu bukan hak milik pribadi yang bisa dibawa pulang.
Jabatan adalah delegated power — dan begitu dasar hukumnya berubah, jabatan itu tidak sah secara serta-merta (ipso jure).

Dengan membiarkan mereka tetap menjabat, pemerintah:

  • menghalalkan pelanggaran konstitusi secara terus-menerus,
  • mengubah putusan MK menjadi ornamen yang bisa diabaikan,
  • menempatkan pejabat yang tidak sah dalam posisi strategis negara.

Ini sangat berbahaya bagi pemerintahan yang berdasarkan hukum.

3. Soal “Hanya Berlaku ke Depan”

Pernyataan Menkumham:
Larangan hanya berlaku untuk penempatan baru.

Tanggapan Keras:
Ini adalah cara halus untuk mengatakan:
“Putusan MK boleh dilaksanakan nanti kalau kita mau.”

Padahal, konstitusi tidak memberikan ruang kompromi seperti itu.

Lihat Pasal 24C UUD 1945:

  • Putusan MK mengikat sejak diucapkan.
  • Tidak ada frase “boleh ditunda sampai ada revisi UU.”

Jika larangan hanya berlaku ke depan, akibatnya:

  • Pejabat yang hari ini berada dalam posisi terlarang tetap aman.
  • Negara membenarkan “illegal incumbents” memegang jabatan publik.
  • Kekuasaan MK diperlakukan seperti pasal fakultatif.

Ini bukan sekadar salah tafsir, ini adalah disobedience terhadap konstitusi.

4. Soal “Dijadikan Masukan Komisi Reformasi Polri”

Pernyataan Menkumham:
Putusan MK akan dibawa ke Komisi Reformasi Polri untuk dipertimbangkan dalam revisi UU Polri.

Tanggapan Keras:
Ini adalah pelemahan paling halus dan paling berbahaya.

Putusan MK bukan bahan rapat.
Putusan MK bukan masukan seminar.
Putusan MK adalah perintah konstitusi yang wajib dilaksanakan saat ini juga.

Perintah MK tidak menunggu:

  • revisi UU,
  • kajian komisi,
  • atau peta kelembagaan.

Kalau logika Menkumham dipakai, maka:

  • Presiden boleh menunda putusan MK sampai “selesai dipertimbangkan”.
  • Menteri boleh menafsirkan ulang putusan MK seenaknya.
  • Lembaga lain boleh ikut menawar isinya.

Ini preseden paling berbahaya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Jika putusan MK bisa “dipending sambil dikaji”, maka konstitusi berhenti bekerja.

KESIMPULAN.

Pernyataan Menkumham adalah bentuk penyesatan logika hukum dan potensi pembangkangan konstitusi.

Empat poin kesesatan logikanya:

  1. Menyamakan retroaktif dengan pelanggaran yang masih berlangsung.
  2. Menganggap jabatan publik sebagai hak individu, bukan kewenangan yang tunduk pada hukum.
  3. Menganggap putusan MK bisa dinegosiasi waktu pelaksanaannya.
  4. Menurunkan derajat putusan MK menjadi “masukan” untuk komisi.

Jika pemerintah mengikuti tafsir Menkumham, akibatnya:

  • Negara dipimpin pejabat yang tidak sah,
  • Putusan MK berubah menjadi “rekomendasi”,
  • Konstitusi dibengkokkan oleh eksekutif,
  • Sistem hukum berubah menjadi rule by opinion, bukan rule of law. 

Ingat :!!!

Putusan MK bukan retroaktif atau prospektif.
Putusan MK wajib dilaksanakan sesaat setelah dibacakan, dan semua pejabat yang pada hari itu berada dalam posisi terlarang harus disesuaikan statusnya.

Jika pemerintah tetap memakai tafsir Menkumham, maka:

Pemerintah sedang mengubah pembangkangan terhadap putusan MK menjadi kebijakan resmi negara.

Dan itu adalah ancaman langsung terhadap konstitusi.

 

2 komentar:

  1. TOP 👍 And I Agree with You Sir General🫡🫡🫡

    BalasHapus
  2. Setuju Laksamana.
    Tp bgmn dg komentar Margarito bhw MK tdk mengubah frasa dlm pasal yg dijelaskan shgg tdk mengubah aps2?

    BalasHapus